Dukungan Amerika Serikat Dalam Perang Kemerdekaan Indonesia
Pada masa Perang Kemerdekaan Indonesia tahun 1945 – 1949, berbagai upaya dilakukan Belanda untuk membendung pengakuan dan dukungan terhadap Indonesia di forum internasional termasuk di Amerika Serikat. Setelah Agresi Belanda Kedua (Belanda menyebut sebagai Aksi Polisionil II) bulan Desember 1949 yang penuh kekejaman, Amerika Serikat akhirnya mendukung penuh upaya kemerdekaan Indonesia.
Profesor Emeritus Bidang Sejarah Universitas Ohio Robert J McMahon dalam seminar di @america di Pacific Place, Jakarta, Kamis (21/2) mengatakan, langkah keras akhirnya diambil Amerika Serikat di masa pemerintahan Harry S Truman dengan mengancam akan menghentikan bantuan keuangan bagi Belanda yang sedang membangun negerinya pasca kehancuran akibat Perang Dunia II (Skema Marshall Plan).
“Bayangkan Amerika Serikat membantu rata-rata 1 juta dollar per hari untuk pembangunan Belanda pasca-Perang Dunia II. Pemerintah Belanda mengeluarkan jumlah yang sama untuk operasi militer mereka di Indonesia. Itu berarti uang bantuan malah digunakan untuk biaya perang,” kata McMahon.
Semula sikap Amerika belum sepenuhnya mendukung kemerdekaan Indonesia karena harus menjaga hubungan baik dengan Belanda dan sesama Negara Sekutu sebagai pemenangan di Perang Dunia II.
Sebelumnya Belanda berusaha menjadi penengah dengan menyediakan kapal perang USS Renville sebagai tempat perundingan Indonesia – Belanda di tempat netral. Kapal tersebut berlabuh di lepas pantai Cirebon bulan Desember 1947 yang menghasilkan Perjanjian Renville. Perjanjian tersebut kemudian dilanggar Belanda dengan Agresi Kedua di bulan Desember 1948 yang menimbulkan kecaman dunia.
Diplomat Amerika Serikat Frank Porter Graham dari Komisi Jasa Baik (Good Office Commission) yang beranggotakan Belgia (pro Belanda) dan Australia (pro Indonesia) yang didirikan tahun 1947 untuk menjadi mediator Belanda – Indonesia, mengajukan Proposal Natal (Christmas Proposal) yang diakhiri dengan Perjanjian Renville tersebut.
Bayangkan Amerika Serikat membantu rata-rata 1 juta dollar per hari untuk pembangunan Belanda pasca-Perang Dunia II. Pemerintah Belanda mengeluarkan jumlah yang sama untuk operasi militer mereka di Indonesia. Itu berarti uang bantuan malah digunakan untuk biaya perang.
Frank Porter Graham mengusulkan diadakan pemilihan umum bagi rakyat Indonesia terkait keinginan untuk merdeka dari Belanda di bulan Januari 1948 menyusul perjanjian Renville yang mengakui wilayah Republik Indonesia di Jawa dan Sumatera. Ketika itu Belanda masih menawarkan gagasan federal dan persemakmuran dengan Belanda.
Adapun di Washington DC pandangan secara umum melihat kasus Indonesia dan dekolonisasi dilakukan secara bertahap dan tidak dengan jalan revolusioner. Namun, para diplomat Amerika Serikat di Jakarta, menurut McMahon, menilai rakyat Indonesia sangat serius memperjuangkan kemerdekaan dan Belanda tidaklah mampu membendungnya.
Profesor McMahon mengakui posisi Amerika sulit karena waktu itu Perang Dingin sudah bergulir sehingga Washington harus menjaga kekompakan Blok Barat termasuk dengan Belanda. Di sisi lain, dalam Piagam Atlantik (Atlantik Charter) yang diusung Presiden Franklin Delano Roosevelt bersama Perdana Menteri Inggris Winston Churchil tanggal 8 Desember tahun 1941 menyatakan hak untuk menentukan nasib sendiri bagi bangsa-bangsa.
Langkah awal yang dilakukan Amerika Serikat agar tidak terkena getah dari perang kolonial di Asia-Afrika adalah meminta negara-negara Sekutu seperti Prancis, Belanda, Inggris untuk melepas merk buatan Amerika Serikat di perlengkapan perang yang didapat mereka dari program Lend Lease. Sebagian senjata dan logistik perang mereka memang didapat dari bantuan Amerika Serikat semasa Perang Dunia II. Amerika Serikat tidak mau terseret dalam pusaran kekerasan negara imperialis terhadap bekas negara jajahan.
Terobosan Ukraina di New York
Kondisi persaingan Blok Barat dan Blok Timur ini turut berpengaruh dalam perjuangan bangsa-bangsa Asia-Afrika meraih kemerdekaan termasuk dalam Perang Kemerdekaan Indonesia ketika itu.
Dalam terbitan Kompas tanggal 20 Maret 2014 disebutkan tatkala Indonesia jatuh-bangun mengawali perjuangan pasca Proklamasi 17 Agustus 1945 serta tentara Sekutu, Inggris, dan Belanda membanjiri kantong-kantong kekuasaan Republik Indonesia, Ukraina pada awal tahun 1946 mengusung ”Indonesia Question” ke Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa sehingga mendapat perhatian dunia.
Sejarawan Bonnie Triyana mengatakan, semula masyarakat internasional menganggap perjuangan rakyat Indonesia adalah masalah pemberontakan domestik di koloni Hindia Belanda. Tentara Inggris di bawah Lord Louis Mountbatten yang bermarkas di Singapura menguasai kota-kota besar di Jawa-Sumatera bersama tentara Belanda di bawah Nederlands Indie Civil Administration (NICA).
Akhirnya bentrokan senjata tak terhindarkan di Jawa-Sumatera pada akhir 1945-awal 1946. Situasi memanas, pertempuran 10 November dan lain-lain berkecamuk.
Pada 4 Desember 1945, Sutan Sjahrir dalam sebuah jumpa pers meminta campur tangan PBB sebagai solusi terbaik menyelesaikan ”Masalah Indonesia”. Sjahrir segera berkirim surat pada Sidang Umum PBB pertama pada 10 Januari 1946 di Church House, Westminster, London, Inggris. Pihak Belanda melalui Menlu Eelco van Kleffens mengatakan, usul Indonesia itu bisa dibahas DK PBB.
Tatkala Indonesia jatuh-bangun mengawali perjuangan pasca Proklamasi 17 Agustus 1945 serta tentara Sekutu, Inggris, dan Belanda membanjiri kantong-kantong kekuasaan Republik Indonesia, Ukraina pada awal tahun 1946 mengusung ”Indonesia Question” ke Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa sehingga mendapat perhatian dunia.
Bonnie menjelaskan, seorang pemuda aktivis kiri asal Indonesia turut membangun lobi ke Eropa Timur. Beragam surat juga dilayangkan oleh Persatuan Perjuangan yang dipimpin Tan Malaka kepada Ukraina. Selanjutnya, Ketua Utusan Republik Sosialis Ukraina di PBB Dmitri Manuilsky mengajukan ”Indonesia Question” di Sidang DK PBB di London pada 21 Januari 1946.
”Dmitri Manuilsky dalam surat resmi kepada DK PBB menyatakan keadaan di Indonesia sudah membahayakan perdamaian dan keamanan dunia. Dia mendesak DK PBB bertindak sesuai Pasal 34 Piagam PBB untuk menyelidiki pertikaian yang dapat mengancam perdamaian dunia,” papar Bonnie.
Pada saat sama, Liga Arab juga menyatakan dukungan kepada Indonesia. India pun juga mendesak PBB. Bahkan dalam situasi Indonesia berperang menghadapi Belanda, Indonesia berhasil mengadakan diplomasi beras yakni pengiriman beras dari Indonesia ke Kalkuta untuk membantu India yang tengah dilanda kelaparan.
Dalam kondisi tersebut, Amerika Serikat berada dalam dilema antara mempertahankan kekompakan negara Blok Barat yang sama-sama menjadi pemenang Perang Dunia II dan di sisi lain mendukung hak bangsa-bangsa menentukan kemerdekaan sesuai semangat Piagam Kemerdekaan Amerika Serikat. Di sisi lain juga ada kepentingan berebut pengaruh antara Blok Barat dan Blok Timur kepada negara-negara yang sedang berjuang untuk merdeka!
Akhirnya diputuskan Sidang DK PBB akan membahas soal Indonesia, 28 Januari 1946. ”Indonesia Question” dibahas 7 Februari 1946, Manuilsky berpidato panjang lebar membahas sepak terjang militer Inggris dan British India di Indonesia.
Pada saat sama, Liga Arab juga menyatakan dukungan kepada Indonesia. India pun juga mendesak PBB.
Bola salju bergulir, sidang membahas ”Indonesia Question” berlangsung alot pada 7 lalu 9-13 Februari 1946. Zairin Zain dan Sumitro Djojohadikusumo yang hadir sebagai bagian delegasi Belanda, ketika itu Indonesia belum mempunyai delegasi sendiri, segera melaporkan hasil sidang kepada Sjahrir.
DK PBB berusaha membuat resolusi untuk Indonesia yang disponsori Ukraina, Uni Soviet dan Mesir, tetapi ditolak sidang karena tidak ada wakil Indonesia. Perjuangan berlanjut, usulan Ukraina untuk membentuk panitia penyelidik keadaan di Indonesia diputuskan lewat voting. Uni Soviet, Polandia, dan Meksiko mendukung usul Ukraina. Tiongkok menyatakan setuju secara prinsip dan Australia menolak. Namun, Australia menyatakan jika DK PBB memutuskan mengirimkan panitia penyelidik, mereka meminta ambil bagian.
Usulan Ukraina mendapat sambutan hangat di Indonesia. Persatuan Perjuangan (PP) di bawah Tan Malaka yang menghimpun 137 organisasi dan sayap militer mengadakan pawai menyatakan terima kasih. Bahkan Partai Masjumi juga dalam sidang di Surakarta, Februari 1946, menyatakan terima kasih kepada Ukraina dan Uni Soviet yang aktif memperhatikan perjuangan bangsa Indonesia.
Dukungan Penuh Amerika
Setelah Amerika terlibat dalam Komisi Jasa Baik, Profesor McMahon mengatakan, sikap tegas belum sepenuhnya diambil dalam memihak Indonesia. Meski demikian, perjuangan Haji Agus Salim dan Lambertus Nicolas Palar di PBB dan Amerika Serikat mulai mendapat dukungan luas.
“Phillip Murray seorang pemimpin serikat buruh penting di Amerika Serikat yang beranggotakan lebih dari lima juta pekerja ketika itu secara terbuka menyatakan mendukung Indonesia Merdeka. Demikian pula para buruh-buruh pelabuhan di New York dan kota-kota pelabuhan Amerika Serikat bersimpati pada perjuangan Indonesia,” kata McMahon.
Media-media di Amerika Serikat pun menampilkan kisah perjuangan Indonesia di halaman depan. Majalah Times dalam salah satu terbitannya menampilkan foto John Lie (pensiun sebagai Laksamana Pertama dan kini pahlawan nasional) dengan judul halaman depan: Kapten Penyelundup dan Alkitabnya.
Dukungan penuh dari Amerika Serikat diberikan menyusul Agresi Militer II yang dilancarkan Belanda bulan Desember 1948 yang menangkap Soekarno dan Hatta. Frank Porter Graham yang berada di Northern Carolina marah dan menyatakan tindakan tersebut tak ubahnya Inggris menangkap George Washington dalam Perang Kemerdekaan Amerika Serikat. Itu sama sekali tidak bisa diterima.
Belum lagi rangkaian aksi kekerasan militer Belanda selama Agresi Militer II dan sesudahnya membuat Amerika marah dan mengancam menghentikan bantuan keuangan untuk pembangunan Belanda pasca Perang Dunia II.
Dukungan penuh dari Amerika Serikat diberikan menyusul Agresi Militer II yang dilancarkan Belanda bulan Desember 1948 yang menangkap Soekarno dan Hatta.
Agresi Militer II oleh pihak Belanda, disebut di Amerika Serikat seperti serangan Nazi Jerman bulan Mei 1940 yang menghancurkan Rotterdam dan juga serangan Jepang terhadap pangkalan Amerika Serikat di Pearl Harbour.
“Akhirnya Amerika Serikat menggunakan senjata kekuatan ekonomi ketika berbagai jalur diplomasi Indonesia – Belanda buntu. Belanda pun menyerah dan tekanan sanksi ekonomi tersebut membuat Belanda berunding dengan Indonesia dalam pertemuan Mohammad Roem dan Van Royen yang berakhir dengan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia tanggal 27 Desember 1949” kata Profesor Robert McMahon.