Jebakan di Surat Suara (4)
Kurang dari dua bulan, tiba waktunya bagi masyarakat untuk memilih para wakil mereka di legislatif. Namun, dengan fokus perhatian tersita pada pemilu presiden, ditambah terbatasnya frekuensi kampanye para calon anggota legislatif, tidak mudah bagi publik untuk memilah dan memilih. Padahal, banyak jebakan di antara daftar nama calon yang tertera di surat suara.
Salah satu jebakan itu muncul dalam bentuk para mantan terpidana korupsi yang maju menjadi calon anggota legislatif (caleg).
Akhir Januari 2019, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan 49 nama caleg yang berstatus mantan terpidana kasus korupsi. Kemudian beberapa hari lalu KPU kembali mengumumkan tambahan 32 caleg mantan napi korupsi. Dengan demikian, total ada 81 caleg pernah dipenjara karena korupsi.
Kebijakan mengumumkan nama-nama para mantan napi korupsi ditempuh KPU karena para caleg tersebut tidak kunjung mengumumkan statusnya seperti yang diamanatkan oleh Pasal 240 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
”Ini merupakan bagian dari pendidikan politik agar masyarakat dapat memilih calon wakil rakyat yang tak punya catatan buruk, baik secara personal, publik, apalagi terkait penyelewengan keuangan negara,” kata anggota KPU, Pramono Ubaid Tanthowi, saat itu.
Caleg tersangka
Jebakan lain adalah banyaknya caleg berstatus tersangka kasus korupsi, dan kini sebagian dari mereka sudah menjadi penghuni penjara.
Sebut saja, misalnya, Wakil Ketua DPR dari Partai Amanat Nasional (PAN) Taufik Kurniawan. Dia ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir Oktober lalu, yang kemudian dilanjutkan dengan penahanannya, tetapi namanya tetap ada di daftar caleg PAN untuk Daerah Pemilihan (Dapil) Jawa Tengah VII (Banjarnegara, Purbalingga, dan Kebumen).
Dalam arti kata lain, calon pemilih di tiga kabupaten itu diperkirakan tetap melihat nama Taufik Kurniawan di surat suara. Taufik pun tetap bisa dipilih dan terpilih jika hingga hari pemungutan suara pemilu, 17 April 2019, belum divonis bersalah berdasarkan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.
Kemudian, pimpinan dan anggota DPRD Jambi yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan gratifikasi dari Zumi Zola saat masih menjabat gubernur Jambi, untuk memuluskan pengesahan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Jambi Tahun 2017 dan 2018, akhir tahun lalu.
Baca juga: Warna-warni Kampanye Caleg (1)
Tidak sedikit di antaranya namanya akan tetap hadir di daftar caleg untuk Pemilu 2019. Sebagai contoh, Ketua DPRD Jambi Cornelis Buston sebagai caleg DPR dari Partai Demokrat untuk Dapil Jambi.
Kemudian Wakil Ketua DPRD Jambi dari PDI-P, Chumaidi Zaidi, yang menjadi caleg DPR dari PDI-P untuk Jambi. Selanjutnya Wakil Ketua DPRD Jambi dari Gerindra, AR Syahbandar, caleg DPRD Jambi dari Gerindra untuk Jambi II.
Sebelum kasus di Jambi, beberapa anggota DPRD Kota Malang, yang juga ditetapkan sebagai tersangka korupsi, namanya juga masih akan tertera di daftar calon anggota DPRD Kota Malang.
Sekalipun berstatus tersangka dan banyak di antaranya sudah ditahan, nama mereka akan tetap tertera di daftar caleg dan surat suara. Pasalnya, aturan di UU Pemilu tak memungkinkan mereka untuk diganti sebelum mereka divonis bersalah oleh putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.
Apabila para caleg yang sudah ditahan itu terpilih, jelas tidak mungkin mereka bisa menjalankan tugas sebagai wakil rakyat.
Baca juga: Ketika Tak Ada Lagi Bulan Bahagia (2)
Bagi yang tidak ditahan pun, ada potensi mereka tak akan menjalankan tugasnya dengan maksimal karena harus fokus pada persoalan hukumnya. Selain itu, mereka berpotensi diberhentikan sementara saat statusnya ditingkatkan menjadi terdakwa atau bahkan diberhentikan tetap jika sudah divonis bersalah oleh pengadilan.
Memang, undang-undang menyebutkan, mereka bisa diganti setelah divonis bersalah dan diberhentikan tetap. Namun, berkaca pada pengalaman selama ini, pergantian antarwaktu membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Artinya selama proses itu belum tuntas, kepada siapa rakyat yang diwakili oleh anggota legislatif itu harus menyampaikan aspirasinya atau mengadu saat dihadapkan pada persoalan-persoalan pelik?
”Kalau ada pilihan yang tidak bermasalah secara hukum, mengapa harus memilih yang bermasalah dan membawa risiko suara kita sia-sia? Pemilih harus cermat, peduli, dan meluangkan waktu dalam mencermati caleg yang akan mereka pilih nanti,” kata Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini.
Baca juga: Penuhi Hak Pemilih, KPU Perlu Buka Nama Caleg Tersangka Korupsi
Caleg fiktif
Tidak hanya itu, berdasarkan informasi yang dihimpun Kompas, ada pula caleg fiktif di antara daftar caleg.
Fiktif di sini bukan berarti mereka adalah orang-orang beridentitas fiktif. Namun, mereka maju sebagai caleg hanya untuk memenuhi kuota caleg partai politik.
Baca juga: Seperti Memilih Wakil dalam Karung (3)
Dengan demikian, mereka dipastikan tidak akan pernah berkampanye, apalagi turun ke dapil menemui masyarakat.
Meski demikian, dengan nama mereka tetap tertera di surat suara, tetap saja ada peluang mereka akan dipilih, bahkan terpilih.
Atas semua persoalan caleg itu, fungsi partai politik yang menghadirkan mereka patut dipertanyakan.
”Partai memiliki pandangan mengenai kelayakan caleg yang berbeda dengan publik dan penyelenggara pemilu. Mungkin (parpol) memilih para caleg yang sudah membantu parpol, menguntungkan parpol,” kata Peneliti Senior Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) yang juga komisioner KPU periode 2012-2017, Hadar Navis Gumay.
Baca juga : "Mesin" Caleg untuk Caleg (5)
Kritik kepada partai pun dilayangkan oleh Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi August Mellaz.
”Masa dari 260 juta lebih populasi Indonesia, sulit cari kader atau figur yang bukan mantan napi korupsi? Ini murni problem etik dalam dunia politik dan otoritas sepenuhnya ada pada partai. Sebab, partai politiklah entitas utama dan satu-satunya sebagai peserta pemilu untuk memilih DPR dan DPRD,” kata August.
Cermati caleg
Kini, dengan nama-nama caleg bermasalah itu tetap ada di surat suara, Hadar mengajak publik untuk lebih aktif memeriksa caleg di wilayah mereka.
Baca juga : Perang Melawan Politik Uang (6)
Upaya ini dapat dilakukan dengan memeriksa data diri caleg yang ada pada situs KPU. Opsi lainnya, pemilih dapat menelusuri nama-nama caleg mereka melalui pemberitaan di media massa.
”Sebaiknya begitu, tetapi alangkah lebih baik lagi jika penyelenggara pemilu memberikan akses yang termudah (terhadap data-data caleg),” kata Hadar.
Untuk diketahui, masyarakat dapat mengecek data dan latar belakang caleg melalui situs resmi KPU, https://infopemilu.kpu.go.id/. Dalam bagian daftar calon tetap, masyarakat dapat memeriksa dokumen-dokumen persyaratan setiap caleg, termasuk riwayat hidup (curriculum vitae) dan pas foto.
Namun, berdasarkan temuan Perludem, ada 2.043 caleg DPR atau sekitar 25 persen dari total caleg yang data dirinya tidak tersedia karena caleg menolak memublikasikannya. Sikap para caleg itu, menurut peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil, bisa jadi salah satu pertimbangan publik saat memilih.
Baca juga : Gerilya Pengawas Pemilu (7-habis)
”Jika memang caleg itu sengaja tak mau memublikasikan datanya, itu salah satu indikator untuk tidak perlu memilih caleg tersebut. Bagaimana mungkin calon pejabat publik tidak mau terbuka membuka data dirinya kepada publik dan calon pemilihnya,” ujar Fadli.