YOGYAKARTA, KOMPAS — Kesadaran sejarah hendaknya menjadi tujuan dalam pengajaran sejarah. Hal itu bisa membantu bangsa ini untuk menentukan arah kemajuannya. Masa lalu dipelajari agar tidak terperosok di masa kini, kemudian mempersiapkan diri untuk berkembang di masa mendatang.
Hal tersebut disampaikan Hilmar Farid, Direktur Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dalam pembukaan Simposium Nasional Pengajaran Sejarah bertema ”Revolusi Pembelajaran Sejarah di Indonesia”, di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sabtu (23/2/2019).
”Sebetulnya, ketika mengajar sejarah, tujuan terpenting bukan sekadar membuat siswa mengerti peristiwa sejarah masa lalu. Bukan sekadar mengingat para pahlawan. Yang paling pokok adalah terbentuknya dan menguatnya kesadaran sejarah,” ujar Hilmar.
Ia menambahkan, kesadaran membuat sejarah menjadi relevan untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sejarah dijadikan pelajaran kehidupan untuk menentukan langkah di masa mendatang agar tidak mengulangi kesalahan yang sama di masa lalu.
Pemikiranbisatumbuh
”Hal yang ada saat ini, semua ada latar belakangnya. Segala sesuatu itu mempunyai masa lalu. Kesadaran semacam ini saya kira sangat penting. Dengan mengetahui latar belakang, lantas bisa memberikan kedalaman. Pemikiran siswa itu bisa tumbuh, membuatnya tahu sekarang ada di mana dan mau menuju ke mana,” tutur Hilmar.
Ia mengungkapkan, Revolusi Industri 4.0 menjadi tantangan tersendiri untuk pengajaran sejarah. Dunia bergerak semakin cepat seiring dengan informasi yang semakin mudah diakses. Guru harus mengimbangi siswanya dalam hal kecakapan informasi agar pengajaran sejarah tetap relevan dan esensial guna membentuk karakter siswa.
”Dunia semakin cepat bergerak. Gerak yang semakin cepat ini harus dipastikan agar arahnya sesuai keinginan bersama sebagai bangsa. Sejarah menjadi kemudi yang kuat dalam gerak cepat tersebut karena memiliki nilai esensial untuk membentuk karakter (siswa),” kata Hilmar.
Ketua Umum Asosiasi Guru Sejarah Indonesia Sumardiansyah Perdana Kusuma mengatakan, guru sejarah berada sebagai garda terdepan dalam mengembangkan kesadaran sejarah. Fakta-fakta sejarah disampaikan kepada generasi penerus untuk selanjutnya direfleksikan guna menumbuhkan karakter kebangsaan bagi siswa.
”Kita semua memahami guru sejarah adalah ujung tombak peradaban. Bapak dan ibu guru perlu mengembangkan kesadaran sejarah. Fakta sejarah merupakan hal penting. Refleksi nilai masa lalu untuk mengembangkan karakter bangsa itu juga menjadi tugas kita,” ucap Sumardiansyah.
Terkait hal itu, Sri Margana, sejarawan dari Universitas Gadjah Mada, menyatakan, guru sejarah harus mencari metode pengajaran semenarik mungkin. Penggunaan media selain buku teks perlu dipertimbangkan dalam menyajikan fakta sejarah bagi siswa sehingga bisa memicu rasa keingintahuan mereka.
”Guru harus pintar-pintar cari cara mengajar sejarah yang menarik bagi siswanya. Mungkin, bisa menggunakan artefak sebagai media pengajaran sejarah untuk mendapatkan fakta sejarah yang lebih luas,” kata Margana.
Sementara itu, dosen Pendidikan Sejarah dari Universitas Negeri Yogyakarta, Dyah Kumalasari, menyampaikan, siswa hendaknya tidak lagi sekadar diminta menghafal fakta sejarah. Mereka harus didorong daya eksplorasinya dengan diajak memecahkan masalah dari berbagai fakta sejarah yang terkumpul. Hal itu diyakininya justru mampu membuat siswa lebih memahami sejarah sekaligus menimbulkan kesadaran sejarah.
”Orientasi belajar jangan lagi hafalan. Mereka memang harus tahu fakta sejarah secara umum. Lebih baik lagi adalah belajar sejarah dengan mencoba menyelesaikan permasalahan dari fakta sejarah yang ada. Biarkan mereka mengeksplorasi jawaban berdasarkan bimbingan guru,” ujar Dyah.