Cabang olahraga angkat besi memasuki periode tersibuk dalam sejarahnya. Dalam waktu 66 hari ke depan, misalnya, ada 10 ajang kualifikasi Olimpiade 2020 diselenggarakan di berbagai negara. Di waktu bersamaan, usaha untuk memerangi doping dilakukan demi memastikan sportivitas olahraga.
Jadwal padat itu diawali dengan Piala Dunia Federasi Angkat Besi Internasional (IWF) di Fuzhou, China, pada 22-27 Februari. Indonesia, bersama 18 negara lainnya, termasuk Rusia dan tuan rumah China, akan bersaing mengumpulkan poin peringkat dunia demi lolos ke Olimpiade Tokyo 2020.
Selanjutnya, Piala Fajr akan bergulir di Iran pada 1–5 Maret telah menarik minat lifter dari 17 negara, termasuk Rusia, Jerman, Romania, Hongaria, Latvia, Kroasia, Austria, dan Turki. Ada pula kejuaraan dunia remaja, di Las Vegas, Amerika Serikat, pada 8-15 Maret.
Acara lain yang akan digelar sebelum 30 April, akhir dari periode kualifikasi enam bulan pertama untuk Tokyo 2020, antara lain Kejuaraan Zona Afrika di Kenya dan Libya, Las Vegas Terbuka di Amerika Serikat, Kejuaraan Arafura di Australia, Kejuaraan Asia di China, Kejuaraan Pan Amerika di Guatemala, dan Kejuaraan Afrika di Mesir.
Tegas
Untuk pertama kali dalam sejarah, kualifikasi Olimpiade menggunakan sistem individu di mana atlet harus mengikuti minimal enam kejuaraan dalam periode waktu 18 bulan untuk membuka peluang tampil di Tokyo 2020. Sebelumnya, di Rio 2016 menggunakan sistem kualifikasi tim. Sambil menyelenggarakan kualifikasi Olimpiade, IWF juga berpacu dengan waktu untuk memerangi kasus doping.
Direktur Jendral IWF Attila Adamfi menegaskan, lifter mana pun pasti akan ditangkap bila terbukti menggunakan zat doping. "Kasus-kasus terbaru memberikan pesan kepada dunia bahwa ini bukan hanya satu tes sederhana yang harus dijalani,” ujarnya di laman IWF.
Adamfi menjelaskan, dengan menggunakan metodologi penelitian tercanggih, IWF ingin memastikan tidak ada lagi ruang efektif bagi seorang lifter untuk menggunakan doping di luar musim kejuaraan, sambil berharap saat kompetisi dinyatakan bersih. “Jika anda (menggunakan zat) doping, anda akan ditangkap,” tegasnya.
Kepala Bidang Pembinaan Prestasi PB PABBSI Alamsyah Wijaya mengatakan, banyak cara untuk curang, salah satunya “menyembunyikan” lifter sering dipakai beberapa negara peserta Olimpiade untuk memastikan atlet mereka juara. “Saat kualifikasi, lifter unggulan tidak dimainkan. Mereka disimpan. Begitu saatnya Olimpiade, lifter unggulan tadi tampil dengan angkatan luar biasa. Setelah diperiksa, ternyata menggunakan doping,” katanya.
Bertahun-tahun
Skandal doping sudah menjangkiti tubuh angkat besi sejak bertahun-tahun lalu. Pada Oktober 2017 sebanyak sembilan negara, mendapatkan larangan berkompetisi selama satu tahun karena kasus doping. Tidak berhenti di situ, skandal doping terus berlanjut. Dalam tiga bulan terakhir saja terdapat 22 atlet yang dinyatakan positif doping dan mendapat larangan berlomba.
Sebanyak delapan atlet merupakan lifter Thailand, termasuk tiga juara dunia dan dua peraih medali emas Olimpiade. Mereka mendapat larangan berlomba sejak 23 Desember 2018. Mereka dinyatakan positif doping setelah IWF melakukan pengujian ulang terhadap sampel urine di Kejuaraan Dunia 2018. Ada juga dua juara Olimpiade dari Ukraina dan Uzbekistan yang dinyatakan positif doping setelah dilakukan pengujian ulang sampel urine dari Olimpiade London 2012.
Usaha IWF dalam memerangi kasus doping, misalnya, dengan memperkuat sistem penyimpanan sampel urine. Melalui Komisi Olahraga Bersih Independen, IWF secara signifikan meningkatkan jumlah sampel urine yang disimpan. Sampel urine ini kemudian dianalisis kembali setiap kali ada penemuan teknologi terbaru berkaitan dengan usaha untuk memerangi doping.
Dengan aturan doping yang lebih ketat, dan berbagai langkah lain yang dilakukan IWF untuk memerangi doping, tentu saja membuat banyak negara merasa khawatir. Apalagi, sanksi doping tidak hanya berupa larangan berlomba bagi atlet yang terbukti positif doping. Negara bersangkutan juga bisa mendapatkan larangan berlomba, termasuk absen dari Olimpiade.
Berdasarkan aturan IWF, negara yang tidak punya kasus doping bisa mengirim maksimal hingga delapan atlet ke Tokyo 2020. Sementara negara-negara dengan kasus doping sebanyak 20 atau lebih sejak Olimpiade Beijing 2008 hanya bisa mengirim dua atlet, yaitu Armenia, Azerbaijan, Belarus, Kazakhstan dan Rusia.
IWF juga mengatur, negara dengan tiga atau lebih atlet yang dinyatakan positif doping, mendapat larangan berlomba selama empat tahun. Dengan aturan itu, Thailand kemungkinan absen dari Olimpiade 2020 mengingat baru-baru ini ada delapan atlet dinyatakan positif doping. Thailand juga terancam batal menyelenggarakan Kejuaraan Dunia IWF 2019 di Pattaya, pada September.
Kasus doping, seperti yang dikatakan pelatih kepala timnas angkat besi Indonesia Dirdja Wihardja, telah mengubah peta persaingan dunia. Sekarang pertanyaannya, bagaimana Indonesia bisa memanfaatkan situasi ini demi pencapaian prestasi?