”Mesin” Caleg untuk Caleg (5)
Calon presiden-wakil presiden menjadikan calon anggota legislatif dari partai politik pengusung dan pendukungnya sebagai salah satu pilar pemenangan. Namun, realitasnya, mereka sibuk memenangkan diri agar terpilih di Pemilu 2019.
Hampir dua jam, calon anggota DPRD DKI Jakarta, Muallif, dan calon anggota DPR, Azmi Hakam Guntoro berkampanye, di Lapangan Garuda, Tanah Abang, Jakarta, akhir Januari lalu.
Di hadapan puluhan warga, keduanya bergantian memperkenalkan diri. Porsi pengenalan diri ini dominan dibandingkan visi, misi, dan programnya jika kelak berhasil terpilih.
Namun, hingga kampanye berakhir menjelang tengah malam, tak ada satu pun terlontar soal calon presiden-wakil presiden nomor urut 01, Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
Padahal, sebagai calon anggota legislatif (caleg) dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), mereka telah diinstruksikan untuk turut mengampanyekan Jokowi-Ma’ruf.
PKB merupakan salah satu partai pengusung Jokowi-Ma’ruf. Selain PKB, ada pula PDI-P, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Nasdem, dan Partai Hanura.
Selain itu, ada pula empat partai pendukung, yaitu Partai Solidaritas Indonesia, Partai Perindo, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, serta Partai Bulan Bintang.
Tak hanya Muallif dan Azmi, saat Kompas melihat kampanye calon anggota DPRD DKI Jakarta dari Perindo, Jausan S Barry, di Johar Baru, Jakarta, beberapa waktu lalu, dia juga tak mengampanyekan Jokowi-Ma’ruf. Jausan fokus mengampanyekan diri.
Begitu pula saat kampanye calon anggota DPRD DKI Jakarta dari Partai Demokrat, Desie Christihyana Sari, di Lapangan Badminton Menteng, Jakarta, pertengahan Januari lalu.
Baca juga: Warna-warni Kampanye Caleg (1)
Padahal, Demokrat bersama dengan Partai Gerindra, Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Berkarya menjadi bagian dari partai pengusung dan pendukung capres-cawapres nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno.
Di sejumlah kesempatan, Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi pun selalu mengingatkan caleg untuk ikut mengampanyekan Prabowo-Sandi.
Alat peraga kampanye
Jika diamati dari alat-alat peraga kampanye yang dipasang caleg di sejumlah tempat, porsi caleg juga lebih dominan.
Sebagian besar caleg justru hanya memasang foto diri, namanya, nomor urutnya di surat suara kelak, dan logo partainya. Sementara foto dari capres-cawapres yang diusung ataupun didukung oleh partai justru tidak terlihat.
Dari total 16 partai politik peserta Pemilu 2019, hanya caleg dari dua partai, yaitu PDI-P dan Gerindra, yang di setiap alat peraga kampanyenya hampir pasti terpasang foto berikut nomor urut dari capres-cawapres. Di luar itu, ada yang memasang, tetapi banyak yang memilih tidak memasangnya.
Baca juga: Ketika Tak Ada Lagi Bulan Bahagia (2)
Jokowi adalah kader PDI-P, sedangkan Prabowo adalah Ketua Umum Gerindra. Sandi, sekalipun sudah keluar dari Gerindra, sejak maju dalam pencalonan Pemilu Presiden 2019, masih dikenal sebagai bagian dari Gerindra.
Mesin pemenangan
Wakil Sekretaris Jenderal PKB Daniel Johan tidak menampik ada caleg yang tidak mengampanyekan Jokowi-Ma’ruf sekalipun partai sudah berkali-kali menginstruksikan. Hal ini terutama terjadi pada caleg di daerah pemilihan (dapil) yang bukan basis pendukung Jokowi-Ma’ruf.
”Di sejumlah daerah, ada massa yang sangat militan mendukung pemenangan caleg, tetapi dengan syarat jangan mencantumkan foto capres-cawapres yang diusung partai di alat peraga kampanye. Sebab, mereka mendukung capres/cawapres yang lain. Jika tetap dipasang, mereka mundur,” tuturnya.
Dihadapkan pada realitas itu, caleg pun pasrah. Partai juga tidak bisa memaksa. Apalagi di Pemilu 2019, partai dihadapkan pada ambang batas parlemen yang lebih tinggi.
Pada tahun 2019, jika partai gagal meraih 4 persen dari jumlah suara sah nasional, partai tidak lolos ambang batas parlemen. Angka itu naik dari ambang batas 3,5 persen di Pemilu 2014.
Wakil Sekjen Partai Demokrat Renanda Bachtar juga tidak menampik banyak caleg partainya memprioritaskan kampanye diri sendiri daripada mengampanyekan Prabowo-Sandi.
Bahkan, dari pantauannya, hanya caleg PDI-P dan Gerindra yang rajin mengampanyekan capres-cawapres, termasuk memasang foto mereka di setiap alat peraga kampanye caleg.
Baca juga: Seperti Memilih Wakil dalam Karung (3)
Hal ini, menurut dia, bisa terjadi karena caleg PDI-P dan Gerindra diuntungkan dengan mengampanyekan capres-cawapres.
Caleg dari PDI-P bisa memperoleh efek ekor jas dari kekuatan elektoral Jokowi. Adapun caleg Gerindra bisa menerima hal yang sama dari Prabowo ataupun Sandi. Jadi, mengampanyekan capres-cawapres bakal memudahkan mereka untuk terpilih.
”Partai pengusung lain tidak dapat efek ekor jas. Kalaupun ada, sangat kecil. Demokrat tetap berupaya mengampanyekan Prabowo-Sandi. Namun, di wilayah yang bukan basis Prabowo-Sandi, kampanye capres tidak intens,” ucapnya.
Dengan kondisi yang ada itu, mesin pemenangan capres-cawapres lebih banyak bertumpu kepada tim suksesnya dan gerak dari sukarelawan capres-cawapres. Karena itu, kedua capres-cawapres rajin menjaring sukarelawan.
Transaksional
Realitas yang ada itu sekaligus kian menggugurkan pandangan yang muncul saat model pemilu serentak ditetapkan, bahwa caleg dari partai-partai pengusung dan pendukung capres-cawapres akan ikut memenangkan capres-cawapres.
Baca juga: Jebakan di Surat Suara (4)
Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) yang juga dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina, Djayadi Hanan, melihat gerak caleg yang lebih mementingkan pemenangan diri daripada capres-cawapres itu sebagai keniscayaan saat partai dihadapkan pada meningkatnya ambang batas parlemen dan semakin ketatnya persaingan di antara partai.
Ditambah lagi, caleg tentu tidak ingin kerja-kerja pemenangannya menjadi sia-sia. Untuk itu, mereka tidak akan memaksakan diri mengampanyekan capres-cawapres jika kampanye justru bisa menjadi bumerang.
”Caleg partai pengusung Jokowi-Ma’ruf tidak akan secara terbuka mengampanyekan Jokowi di basis Prabowo seperti di Sumatera Barat. Begitu pula sebaliknya, caleg partai pengusung Prabowo-Sandi di basis Jokowi. Jika dipaksakan, dapat membuat dukungan masyarakat kepada caleg berkurang,” ujarnya.
Sikap pragmatis partai dan caleg ini terlihat wajar dalam politik. Namun, dalam jangka panjang, bangunan koalisi yang terbentuk berpotensi rapuh dan sarat dengan politik transaksional, sama halnya dengan yang terjadi selama ini.
Baca juga : Perang Melawan Politik Uang (6)
”Pasca-terpilihnya presiden, koalisi akan bergantung pada kesepakatan informal di antara parpol pengusung. Untuk menjaga kondusivitas koalisi, akan terjadi bagi-bagi kursi menteri maupun jabatan lain,” kata Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini.
Begitu pula dukungan koalisi partai di legislatif ke pemerintahan yang terbentuk dari pemilu akan bergantung pada sejauh mana kemampuan presiden terpilih mengakomodasi kepentingan mereka.
Baca juga : Gerilya Pengawas Pemilu (7-habis)
Hal ini tak terhindarkan karena koalisi yang terbentuk adalah koalisi pencalonan, bukan koalisi formal pendukung pemerintah atau koalisi oposisi. Mekanisme itu tidak terlembagakan dalam sistem kepartaian ataupun pemerintahan.
”Sangat mungkin terjadi gesekan dalam koalisi terkait kebijakan pemerintah demi kepentingan citra elektoral di pemilu selanjutnya,” ucapnya. (FAJAR RAMADHAN/MELATI MEWANGI/WISNU WARDHANA DHANY)