Nilai Sumber Daya Alam Masyarakat Adat Melebihi Nilai Perekonomian Daerah
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·3 menit baca
Nilai sumber daya alam masyarakat adat suku Moi Kelim di Kampung Malaumkarta di Sorong melebihi nilai perekonomian daerah tersebut. Hal ini harus menjadi dasar dalam perencanaan pembangunan.
Perencanaan pembangunan hendaknya mempertimbangkan valuasi sumber daya alam yang dikelola masyarakat adat atau lokal. Dengan valuasi komprehensif kepentingan pembangunan meminimalkan risiko pemiskinan masyarakat setempat.
Kajian Valuasi Ekonomi Lanskap Masyarakat Adat Suku Moi Kelim di Kampung Malaumkarta Papua Barat yang diterbitkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara tahun 2018, menunjukkan hal tersebut. Penyusun kajian pakar valuasi ekonomi Zuzy Anna dan Tim Ekonomi AMAN menampilkan nilai ekonomi sumber daya alam yang dikelola Kampung Malaumkarta di Kabupaten Sorong tersebut bernilai Rp 156, 39 miliar per tahun.
Dalam kajian itu, Zuzy menghitung nilai ekonomi manfaat langsung seperti perikanan, kebun pangan, buah, obat-obatan, pariwisata, dan budaya senilai Rp 7,96 miliar per tahun. Manfaat tak langsung seperti penyerap karbon serta fungsi ekosistem terumbu karang, mangrove, dan lamun mencapai Rp 148,43 miliar per tahun. Nilai non manfaat yang dirasakan masyarakat divaluasi sebesar 3,5 miliar sehingga nilai total ekonomi yang didapatkan sebesar Rp 159,93 miliar per tahun.
Nilai total ekonomi ini apabila dikonversi ke nilai per kapita per tahun sebesar Rp 828,658 juta. Nilai ekonomi manfaat langsung yang dikonsumsi langsung per kapita per tahun senilai Rp 41,231 juta atau Rp 3,435 juta per kapita per bulan atau Rp 189,467 juta per keluarga per tahun atau Rp 15,788 juta per keluarga per bulan.
Nilai ekonomi manfaat langsung yaitu sebesar Rp 41,231 juta atau Rp 3,435 juta per kapita per bulan atau Rp 189,467 juta per keluarga per tahun atau Rp 15,788 juta per keluarga per bulan.
Jika dibandingkan dengan nilai PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Kabupaten Sorong dengan migas tahun 2016 sebesar Rp 7,716 triliun dengan jumlah penduduk 82.784 jiwa, atau Rp 7,768 juta per kapita per bulan, maka nilai ekonomi landskap Moi Kelim masih lebih kecil. Namun jika dibandingkan dengan PDRB Kabupaten Sorong tanpa migas sebesar Rp 2,802 triliun atau Rp 2,82 juta per kapita per bulan, maka nilai ekonomi langsung lanskap Moi Kelim masih di atas PDRB tanpa migas.
Jika dibandingkan dengan PDRB Kabupaten Sorong tanpa migas sebesar Rp 2,802 triliun atau Rp 2,82 juta per kapita per bulan, maka nilai ekonomi langsung lanskap Moi Kelim masih di atas PDRB tanpa migas.
Demikian juga jika dibandingkan dengan upah minimum regional Papua Barat pada tahun 2018 sebesar Rp 2,67 juta per bulan, maka nilai ekonomi langsung masyarakat adat Moi kelim di Malaumkarta masih lebih tinggi yaitu Rp 3,44 juta per bulan.
"Bila pemerintah akan lakukan pembangunan sudah ada pegangan base line ini. Kalau ada pembangunan harus lebih tinggi efeknya terhadap pendapatan masyarakat dari kondisi base line," kata Zuzy Anna saat mendampingi kunjungan media ke Malaumkarta, Kamis (21/2/2019), di Sorong.
Zuzy mengatakan studi ini belum memasukkan nilai ekonomi dari listrik mikrohidro yang dibangun kampung dari dana desa serta manfaat air. Bila keduanya turut dihitung, pengajar di Universitas Padjajaran Bandung ini, nilainya akan lebih tinggi.
Hutan adat dijaga
Menanggapi masukan studi ini, Bupati Sorong Johny Kamuru sangat menyambut baik. "Saya cenderung agar hutan adat dijaga dan tidak usah diapa-apakan kalau (rencana pembangunan) tidak ada baiknya untuk masyarakat," kata dia.
Saya cenderung agar hutan adat dijaga dan tidak usah diapa-apakan kalau (rencana pembangunan) tidak ada baiknya untuk masyarakat.
Ia pun mengatakan Kabupaten Sorong telah memiliki Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Suku Moi. Aturan ini, lanjutnya, akan dilengkapi dengan sejumlah peraturan bupati sebagai pelaksanaan seperti Peraturan Bupati Sorong Nomor 7 Tahun 2017 tentang Hukum Adat dan Kearifan Lokal dalam Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Laut di Kampung Malaumkarta Distrik Makbon Kabupaten Sorong.
Dalam waktu dekat, ia akan menerbitkan regulasi serupa untuk pengelolaan hutan adat. Pemetaan dan tata batas antarmarga atau klan menjadi tantangan tersulit.
Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan dan HAM Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara mengatakan pengakuan adat akan memotong rantai kendali pasca Undang-Undang Pemerintah Daerah yang menarik kewenangan bupati/walikota atas hutan dan laut ke gubernur. Dengan pemerintah kabupaten menerbitkan peraturan daerah, pengelolaan dan pengaturan hutan atau laut yang dikelola masyarakat adat bisa langsung dilakukan bupati.