Rumus Saklek di Rumput Hijau
Sepak bola bukanlah ilmu pasti. Tidak ada rumus tertentu untuk memenangkan pertandingan berdurasi 2 x 45 menit itu. Jika dalam matematika satu tambah satu sama dengan dua, di lapangan rumput hijau hasilnya bisa tak terduga.
Yunani membuktikan semua hal bisa terjadi di sepak bola. Dengan hanya mengandalkan bola mati di sepanjang Euro 2004, mereka mengalahkan tim tuan rumah, Portugal, di final. "Negeri Dewa-dewi" itu menepis prediksi semua orang. Termasuk pemain-pemain Portugal yang sebelum laga sudah menyiapkan pesta di ruang ganti.
Begitu pun dengan tim papan bawah Leicester City, yang mengandalkan permainan bertahan dan umpan jauh pada musim 2015/2016. Mereka menjuarai Liga Primer Inggris di tengah kepungan klub raksasa Inggris. Padahal bursa taruhan di Inggris menghitung kesempatan mereka menjuarai liga hanya 1 banding 5.000, peluang itu lebih kecil daripada taruhan aktris Amerika Serikat Kim Kardashian mampu menjadi Presiden suatu saat nanti.
Ketidakpastian tersebut membuat legenda Arsenal, Arsene Wenger, mengibaratkan sepak bola layaknya sebuah seni. Dalam sebuah karya seni, tidak ada rumus pasti. Hasilnya indah tetapi tidak bisa diperkirakan sebelumnya akan menjadi seperti apa.
Di tengah segala ketidakpastian dalam sepak bola, pelatih asal Italia Maurizo Sarri datang ke Chelsea pada awal musim 2018/2019, membawa rumus kemenangan. Rumus itu adalah taktik buatannya, sarriball, yang membawa dia suskses tiga musim di Napoli.
Sarriball merupakan taktik mengandalkan sistem permainan dengan umpan pendek cepat berpola segitiga untuk membongkar pertahanan lawan. Dengan formasi 4-3-3, Sarri mengincar serangan balik cepat setelah anak asuhnya merebut bola.
Ketidakpastian tersebut membuat legenda Arsenal, Arsene Wenger, mengibaratkan sepak bola layaknya sebuah seni. Dalam sebuah karya seni, tidak ada rumus pasti.
Sarri benar-benar menjiplak filosofinya tersebut dari Napoli ke Chelsea tanpa melihat perbedaan kualitas pemain dan kondisi liga. Bahkan dia membawa dua pemain andalannya semasa di Napoli, Jorginho dan Gonzalo Higuain, untuk mereplikasi gaya saat melatih di Italia.
Baca juga: Gonzalo Higuain, antara Reuni Napoli dan Kutukan Argentina
Rumus kemenangan pria berusia 60 tahun itu awalnya berjalan sesuai rencana. Pada awal musim, dia mencatatkan 12 laga tak terkalahkan. Namun, seiring waktu berjalan. Strategi itu terbaca dan berhasil dihentikan lawan-lawannya.
Puncaknya pada Februari 2019, Chelsea dibantai oleh Bournemotuh, 0-4, dan Manchester City, 0-6, di Liga Primer, serta gugur di Piala FA setelah kalah dari Manchester United, 0-2.
Bagaikan seorang guru matematika yang percaya kepada rumusnya sebagai pemecah jawaban, Sarri kekeh pada sarriball. Sepanjang musim, baik menang, seri, ataupun kalah, dia tidak pernah mengubah skema 4-3-3. Bahkan, komposisi pemain di lapangan nyaris sama, cenderung hanya satu posisi gelandang yang bergantian diperebutkan Ross Barkley dan Mateo Kovacic.
"Tidak ada yang salah dengan sistem ini. Hanya butuh motivasi dari pemain untuk bisa berjalan maksimal. Saya tetap akan menggunakan sistem ini," kata Sarri setelah kekalahan terakhirnya dari MU.
Baca juga: Di Balik Keterpurukan “The Blues”
Kenaifan pria yang kecanduan merokok tersebut membuat penggemar Chelsea geram. Pada saat kalah dari MU, di Stadion Stamford Bridge, penggemar "The Blues" menyorakinya. "Persetan dengan sarriball.... Kamu akan dipecat pagi besok," protes para penggemar.
Kegagalan bankir
Kerasnya kepala Sarri terhadap rumus kemenangan kemungkinan besar dari profesi masa lalunya. Sebelum terjun ke pelatihan profesional, dia adalah seorang bankir, di Banca Toscana, Firenze italia. Profesi itu menuntutnya saklek mengikuti rumus hitung-hitungan yang pasti.
Salah satu teman Sarri selama bekerja di bank, Aurelio Virgili, mengatakan rekannya adalah salah satu bankir terbaik. "Dia bekerja dengan sempurna. Dia selalu presisi, serta mengikuti aturan tertulis dan cara ilmiah. Hal itu juga yang setahu saya dibawanya ke dalam cara dia melatih klub," ucap Virgili kepada BBC.
Sebelum terjun ke pelatihan profesional, Sarri adalah seorang bankir, di Banca Toscana, Firenze italia. Profesi itu menuntutnya saklek mengikuti rumus hitung-hitungan yang pasti.
Namun sekali lagi, Sarri tentunya salah menyamakan pekerjaan bankir dengan arsitek klub sepak bola. Pekerjaan bankir mungkin akan sama di seluruh dunia. Tetapi tidak sama halnya dengan sepak bola. Setiap pemain, klub, dan liga memiliki karakteristik yang unik.
Asisten pelatih Chelsea Gianfranco Zola membela Sarri. Menurut dia, sarriball hanya membutuhkan waktu beradaptasi. "Kondisi Sarri sama dengan Josep Guardiola saat membawa filosofi baru ke Manchester City di musim pertama," kata mantan penyerang "The Blues" tersebut.
Ucapan Zola bisa jadi benar. Namun, sebagai bankir, Sarri seharusnya paham dengan segala risiko dari tindakannya. Guardiola merupakan rencana panjang dari City, dia memiliki waktu cukup panjang untuk membuktikan filosofinya.
Baca juga: Sarri Tersandera “Bendera Putih”
Tidak demikian dengan Sarri. Bagi pemilik Chelsea, Roman Abramovich, Sarri hanyalah salah satu pelatih yang ditugaskannya membawa piala ke Stamford Bridge. Yang artinya, Abramovich bersedia memecatnya kapan saja jika penampilan Chelsea menurun.
Telah terbukti, kursi kepelatihan di Chelsea selalu panas. Banyak pelatih hebat, seperti Jose Mourinho, Luiz Felipe Scolari, Roberto Di Matteo, yang dipecat di tengah musim karena sang taipan Rusia itu tidak puas. Bahkan, Di Matteo dipecat setelah enam bulan menjuarai Liga Champions pertama kalinya, trofi yang sangat diharapkan Abramovich sejak membeli Chelsea pada 2003.
Sarri semestinya belajar dari rekan senegaranya, Antonio Conte. Saat melatih Chelsea pada 2016/2017, Conte memakai rumus yang sama saat berhasil di klub Italia, Bari, 4-2-4. Namun, pada awal musim, mereka dibantai 0-3 dari Arsenal. Hal itu membuatnya mengubah formasi menjadi 3-4-3. Hasilnya, Chelsea menjuarai liga pada akhir musim.
Fleksibiltas itulah yang sering kali menjadi kunci kesuksesan pelatih bersama klubnya. Termasuk juga seorang Pep. Meski selalu menerapkan filosofi permainan menyerang dan menguasai bola, dia tidak pernah terpaku pada satu formasi ataupun komposisi pemain. Ini sudah dibuktikan saat melatih Barcelona, Bayern Munchen, dan Manchester City.
Lebih jauh ke belakang, sepak bola memang terus berinovasi. Seperti pertama kalinya ditemukan pada 1893 di Inggris, olah raga ini awalnya berasal dari permainan rugbi. Namun, rugbi dirasa terlalu mudah ditebak sehingga penggunaan tangan digantikan dengan kaki.
Meski selalu menerapkan filosofi permainan menyerang dan menguasai bola, Pep tidak pernah terpaku pada satu formasi ataupun komposisi pemain
Sejak saat itu, sepak bola terus bergerak. Mulai dari era Total Football dengan skema menyerang dan menekan secara eksplosif yang dilahirkan dari Belanda, Catenaccio dengan taktik bertahan ala Italia, hingga tiki-taka, permainan dominan penguasaan bola yang lahir di Spanyol. .
Begitulah sepak bola, tidak pernah ada satu rumus pasti memenangkan laga. Hanya ada satu rumus saklek di rumput hijau. Rumus itu adalah terus beradaptasi pada revolusi dan perkembangan taktik. Itu kunci bertahan di kejamnya sepak bola modern.