Sampah yang Bernilai Tambah di Tangan Ibu Rumah Tangga
Penanganan sampah memerlukan kolaborasi antara pemerintah dan warga. Di tangan para ibu di RW 006, Kelurahan Kujangsari, Kota Bandung, dengan dukungan pemerintah kota, sampah dari seluruh RW dikelola sehingga menghasilkan pendapatan
Di tangan sejumlah ibu di RW 006, Kelurahan Kujangsari, Bandung Kidul, Kota Bandung, sampah bukan lagi pencemar lingkungan. Dengan kesediaan untuk kotor dan tekun - juga didukung oleh program pemerintah kota - mereka menyortir aneka sampah, memanfaatkannya menjadi barang berharga, dan memperoleh pendapatan.
Setelah tiga jam nonstop bekerja, sebanyak delapan perempuan di lingkungan RW 006, Kelurahan Kujangsari, Kecamatan Bandung Kidul, Kota Bandung, Jawa Barat mengambil waktu sejenak untuk makan siang bersama, Sabtu (16/2/2019), sekitar pukul 12.00. Mereka adalah pengelola Bank Sampah Kujang Ngahiji yang dirintis sejak Februari 2018. Semua adalah ibu rumah tangga.
Makan bersama pun digelar di badan jalan setapak berundak, dua meter di depan pagar bank sampah. Ada pun bank sampah itu terletak di dalam halaman septic tank komunal di pinggir Sungai Cikapundung Kolot, Bandung.
“Mari istirahat, kita makan siang dulu,” kata Ny Ati Sumiati (59), istri dari Ketua RW 006, Kelurahan Kujangsari, Sofari (61) sambil membuka bekal yang dibawanya. Saat itu Ati membawa bumbu terasi karedok.
Ibu-ibu yang lain ada yang membawa termos, cerek berisi air putih, bekal ikan asin, tempe, dan tahu goreng, serta nasi putih. Di bawah naungan pohon rindang, dan lantunan gemercik Sungai Cikapundug Kolot, mereka lalu menikmati hidangan yang tersaji.
“Ini sudah menjadi kegiatan rutin seminggu sekali, tiap hari Sabtu. Makanan yang tersaji ini semuanya juga dari sumbangan warga,” tutur Sofari yang turut mendampingi pengelola bank sampah itu.
Kegiatan rutin di hari Sabtu yang dilakukan para ibu itu adalah melakukan pemilihan dan pemilahan sampah non organik yang telah disetorkan oleh para nasabah bank sampah sehari sebelumnya, yakni pada hari Jumat. Setelah sampah non organik itu dipilah, sampah dijual pada pengepul.
Sampah non organik yang dikumpulkan terdiri dari beberapa jenis, di antaranya gelas kemasan plastik yang dibeli oleh bank sampah dari warga seharga Rp 3.000 per kilogram, plastik 200 per kg, botol kemasan plastik 2.000 per kg, kardus 1.000 per kg, kaleng 500 per kg, besi 2.500 per kg, aluminium Rp 10.000 per kg, dan jenis campuran Rp 1.500 per kg.
Semua pengelolaan bank sampah itu dilakukan para ibu rumah tangga, tidak ada dari kalangan pelajar, mahasiswa, pekerja atau pun karyawan.
Semua pengelolaan bank sampah itu dilakukan para ibu rumah tangga.
“Mungkin karena ibu rumah tangga mempunyai waktu luang lebih banyak sehingga bisa mengurus bank sampah ini secara sukarela, dan mereka juga mendapat izin dari suami. Ibu-ibu juga biasanya lebih telaten, sehingga cocok dalam memilih dan memilah sampah non organik ini,” ujar Sofari.
Terus Meningkat
Ketua Bank Sampah Kujang Ngahiji, Elis Saidah mengatakan, bank sampah mulai dirintis pada Februari 2018. Perintisan mendapat bimbingan dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Bandung.
Bank sampah yang dikelola oleh 10 orang itu mulai dapat menjual ke pengepul pada bulan September 2018, setelah delapan bulan dirintis. Sampah pertama yang dijual mencapai 282 kilogram (kg).
Seiring waktu, ternyata, tren penjualan sampah non organik dari bank sampah ke pengepul terus meningkat. Pada Oktober 2018, jumlah sampah yang dijual naik menjadi 382 kg, November naik lagi jadi 587 kg, Desember mencapai 600 kg. Adapun pada Januari 2019 penjualan ke pengepul juga meningkat menjadi 618 kg.
“Saat ini tercatat 80 orang nasabah, tapi yang aktif menyetor sampah sebanyak 64 orang. Nasabah rata-rata menyetorkan sampah per minggu antara 3-5 kilogram. Para nasabah sudah meminta, uang mereka dapat dicairkan mendekati lebaran saja, alasannya karena saat itu banyak kebutuhan,” kata Elis.
Di Kelurahan Kujangsari, bank sampah baru terbentuk di tingkat RW 006 dari 10 RW yang ada. RW 006 memiliki 7 RT dengan jumlah keluarga mencapai 538 keluarga dengan 1.823 jiwa. Adapun pengurus bank sampah berasal dari warga RT 002 dan RT 003.
Secara khusus, Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Bandung mengontrak pendamping yang membimbing pengelolaan bank sampah ini yakni Dewi Kusmianti.
“Saya semula mendapat tugas harus membina lima kecamatan, tapi kemudian karena ada program khusus Kang Pisman, saya diminta fokus membina satu kelurahan, yakni di Kujangsari,” kata Dewi, yang hari itu seharusnya libur, namun tetap mendampingi kegiatan penyortiran dan penjulaan sampah non organik ke pengepul.
Apa itu program khusus Kang Pisman? Kang Pisman adalah gerakan masyarakat untuk mengurangi, memisahkan atau memilah, serta memanfaatkan (daur ulang) sampah yang dicanangkan Pemko Bandung. Gerakan ini merupakan bagian dari program 100 hari Wali Kota Bandung, Oded M Danial yang dilantik, tanggal 20 September 2018.
Oleh karena itu, Pemko Bandung terus mendorong agar bank sampah diperbanyak hingga dapat menjangkau seluruh lingkungan RW, yang jumlahnya mencapai 1.600 RW. Sampai saat ini jumlah bank sampah di lingkungan RW baru berkisar 30 persen. Bermunculannya bank sampah diharapkan dapat mengurangi volume sampah yang dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Pemkot Bandung menetapkan 8 kelurahan sebagai percontohan kawasan bebas sampah dan Kampung Kang Pisman, yakni Kelurahan Sukamiskin (Kecamatan Arcamanik), Kelurahan Neglasari, Kecamatan Cibeunying Kaler, Kelurahan Sukaluyu (Kecamatan Cibeunying Kaler), dan Kelurahan Cihaurgeulis (Kecamatan Cibeunying Kaler).
Empat daerah percontohan lainnya adalah Keluharan Kebon Pisang (Kecamatan Sumur Bandung), Kelurahan Babakan Sari (Kecamatan Kiaracondong), Kelurahan Gempol Sari (Kecamatan Bandung Kulon), serta Kelurahan Kujangsari (Kecamatan Bandung Kidul).
Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Bandung, volume sampah rata-rata per hari di Kota Bandung mencapai 1.500 ton. Dari jumlah itu, sekitar 20 persen atau 300 ton adalah jenis sampah non organik.
Menurut Dewi, untuk membagi waktu pendampingan pada 10 RW, dirinya mendampingi satu RW per hari. Hari berikutnya bergiliran ke RW lainnya.
“Bagi yang belum siap untuk mengelola bank sampah, saya biasanya mengajak warga untuk melakukan penghijauan atau berkebun. Terkait program Kang Pisman, sosialisasi juga saya lakukan pada lingkup posyandu atau kader PKK (Program Kesejahteraan Keluarga),” ujarnya.
Pelatihan
Dewi juga memberikan pelatihan kepada warga, di antaranya pembuatan pupuk organik cair dari bahan seperti sisa makanan, kulit buah, buah-buahan busuk, dan sisa sayur-sayuran. Pupuk cair organik itu kemudian dijadikan bahan pembuatan kompos yang berbahan serbuk gergaji, kotoran hewan, dedaunan hijau, dan sampah organik.
Warga juga diberi pelatihan membuat kerajinan dari daur ulang sampah plastik menjadi wadah berguna. Potongan-potongan bagian atas kemasan gelas plastik, misalnya, disusun atau dirangkai menggunakan tambang kecil hingga membentuk wadah, seperti tempat tisu yang kemudian dijual Rp 30.000, pot kecil Rp 25.000, dan keranjang seharga Rp 60.000.
“Hasil kerajinan dari daur ulang warga ini sebagian ditampung atau dibeli oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Bandung. Ada juga sekolah-sekolah yang memesan. Jadi sampah ini juga bisa memberikan nilai tambah bagi warga,” ucap Dewi.
Pasar Tradisional
Selain pendamping RW seperti Dewi, Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Bandung juga mengontrak tenaga harian lepas untuk mendampingi pengelolaan sampah di lingkungan pasar-pasar tradisional.
Tatang Sobarna, misalnya, ia direkrut untuk membina kegiatan pengelolaan sampah organik di lingkungan Pasar Ciwastra, Kelurahan Mekar Mulya, Kecamatan Rancasari, Kota Bandung.
“Saat ini sedang dihitung berapa persisnya volume sampah organik di pasar ini, yang diperkirakan sekitar 2 ton per hari. Ditargetkan dalam waktu enam bulan, sistem sudah berjalan. Sampah organik ini akan diolah menjadi pupuk cair organik, kompos, pakan ternak berupa larva dewasa lalat atau maggot, dan jika masih memungkikan juga diolah menjadi biogas,” kata Tatang.
Selain itu Tatang juga diminta melatih ibu-ibu rumah tangga di lingkungan Grand Sharon Residence, Kelurahan Cipamokolan, Kecamatan Rancasari, Kota Bandung. Di komplek ini terdapat 1.000 unit rumah. Rata-rata satu keluarga menghasilkan 2 kg sampah organik.
“Uji coba pengolahan sampah sudah dilakukan pada 80 rumah, dan selanjutnya akan dikembangkan ke seluruh komplek perumahan. Warga di perumahan ini sadar dan berkeinginan besar untuk mengolah sampah organik agar lingkungan perumahan tetap bersih dan tidak bau,” ucap Tatang.
Pengelolaan sampah membutuhkan sinergi dan komitmen seluruh elemen masyarakat. Dengan kesadaran dan kepedulian yang tinggi, sebagaimana di lingkungan RW 006, Kelurahan Kujangsari, pencemaran akibat sampah atau pun polusi bau dapat ditanggulangi bersama-sama.