JAKARTA, KOMPAS — Seniman muda dapat lebih berdaya dengan menggelar pameran sendiri. Keterbatasan sarana yang biasa dialami seniman muda semestinya memancing kreativitas dalam menciptakan ruang-ruang baru untuk berkesenian.
Gagasan tersebut menjadi inti dari pameran bertajuk ”Pameran di Balik Pameran” di Jagakarsa, Jakarta Selatan, Sabtu (23/2/2019). Pameran mengumpulkan karya sejumlah seniman muda yang diinkubasi ke dalam satu wadah agar mereka bisa saling berjejaring.
MG Pringgotono, penyelenggara acara dari kolektif seni Gudskul, mengatakan, kesulitan yang dialami seniman muda biasanya adalah akses untuk memamerkan karya seni ke ruang pameran yang memadai. Untuk dapat melakukan pameran, seniman perlu menyiapkan biaya mahal dan harus memenuhi kriteria yang diminta galeri seni.
”Sebagai seniman muda, jalan mereka untuk menembus kurasi galeri seni memang sulit. Tidak sembarangan karya bisa masuk, apalagi kalau seniman tersebut belum memiliki reputasi,” ujar Pringgotono.
Ia mengatakan, kendala itu dapat diatasi dengan menciptakan ruang pameran sendiri. Ruang pameran yang dimaksud bisa memanfaatkan sarana apa saja, mulai dari rumah kontrakan hingga gang sempit yang ada di sudut kota.
Walau bisa dilakukan di mana pun, kaidah dalam melaksanakan pameran seni harus tetap dipenuhi. Pringgotono mencontohkan, ketika melakukan pameran di sudut gang, desain ruang serta penanganan karya seni harus dipikirkan sematang mungkin.
”Intinya, pameran dibuat agar karya seni diapresiasi. Ketika memamerkan karya di sudut gang, berarti kenyamanan pengunjung saat masuk ruangan harus dipikirkan agar tidak terasa sempit dan pesan karyanya tersampaikan,” ucap Pringgotono.
Pameran yang digelar sendiri juga dapat memanfaatkan bangunan kota. Ia mencontohkan, kelompok seni bernama Kedubes Bekasi pernah memanfaatkan Gedung Juang Tambun di Bekasi, Jawa Barat, untuk memamerkan karya seni sekaligus merevitalisasi bangunan bersejarah.
Dengan menggelar pameran sendiri, seniman juga dapat menghimpun perputaran dana. Cara ini bisa dilakukan seniman lewat penjualan cendera mata yang berkaitan dengan pameran karya seni mereka.
”Kalau seniman bisa meyakinkan pamerannya eksklusif, dapat diberlakukan tiket masuk untuk menuju ruang pameran. Selain itu, cendera mata yang dijual juga dapat memberi tambahan dana bagi seniman,” kata Pringgotono.
Gesyada Annisa, Koordinator Pameran Gudskul, mengatakan, ada sekitar 20 pemuda yang dilibatkan untuk menyiapkan pameran. Ada proses kurasi, penanganan karya seni, serta desain ruang pameran yang mereka lakukan dalam masa inkubasi selama dua bulan.
Karya yang ditampilkan dalam pameran terdiri atas gabungan berbagai disiplin seni, meliputi lukisan, foto, video, serta karya instalasi. Sebagian karya dirangkai dengan memanfaatkan sudut ruangan untuk menarik kedatangan pengunjung.
Sebagai contoh, karya Ignatius Suluh Putra yang berjudul ”Prolog” memanfaatkan sudut ruang pameran untuk merangkai 14 gambar. Belasan gambar itu membentuk cerita yang alurnya dapat diikuti dari sisi kiri ke kanan.
Relasi
Pringgotono mengatakan, pameran sangat penting bagi seniman untuk membentuk relasi. Hal ini juga berlaku bagi seniman muda. Ia berharap mereka dapat membentuk jejaring dengan sesama seniman.
”Relasi ini penting untuk membangun jejaring dengan kurator seni. Dari cara ini, seniman bisa meningkatkan reputasinya,” ucapnya.
Hal itu disepakati oleh Aldi (25), salah satu peserta asal Bandung, Jawa Barat. Tujuan dirinya dalam pameran tersebut adalah untuk mendapat ilmu mengenai kurasi karya seni.
Pringgotono menambahkan, saat ini semakin banyak seniman muda yang ingin mengukuhkan diri sebagai pekerja seni. Badan Ekonomi Kreatif mencatat, ada 48.836 pemuda dengan rentang usia 25 tahun hingga 34 tahun yang bekerja di bidang seni rupa pada 2016. Jumlah ini, menurut Pringgotono, perlu dijembatani dengan gelaran pameran mandiri oleh kelompok seniman. (ADITYA DIVERANTA)