SOLO, KOMPAS — Bangsa Indonesia tengah dilanda virus kebencian yang membawa ancaman perpecahan. Di tengah kondisi ini, sosok KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dirindukan lagi.
”Kita mengalami semacam musim kebencian, musim curiga-mencurigai, musim hoaks, dan lain sebagainya karena intinya adalah hilangnya nilai kemanusiaan. Itulah sebabnya kenapa ada musim rindu Gus Dur,” ujar AS Hikam, Menteri Negara Riset dan Teknologi/Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi di era Presiden Abdurrahman Wahid, dalam diskusi kebangsaan ”Mbabar Pitutur Kamanungsan Gus Dur” di Balai Kota Solo, Jawa Tengah, Sabtu (23/2/2019). Diskusi ini digelar dalam rangkaian haul ke-9 Gus Dur.
”Kenapa rindu Gus Dur sekarang? Karena orang sebetulnya berharap ada ketokohan pada semua level masyarakat yang kembali lagi menggunakan dasar kemanusiaan sebagai semacam landasan bagi semua kegiatan, terutama di dalam berbangsa dan bernegara,” ujarnya.
Menurut Hikam, Gus Dur telah memberikan teladan nyata dalam memperjuangkan kemanusiaan, baik secara sistematik maupun pribadi, dengan segala risikonya. Ini, misalnya, Gus Dur memperjuangkan kelompok minoritas Tionghoa bisa menikmati hak dasarnya sebagai warga negara dalam merayakan tradisi kulturalnya.
Virus kebencian, lanjut Hikam, telah berkembang pesat melanda negara-negara di dunia, termasuk Indonesia dan juga negara-negara maju. Pemimpin-pemimpin dunia bergerak mencoba mengatasi hal itu.
Upaya melawan virus kebencian dan krisis kemanusiaan, antara lain, telah dilakukan oleh Imam Besar Al-Azhar Sheikh Ahmed al-Tayeb dan Pemimpin Gereja Katolik Paus Fransiskus dalam penandatanganan dokumen persaudaraan manusia di Uni Emirat Arab.
Gus Dur santai sekali dalam melihat kekuasaan. Kekuasaan itu bukan segala-galanya.
Hikam mengingatkan, kota-kota di Indonesia yang menjadi pusat-pusat kebudayaan Jawa tidak kebal dari penetrasi intoleransi yang tengah berkembang saat ini. Karena itu, perlu ada resolusi untuk membangkitkan kembali komitmen terhadap nilai-nilai kemanusiaan guna melawan virus kebencian.
Sementara itu, Wahyu Muryadi, Kepala ProtokolerIstana pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, menuturkan, Gus Dur memandang kekuasaan bukan segala-galanya, karena itu tidak ingin mempertahankan mati-matian kekuasaan.
”Gus Dur santai sekali dalam melihat kekuasaan. Kekuasaan itu bukan segala-galanya,” ucapnya.