"Wong Cilik" Penyelamat Sampah-sampah Plastik
Rosmaini Sikumbang (57) melipat-lipat plastik kopi kemasan pada Rabu (20/2/2019) siang di rumah makan Padang miliknya di Kelurahan Gelora, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Di hadapannya, tertumpuk satu keranjang berisi ratusan plastik kopi kemasan. Sampah plastik itu ia kumpulkan dari hasil dagangannya.
Setelah dilipat-lipat menjadi lebih kecil, plastik sisa kopi kemasan itu ia rangkai seperti anyaman. Dalam seminggu, di sela-sela menjaga warung makan, ia bisa mengerjakan tikar berukuran 1,5 meter x 1,5 meter dari sampah plastik kopi kemasan itu.
“Iseng saja, untuk mengisi waktu luang sambil menunggu orang yang makan,” kata Rosmaini.
Rosmaini sudah melakukan aktifitas itu sejak dua tahun lalu. Berbagai barang sudah ia hasilkan dari kegiatan isengnya tersebut, seperti tas, taplak meja, tikar, dan pembungkus kursi. Kerajinan yang ia buat digunakan untuk ia dan keluarganya.
Kursi-kursi di rumah makan padang miliknya terbungkus anyaman plastik kopi kemasan. Lemari pendingin minuman di depan toko miliknya juga terbalut anyaman plastik kopi kemasan.
Meski tak berniat menjual, kerabat atau pengunjung rumah makannya kerap tertarik dan membeli hasil kerajinan Rosmaini. Ia tidak mematok harga jika ada yang menawar.
Motivasi Rosmaini tidak membuang plastik sisa kopi kemasan salah satunya adalah menjaga makhluk hidup lain agar hidup nyaman. Ia pernah menonton berita di televisi tentang penyu yang mati akibat memakan sampah plastik.
“Kasihan, mereka juga ingin hidup enak seperti kita manusia. Saya coba kurangi membuang sampah plastik dengan cara ini,” katanya lirih.
Menjadi pekerjaan
Sampah yang bisa didaur ulang juga diselamatkan oleh orang-orang yang bekerja memungut dan menjual sampah di lingkungan masyarakat. Penghasilan mereka tidak seberapa, tetapi mereka berkontribusi mengurangi sampah langsung terbuang ke tempat pemrosesan akhir (TPA).
Salah satunya Nasirudin (61), pengumpul sampah plastik dan kertas di Grogol Utara, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Ia berkeliling membawa gerobak di sekitar Kebayoran Lama untuk mengambil sampah plastik seperti botol air mineral bekas dan sampah kertas seperti kardus dan kertas karton.
Ia juga kerap membeli karton tidak terpakai dari toko-toko untuk ia jual lagi. “Sehari bisa ngumpulin kardus sekitar 100 kilogram. Saya beli Rp 1.200 per kilogram dari toko, saya jual Rp 1.500 ke pengepul,” kata Nasirudin saat ditemui Jumat (22/2/2019) siang.
Ia membeli sampah botol plastik dari toko atau ibu rumah tangga Rp 1.000 per kilogram, kemudian dijual Rp 2.000 per kilogram. Setidaknya 30 kilogram sampah plastik bisa ia kumpulkan dalam sehari.
Ia berkeliling mencari kertas dan botol plastik tidak terpakai sejak pukul 08.00 sampai pukul 16.00. Dalam sehari, ia memiliki penghasilan kotor rata-rata Rp 100.000.
Dalam sebulan, orang yang berprofesi seperti Nasirudin berjasa mengurangi sekitar 3 ton sampah kertas dan 900 kilogram sampah botol plastik. Ia membantu mendistribusikan sampah-sampah itu agar bisa didaur ulang dan tidak menumpuk di TPA.
Dalam sebulan, orang yang berprofesi seperti Nasirudin berjasa mengurangi sekitar 3 ton sampah kertas dan 900 kilogram sampah botol plastik.
Membuang atau membakar
Masyarakat lain masih ada yang belum mengelola sampahnya secara mandiri. Selain membuang, mereka kerap membakar sampah sisa dari kegiatan sehari-hari.
Tatang Sobar (45), pedagang kopi keliling di Grogol Petamburan Jakarta Barat, mengumpulkan sampah plastik kemasan kopi kemudian dibakar di halaman rumahnya. Hal itu menjadi kebiasaannya karena menurutnya hal itu lebih baik ketimbang membuang ke kali.
“Biar gak bersisa sampahnya,” kata Tatang.
Baca juga: Risma Siapkan Bus Kota Berbayar Sampah Plastik
Membakar sampah plastik dan sampah lain bukan jalan terbaik mengurangi sampah. Hal itu justru menyebabkan polusi udara dan akan mengganggu pernapasan manusia jika terhirup.
Sementara itu, Dinda Annisa Anggraini (25), karyawan salah satu maskapai penerbangan Jepang di Kemanggisan, Jakarta Pusat membuang kantong plastik yang ia dapatkan dari pusat perbelanjaan. Namun, jika membeli barang dalam jumlah kecil, ia menolak menggunakan kantong plastik.
“Kalau kotak kue yang bagus, biasanya saya pakai lagi untuk menaruh pernak-pernik,” tutur Dinda.
Mandiri
Sesuai data KLHK, dari total timbunan sampah, hanya 63 persen yang masuk ke TPA dan hanya sekitar 10 persen yang didaur ulang. Sisanya, terbuang ke alam termasuk ke laut. Dalam catatan Kementerian Koordinator Kemaritiman, penambahan sampah mencapai 38 juta ton per tahun, dan terdapat 1,29 juta ton sampah plastik yang terbuang ke laut (Kompas, 21/2/2019).
Sementara itu, pengelolaan sampah di TPA belum berjalan optimal. Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang Kota Bekasi menampung sampah hampir 13 juta orang, baik dari dalam Kota Bekasi maupun dari DKI Jakarta.
Sejak tahun 2016, kerja sama pemerintah kota dengan swasta untuk membangun pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) telah dilakukan. Namun, operasionalisasi teknologi ini masih terkendala (Kompas, 20/2/2019).
Baca juga: Rp 14 Triliun untuk Atasi Sampah Plastik
Direktur Komunikasi WWF-Indonesia Elis Nurhayati mengatakan, setiap individu bertanggung jawab atas sampah yang dihasilkan. Masyarakat bisa mengurangi penggunaan produk sampah plastik sekali pakai dan menggunakan alternatif lain.
“Misalnya, menggunakan sedotan stainless steel, membawa tas belanjaan sendiri, membawa botol minuman yang bisa digunakan berulang kali, dan membeli produk dalam jumlah besar, bukan yang terdiri dari saset kecil,” ujar Elis.
Sampah yang terbuang ke sungai jika tidak dibersihkan akan ikut mengalir ke laut. Menurut Elis, hal itu akan berpengaruh pada keberlangsungan hidup satwa laut. Satwa laut berpotensi memakan sampah plastik itu dan membahayakan nyawa mereka.
Sampah-sampah yang terbuang ke laut berdampak pada sektor pariwisata, yakni mengotori pantai. Pantai jadi tidak terlihat bersih. Jika sampah plastik mengambang di air laut, hal itu akan mengganggu pemandangan orang-orang yang menyelam.
Baca juga: Cerita dari Bangkai Paus Wakatobi
Baca juga: Bangkai Paus Wakatobi Bercerita
“Jika begitu, dampaknya bisa berdampak pada menurunnya angka kunjungan wisatawan. Masyarakat yang bergantung pada sektor wisata akan menurun juga penghasilannya,” kata Elis.
Elis menambahkan, bijak dalam menggunakan sampah diperlukan sebab berbagai jenis sampah baru bisa terurai ratusan tahun. Botol plastik baru bisa terurai sekitar 450 tahun. Kantong plastik baru bisa terurai antara 10 sampai 20 tahun. Kaleng alumunium baru bisa terurai hingga 200 tahun. (SUCIPTO)