Riset LIPI dan KPU menguraikan adanya pengaruh politik kedai kopi terhadap perilaku politik masyarakat di Daerah Sumatera Barat. Hal ini karena lapau, sebutan untuk kedai kopi, sentral dalam kehidupan sosial masyarakat Sumatera Barat, terutama kaum laki-laki. Topik politik dan ekonomi kerap mendominasi obrolan di lapau. Namun, gempita diskursus politik di lapau ini tak mampu melejitkan partisipasi masyarakat untuk mencoblos saat pemilu.
Secara umum, partisipasi politik di dapil Sumatera Barat I yang meliputi 7 kabupaten dan 4 kota ini tergolong rendah. Pada Pileg 2014 lalu, hanya 69,8 persen pemilih yang menggunakan haknya, berselisih jauh dengan rerata nasional yang 75,1 persen. Angka ini semakin turun saat Pilpres 2014 yaitu 65,3 persen.
Partisipasi pemilih terendah bahkan terjadi di tempat yang jumlah pemilihnya besar seperti Kota Padang. Dengan jumlah pemilih 630 ribu atau lebih dari 30 persen dari total pemilih, tingkat partisipasi pemilihnya hanya 55,9 persen. Daerah lainnya adalah Kabupaten Tanah Datar yang memiliki tingkat partisipasi 68,2 persen dari 272 ribu pemilih.
Sebenarnya, tidak semua wilayah di dapil ini memiliki partisipasi pemilih yang rendah. Kabupaten Dharmasraya dan Solok memiliki angka partisipasi tinggi pada Pileg 2014 yaitu berturut-turut 85,68 dan 84 persen. Sayangnya, jumlah pemilih di kedua kabupaten tersebut terbilang kecil, hanya 6,7 dan 5,2 persen dari total jumlah pemilih di dapil ini.
Stagnasi pertumbuhan ekonomi dan perilaku korupsi yang sehari-hari menjadi topik perbincangan di lapau bisa jadi menggerus kepercayaan terhadap para politisi maupun pemerintah. Jika dilihat dari tahun 2013 hingga 2017, tren laju pertumbuhan ekonomi dapil ini cenderung turun, dari 6,13 persen menjadi 5,49 persen.
Selain itu, Badan Kepegawaian Negara (BKN) mencatat bahwa Provinsi Sumatera Barat termasuk dalam 10 provinsi dengan jumlah kasus korupsi tertinggi pada 2018. Akhirnya, mereka yang sudah skeptis terhadap politisi dan pemerintah pun enggan datang ke TPS dan menyumbangkan suara mereka di hari pemilihan.
Meskipun demikian, obrolan politik di kedai kopi yang didominasi kaum adam, tak mampu membendung kaum hawa datang ke TPS. Kondisi ini terlihat dari tingginya angka partisipasi politik perempuan di dapil ini dibandingkan laki-laki. Pada Pileg 2014, tingkat partisipasi perempuan berada di angka 73,9 persen, jauh di atas kaum laki-laki yang hanya 65,6 persen. Di Kota Padang bahkan angka partisipasi politik perempuan lebih besar 11,7 persen dibandingkan laki-laki.
Ironisnya, dengan partisipasi politik perempuan yang tinggi, keterpilihan caleg perempuan terhitung rendah pada Pileg 2014. Saat itu, dari 36 caleg perempuan yang mencalonkan diri, hanya satu yang terpilih. Padahal proporsi caleg perempuan di semua partai sama, yaitu 37,5 persen atau 3 dari 8 caleg adalah perempuan. (RANGGA EKA SAKTI/LITBANG KOMPAS)