Ayo, Pergi Jauh ke Selatan !
Menikmati wilayah Sulawesi Selatan yang lekat dengan makanan dan wisata, tidak perlu bersusah payah. Hanya melewati jalan poros yang menghubungkan daerah di selatan wilayah ini, pemandangan sekaligus petualangan rasa bisa ditemukan. Mari ke selatan, jauh ke selatan.
Sabtu masih pagi ketika kaki menginjak tanah Sulawesi Selatan. Penerbangan selama dua jam lebih 15 menit berlalu dengan lancar. Hujan yang sempat mengguyur sebelum mendarat sempat menyiratkan kekhawatiran, apakah banjir kembali akan menggenang wilayah ini? Alam berpihak, dan hujan rupanya serupa salam perkenalan, lalu berangsur reda.
Selepas menyewa kendaraan, perjalanan dimulai. Tujuan utama kali ini adalah menuju kawasan Bira, Bulukumba. Sekitar 200 km dari Makassar yang biasanya ditempuh dengan lima jam berkendara. Namun, meski akan menghabiskan beberapa waktu di Bira, tujuan akhir adalah kabupaten Sinjai, sekitar 1,5 jam lagi dari Bulukumba.
Sebotol kopi susu warung kopi yang tersebar di seantero Makassar menjadi modal awal berkendara. Namun, berada di Makassar tentu tidak akan lengkap tanpa mencoba makanannya terlebih dahulu. Setelah memasuki wilayah Gowa, yang berbatasan langsung dengan Makassar, sebuah papan nama warung coto serupa memanggil untuk singgah mencicipi. Namanya Coto Sunggu. Nama ini diambil dari nama Sungguminasa, ibu kota kabupaten ini.
Coto Sunggu yang dikelola oleh generasi ketiga ini meruapkan aroma khas. Kuah yang dimasak dengan kuali tanah liat sepertinya memberi pengaruh besar. Sejak dibuka pada 1963, cara memasak kuah coto dengan kuali terus dipertahankan.
Semangkuk coto dipadu dengan buras, -seperti lontong tapi bercampur santan dan sedikit parutan kelapa, ludes dalam sekejap. Perut telah penuh, dan kami siap untuk memulai kembali perjalanan.
Jalanan mulai ramai pagi jelang siang itu. Memasuki wilayah Kabupaten Takalar, deretan pedagang jagung rebus menghiasi mata. Hanya saja, karena perut yang masih penuh, kendaraan kami tetap pacu hingga memasuki wilayah Kabupaten Jeneponto.
Setengah jam berkendara, tepatnya di Kecamatan Bangkala, kali ini deretan pedagang Lammang yang “menghadang”. Lammang, atau di beberapa daerah dikenal dengan Lemang, adalah panganan dari beras ketan hitam yang dibakar di seruas bambu. Sebelum dibakar, beras dicampur santan, lalu dibungkus daun pisang. Perlu waktu satu jam lebih untuk membuat adonan ini matang.
Lammang di daerah ini dimakan dengan serundeng, atau dengan telur asin. Beberapa orang memakannya dengan campuran keduanya. Harganya sangat bersahabat, hanya Rp 8.000 untuk satu buah Lammang. Bersama sebungkus kecil serundeng dan sebuah telur asin, totalnya hanya Rp 15.000. Kami menjadikan Lammang ini bekal di perjalanan.
Di sepanjang jalan poros Makassar menuju Jeneponto, Sulawesi Selatan, banyak dijumpai penjual lammang (lemang) dari ketan yang dimasak di bambu. Lammang ini disajikan dengan srundeng kelapa dan telur asin.
Baru sekitar 30 menit berkendara, di pinggir jalan kembali berderet sejumlah pedagang. Kali ini yang dijajakan adalah buah Tala’. Buah ini berasal dari pohon lontar. Para pedagang juga menjual tuak manis yang diambil dari pohon lontar.Buah Tala yang isinya legit dan berair ini sangat cocok dipakai untuk menghilangkan dahaga serta mengganjal perut. Juga cocok sebagai pencuci mulut selepas makan. Tidak perlu merogoh kocek banyak, hanya Rp 15.000 tiga kantung kecil buah ini telah kami bawa.
Para pedagang di daerah ini bercerita, baru kembali mendapat sejumlah pembeli. Banjir Bandang di daerah Gowa, juga Jeneponto membuat arus transportasi putus. Wisatawan juga kurang, sehingga pendapatan mereka menurun.
Banjir dan longsor yang melanda wilayah Sulawesi Selatan baru-baru ini memang membuat beberapa daerah lumpuh. Puluhan orang meninggal, dan sebagian belum ditemukan hingga saat ini. Meski begitu, daerah ini mulai bangkit.
Saat memasuki wilayah kota Jeneponto, bekas terjangan banjir masih terlihat jelas. Pagar-pagar roboh, pohon tumbang, kendaraan rusak, dan orang-orang masih bebersih. Sejumlah lokasi terlihat ramai oleh petugas, relawan, maupun warga setempat. Kota ini mulai berbenah sehabis berduka.
Mobil melaju memasuki Kabupaten Bantaeng. Mata kembali segar mendengar deburan ombak, dan melihat pantai di sisi kanan jalan. Jauh di sebelah kiri kami, Gunung Bawakaraeng menjulang dan berselimut awan putih. Pantai yang bersih menggoda untuk singgah, namun karena harus mengejar matahari sore di Tanjung Bira, kami melanjutkan perjalanan.
Bira adalah salah satu wilayah paling selatan Sulawesi Selatan. Jika Sulawesi Selatan serupa salah satu kaki Pulau Sulawesi, maka Tanjung Bira adalah bagian jempol kaki kanan. Wilayah ini terkenal dengan pantai pasir putih serupa tepung yang begitu lembut saat kaki menjejak.
Pasir putih, langit yang sedikit biru, semburat matahari sore, menuntaskan perjalanan kami seharian. Lelah terbayar sudah. Kami banyak menghabiskan waktu di wilayah yang tidak hanya kental dengan wisata pantai ini, tetapi juga sejarah dan budayanya.
Selain melihat pantai, dan berbagai hal di dalamnya, tentu tidak lupa juga mencicipi makanan. Apalagi kalau tidak memakan ikan bakar dan makanan laut lainnya. Cukup banyak restoran yang tersedia dan menawarkan makanan yang segar dan tentunya lezat. Ikan bakar rica-rica, udang tumis saus padang, atau ikan pallumara adalah beberapa racikan yang bisa meruntuhkan program diet.
Beberapa malam di kawasan ini, petualangan berlanjut di Desa Adat Kajang. Namun, karena hujan yang turun dan tidak henti-henti, membuat rencana mengeksplore kawasan ini urung. Dari pintu gerbang desa adat ini, kami bercengkerama dengan warga, dan anak-anak kampung.
Kami melanjutkan perjalanan ke Kabupaten Sinjai. Ini adalah tujuan akhir perjalanan di selatan Sulawesi. Awal tahun rupanya adalah musim durian di wilayah ini. Tidak jauh dari perbatasan Bulukumba-Sinjai, pedagang buah yang sangat dicintai sekaligus dibenci segelintir orang ini berderetan.
Sebuah durian mentega ludes dalam sekejap. Sayang, buah rambutan yang biasanya mulai banyak hanya ada beberapa, itupun belum begitu matang sempurna. Buah-buahan ini tidak mahal-mahal amat. Sebuah durian dihargap Rp 50.000, sementara sekantung rambutan cukup ditebus Rp 25.000.
Satu jam kemudian, gerbang kota Kabupaten Sinjai menyambut. Selain menikmati makanan laut yang segar dan nikmat, kami juga mereguk berbagai wisata yang mudah dijangkau dari kota kabupaten ini.
Taman Purbakala Batu Pake Gojeng salah satunya. Tempat wisata dengan situs megalitikum yang tepat berada di atas bukit kota Sinjai ini menjadi tempat untuk menikmati pemandangan kota kabupaten dari atas. Hamparan pemukiman, sawah, tambak, hingga pelabuhan menyejukkan mata. Sembilan Pulau yang menjadi bagian dari kabupaten Sinjai terlihat jelas dari tempat ini. Hutan mangrove menghiasi sepanjang bibir pantai serupa sapuan kuas dengan tinta hijau cerah.
Wisata Hutan Mangrove Tongke-Tongke juga tidak kalah serunya. Hutan mangrove yang rimbun dan berjajar rapi, kicau burung yang ramai di pagi itu, membuat perasaan damai menyusup ke kalbu. Hutan mangrove yang dilengkapi dengan jalan dari jembatan kayu memudahkan kami menyusuri segelintir rimbun mangrove yang menutupi kawasan Pantai wilayah ini.
Perjalanan pun tuntas mengitari wilayah paling selatan dari Sulawesi Selatan. Sebuah pengalaman yang menyejukkaan jiwa, memanjakan perut, dan meluruhkan rindu. Ayo ke selatan!
ReplyReply allForward |