Babak Baru Pasca-Musim Semi
Gelora gelombang Musim Semi Arab memang telah mereda. Namun, alunnya tetap layak dicermati. Sebagai kawasan yang bertetangga dekat, Eropa dan Arab kini dihadapkan pada isu-isu keamanan baru, seperti kembalinya kombatan asing dan pengelolaan migran dan pengungsi.
Konferensi Tingkat Tinggi Liga Arab-Uni Eropa untuk pertama kalinya digelar di kota wisata Sharm el-Sheikh, Mesir (sekitar 500 kilometer tenggara kota Kairo), selama dua hari, Minggu dan Senin (24-25/2/2019).
PM Mesir Mostafa Madbouly dalam forum sidang kabinet mingguan di Kairo hari Rabu lalu (20/2/2019) mengungkapkan, KTT Liga Arab-Uni Eropa itu membahas isu-isu yang menjadi kepentingan bersama Arab-Eropa saat ini, terutama perang melawan teroris, arus migran ilegal dari Afrika Utara ke Eropa, serta upaya pembangunan ekonomi.
Wilayah Arab dan Eropa secara geografis bertetangga, hanya dipisah Laut Tengah. Dunia Arab yang memanjang dari Afrika Utara hingga Timur Tengah atau Asia Barat berada di pesisir selatan dan timur Laut Tengah. Adapun Benua Eropa berada di pesisir utara Laut Tengah. Interaksi peradaban di antara dua wilayah pesisir selatan dan utara Laut Tengah itu sudah berlangsung sejak era kuno, yakni sejak era Dinasti Romawi (27 sebelum Masehi-395 Masehi).
Akibat interaksi itu, peninggalan Romawi mudah ditemukan di negara-negara pesisir selatan dan timur Laut Tengah, seperti Lebanon, Jordania, Suriah, Mesir, Libya, dan Tunisia.
Interaksi peradaban itu terus berlanjut pada era kejayaan Islam (abad 7 M-14 M), era kolonial Eropa di dunia Arab (abad 18 M-20 M), hingga saat ini. Peninggalan Islam pun kini bisa dilihat di Spanyol yang dahulu dikenal nama Andalusia, seperti kota Granada, Seville, dan Cordoba dengan arsitektur masjidnya yang sangat indah.
Maka, menjadi rumus yang baku bahwa apa yang terjadi di dunia Arab akan berdampak langsung ke Eropa dan juga sebaliknya. Interaksi dunia Arab dan Eropa sering dilakukan untuk mencari solusi atas ancaman dan tantangan bersama, baik politik, ekonomi, sosial, budaya, maupun keamanan.
Dialog terakhir adalah forum konferensi tentang keamanan di kota Muenchen, Jerman pada 15-17 Februari lalu. Namun, interaksi dan komunikasi pada tingkat organisasi regional, seperti antara Liga Arab dan Uni Eropa, baru digelar pertama kali di kota Sharm el-Sheikh. KTT Liga Arab-Uni Eropa bisa disebut pula kelanjutan dari konferensi keamanan di kota Muenchen pekan lalu.
Babak baru
Mengingat ancaman dan tantangan bersama semakin besar dan serius, khususnya setelah Musim Semi Arab tahun 2011, maka dialog langsung Liga Arab-Uni Eropa menjadi sebuah keniscayaan dan memasuki babak baru, yakni lebih fokus pada isu politik dan keamanan.
Arab pasca-Musim Semi Arab tahun 2011 mengalami guncangan keamanan dan politik pasca-ambruknya rezim diktator di Libya, Mesir, Yaman, dan Tunisia.
Hingga saat ini, konflik masih berkecamuk di Suriah. Sudan pun mulai heboh dengan unjuk rasa menuntut mundurnya rezim Presiden Omar Hassan Bashir yang telah berkuasa sejak tahun 1989.
Akibat guncangan keamanan dan politik di beberapa negara itu, Arab menjadi tanah subur bagi bersemainya gerakan radikal, khususnya Kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), yang bergerak dari Irak pada tahun 2014, serta menjadi salah satu sumber migran ilegal. Sebagai tetangga, Eropa segera ikut merasakan pahitnya dampak guncangan itu.
Perancis jadi salah satu sasaran serangan teroris paling berdarah di Eropa. Sebanyak 130 orang tewas dalam serangan teroris di Paris, 13 November 2015. Lalu pada 14 Juli 2016, serangan di Nice menewaskan 84 orang.
Kini, pasca-kekalahan NIIS, isu keamanan tetap penting. Banyaknya anggota NIIS asal Eropa yang harus dipulangkan kini jadi isu paling pelik bagi negara-negara Eropa. Sebagai catatan, Pasukan Demokratik Suriah (SDF) menahan 800 kombatan asing NIIS, sebagian besar dari Eropa. Menurut SDF seperti dikutip harian Asharq al-Awsat edisi 19 Februari, dari 800 kombatan asing itu, 150 orang adalah warga Perancis.
SDF mengimbau negara-negara Eropa menerima kembali warga mereka yang kini ditahan SDF. Namun, negara-negara itu masih gamang. Inggris, Denmark, Jerman, dan Luxembourg menolak.
Isu besar lain dalam konteks hubungan Arab-Eropa saat ini adalah isu migran. Bagi Eropa, itu isu rumit. Arus migran ilegal biasanya lewat laut yang sebagian besar dilakukan dari Turki dan Libya.
Menurut European Asylum Support Office, arus migran ilegal lewat laut dari Libya menuju Eropa, khususnya Italia dan Perancis, bisa mencapai lebih dari 100.000 migran setiap tahun. Dari jumlah 100.000 itu, ada sekitar 2.000 hingga 4.000 migran tewas karena perahu mereka tenggelam di Laut Tengah.
Negara-negara Uni Eropa dalam beberapa tahun terakhir berupaya membendung arus migran ke Eropa itu. Pada tahun 2005 misalnya, Eropa mengucurkan dana bantuan hingga 4,2 miliar euro untuk pengungsi Suriah yang ditampung di Turki, Lebanon, dan Jordania. Bantuan itu diberikan agar para pengungsi tidak menyeberang ke Eropa. Secara khusus Italia dan Perancis membantu proses rekonsiliasi di Libya. Arah misi itu adalah membentuk pemerintah persatuan Libya yang kuat sehingga mampu membendung arus migran ke Eropa.
KTT Liga Arab-Uni Eropa di Sharm el-Sheikh hari Minggu dan Senin ini, diharapkan mengeluarkan kesepakatan terkait isu teroris dan migran itu.