Festival Cap Go Meh Itu Milik Bersama
Festival Cap Go Meh di Kota Singkawang, Kalimantan Barat, dengan kekhasannya berupa parade tatung mampu bertahan ratusan tahun. Selain masih adanya masyarakat yang memiliki keyakinan bahwa perayaan merupakan bagian dari tradisi pengobatan, keberlangsungan festival juga tak terlepas dari kemampuan masyarakat dalam merawat kebersamaan.
Satu per satu perempuan penari berpakaian cheongsam yang didominasi warna merah berlari ke halaman panggung utama perayaan Festival Cap Go Meh 2019 di Jalan Diponegoro, Singkawang, Selasa (19/2/2019). Diiringi alunan musik tradisional Tionghoa, tubuh mereka meliuk-liuk, jemarinya lincah memainkan kipas sembari menebar senyum.
Sesaat kemudian, irama musik berubah menjadi lebih rancak. Satu per satu pemuda berpakaian adat Dayak dengan replika senjata khas suku Dayak, mandau, di tangan memasuki halaman panggung utama, bergabung dengan penari sebelumnya.
Tak lama kemudian terdengar alunan suara akordeon dan biola yang lembut melantunkan lagu Melayu. Barisan penari berpakaian Melayu pun masuk bergabung dengan penari lain di halaman panggung.
Suasana kian semarak saat puluhan anak berpakaian adat Nusantara memasuki halaman panggung. Tubuh mungil mereka bergerak lincah sambil menebar senyum manis diiringi lagu-lagu daerah. Penari cilik lain menyusul dari belakang dengan membawa bendera Merah Putih, berlari mengelilingi seluruh penari.
Pada akhir tarian Nusantara itu, semua penari bergandengan tangan, lalu meloncat diiringi lagu ”Dari Sabang Sampai Merauke”. Para tamu dan pengunjung bertepuk tangan. Lagu itu membangkitkan semangat nasionalisme.
Para penari itu berasal dari berbagai etnis dan agama yang direpresentasikan dalam pakaian mereka. Meski dari latar belakang berbeda, mereka mampu menampilkan gerakan yang indah dan harmonis. Hal itu sesuai tema festival, ”Memperkokoh Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika”.
Parade tatung
Setelah tarian pembuka, Festival Cap Go Meh memasuki acara khas yang ditunggu-tunggu, yakni parade tatung. Tatung adalah orang yang menunjukkan atraksi kekebalan tubuh dan diarak menggunakan tandu berkeliling ruas-ruas jalan utama di Singkawang. Ada 1.060 tatung yang ikut dalam parade tahun ini.
Iring-iringan parade tatung didahului barisan replika naga yang berjumlah 12 naga masing-masing dengan panjang 20 meter. Replika naga itu antara lain berwarna merah, merah muda, hijau, dan putih.
Setelah itu baru diikuti barisan para tatung yang menggunakan pakaian Tionghoa di masa kerajaan dan ada pula yang menggunakan pakaian tradisional Dayak. Dalam parade tatung itu ada keterlibatan warga lintas etnis, khususnya Dayak. Tampak pula dalam parade itu reog Ponorogo. Ada 17 paguyuban etnis di Singkawang yang ikut dalam parade itu.
”Saya ikut terlibat sebagai tatung dalam acara ini sejak 2004. Saya senang bisa ikut ambil bagian dalam kegiatan ini karena tujuannya untuk memperkuat kebinekaan. Ini dapat memperkuat persatuan bangsa. Apalagi, saya sudah terbiasa tinggal di lingkungan etnis yang beragam,” ujar Agus Sanjai (30), salah satu tatung dari etnis Dayak, sebelum parade.
Keterlibatan lintas etnis juga tampak dalam hal lain, misalnya dalam hal penerimaan tamu. Tasya Rahayu (25), salah satu penerima tamu yang merupakan warga etnis Melayu, merasa senang bisa ambil bagian dalam acara tersebut. ”Ada kepuasan tersendiri saat bisa berbaur dengan masyarakat lintas etnis,” kata Tasya.
Ribuan pengunjung yang hadir juga dari berbagai latar belakang. Mereka tumpah ruah di jalan untuk menyaksikan parade itu. Tak ada sekat di antara mereka. Semuanya melebur dan larut dalam merayakan kebinekaan.
Kota toleran
Wali Kota Singkawang Tjhai Chui Mie mengatakan, Cap Go Meh ini semakin mengukuhkan Singkawang sebagai kota paling toleran se-Indonesia yang diraih pada 2018 dari Setara Institute. Saya mengucapkan terima kasih kepada paguyuban lintas etnis di Singkawang yang berpartisipasi dalam cara ini. Keharmonisan ini menjadi modal bagi pembangunan di Singkawang,” ujarnya.
Keharmonisan ini menjadi modal bagi pembangunan di Singkawang.
Tradisi itu sudah berlangsung ratusan tahun, setidaknya sejak masa kongsi pertambangan masih berjaya sekitar tahun 1700-an di Singkawang.
Pada saat itu, masyarakat yang menambang emas menderita penyakit, bahkan ada yang kesurupan. Tabib di daerah itu memberi tahu, pada hari ke-15 setelah Imlek harus ada upacara pengusiran roh-roh jahat dengan arak-arakan tatung.
Upacara itu bertepatan dengan perayaan Cap Go Meh. Maka, hingga saat ini di Singkawang saat Cap Go Meh selalu ada parade tatung.
Tradisi ini mampu bertahan ratusan tahun karena masih menjadi bagian dari keyakinan masyarakat bahwa parade tatung adalah tradisi pengobatan yang masih dipegang hingga kini. Tatung-tatung itu sebetulnya adalah tabib untuk mengusir penyakit.
Selain itu, kehidupan antaretnis yang harmonis juga membuat berbagai tradisi, termasuk pawai tatung, masih bertahan. Setiap etnis di Singkawang diberikan ruang-ruang ekspresi yang sama untuk melestarikan budayanya. Semua berpartisipasi saat salah satu pergelaran budaya dilaksanakan.
Dalam perkembangannya, tradisi itu dikemas semenarik mungkin sehingga menjadi festival dan bagian kalender pariwisata saat ini. Dengan menjadi kalender pariwisata, setiap tahun penampilan tatung pada Festival Cap Go Meh di Kota Singkawang selalu dinantikan.
Baca juga: Semarak Multietnis di Festival Singkawang
Menteri Pariwisata Arief Yahya dalam sambutan saat acara mengatakan, Cap Go Meh Singkawang termasuk dalam salah satu dari 100 kegiatan nasional. Dari sisi kultural, Cap Go Meh adalah identitas budaya pemersatu bangsa. Dari sisi komersial, kegiatan ini diharapkan berdampak pada kesejahteraan masyarakat.
Cap Go Meh adalah identitas budaya pemersatu bangsa.
Untuk dapat menjadi agenda wisata kelas dunia, ada beberapa hal yang perlu terus ditingkatkan. Pertama, adanya atraksi. Selama tidak ada atraksi kelas dunia, akan sulit untuk menjadi atraksi kelas dunia. Penataan musik, tarian, dan busana ke depan diharapkan bisa melibatkan penata musik, tarian, dan busana nasional.
Kedua, soal akses. Turis biasanya tidak mau berkunjung jika waktu tempuh lebih dari tiga jam. Waktu tempuh dari Pontianak, ibu kota Kalbar, menuju Singkawang lebih dari tiga jam dengan jarak sekitar 150 kilometer.
Maka, perlu solusi untuk mempercepat waktu tempuh. Jika dibangun jalan tol Pontianak-Singkawang, biayanya malah sekitar Rp 15 triliun. Maka, upaya paling memungkinkan adalah pembangunan bandara dengan biaya hanya Rp 1,3 triliun, yang saat ini sedang dalam proses.
Ketiga, Singkawang disarankan untuk membentuk kawasan ekonomi khusus pariwisata meskipun itu tidak mudah. Setidaknya perlu disediakan lahan sekitar 300 hektar. ”Pemerintah pusat akan mendukung itu,” kata Arief.