Gerilya Pengawas Pemilu (7-habis)
Mereka bekerja tanpa batas waktu. Pagi, siang, malam sekalipun, jika ada peserta Pemilu 2019 berkampanye, mereka harus hadir. Di luar itu, kewaspadaan tetap harus terjaga, untuk mencegah adanya pihak-pihak yang ingin curang demi meraih kekuasaan.
Eko Kurnia (34) dan Ferry Wahyudi (50) melangkahkan kaki ke permukiman padat penduduk, di Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta Pusat, pertengahan Februari lalu.
Eko sebagai petugas panitia pengawas kecamatan (Panwascam) Tanah Abang dan Ferry, petugas panwas kelurahan (Panwaskel) Kampung Bali, memperoleh informasi akan ada calon anggota DPRD DKI Jakarta yang berkampanye di sana.
Tiba di lokasi, Johannes Martuah, calon anggota DPRD DKI Jakarta dari Partai Solidaritas Indonesia untuk daerah pemilihan DKI Jakarta I yang direncanakan akan berkampanye, belum terlihat. Dari jadwal kampanye pukul 14.00, dia beserta timnya baru terlihat hadir pukul 15.00.
Eko bersama Ferry lantas mengikuti blusukan Johannes. Dari satu rumah ke rumah lainnya, Johannes mengkampanyekan diri sekaligus membagikan kalender dan kartu nama bergambar dirinya. Dia juga menempelkan stiker bergambar dirinya di setiap jendela rumah warga.
Saat salah satu pendukung Johannes bertindak mengarah ke pelanggaran, tak segan-segan mereka menegurnya.
Baca juga : Warna-Warni Kampanye Caleg (1)
"Mas, jangan tempel stiker di tiang listrik," ujar Eko. Berdasarkan aturan yang ada, stiker yang di dalamnya memuat konten kampanye, memang dilarang ditempel di tiang listrik, selain di pohon, rumah ibadah, dan bahu jalan.
Baca juga : Ketika Tak Ada Lagi Bulan Bahagia (2)
Menjelang matahari terbenam, persisnya pukul 18.00, Johannes tuntas berkampanye. Eko dan Ferry pun bisa pulang lebih cepat. Sebab, tidak ada agenda kampanye lain hari itu.
Ini tidak seperti biasanya. Di sisa masa kampanye Pemilu 2019 tinggal sekitar dua bulan, menurut Eko, seringkali calon anggota legislatif (caleg) lebih intens berkampanye menemui masyarakat. Dalam satu hari, terutama di akhir pekan, bisa lebih dari delapan caleg berkampanye, di delapan titik berbeda.
Hal itu praktis membuat Eko harus bekerja ekstra. Dia harus bergerak dari satu titik kampanye ke titik lain yang berjauhan. Dia juga harus rela bekerja dari pagi hingga larut malam.
Baca juga : Seperti Memilih Wakil dalam Karung (3)
Eko memang kerap berbagi tugas dengan dua rekan pengawas lain di Panwascam Tanah Abang. Begitu pula Ferry berbagi tugas dengan tujuh rekan Panwaskel Kampung Bali. Namun sekalipun sudah berbagi tugas, tetap saja, masih banyak caleg yang harus diawasi.
“Saya saja, kalau akhir pekan, bisa mengawasi lima sampai delapan kampanye caleg. Jadi bisa kerja dari pagi sampai malam baru selesai,” tutur Eko.
Mengawasi kampanye caleg, bukan satu-satunya tugas mereka. Setiap hari, mereka juga harus mengawasi pemasangan alat peraga kampanye oleh peserta pemilu. Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ataupun peraturan-peraturan KPU sebagai turunan dari UU, sudah menegaskan tempat yang bisa dipasang alat peraga kampanye, dan tempat yang dilarang.
Selain itu, mereka juga bertanggung jawab mencegah politik uang, “penyakit” yang selalu muncul di setiap kali gelaran pemilu. Tugas pengawasan politik uang ini bakal semakin berat mendekati hari H pemilu, 17 April 2019. Sebab, mendekati pemilu, “serangan fajar” untuk memengaruhi pilihan pemilih, kerap terjadi.
Baca juga : Jebakan di Surat Suara (4)
Belum lagi tugas menjaga saat pemungutan suara berlangsung di tempat pemungutan suara (TPS) hingga tiba waktu rekapitulasi suara. Kemudian, tanggung jawab mengawasi hasil pemilu di TPS agar tetap sama saat proses rekapitulasi di jenjang berikutnya. Tahapan-tahapan ini penting diawasi karena di sana kecurangan juga sering terjadi.
Honor di bawah UMP
Sekalipun honor yang diterima setiap bulan, tidak sampai separuh dari upah minimum provinsi DKI Jakarta tahun ini yang besarnya Rp 3,9 juta, Eko dan Ferry tetap menjalankan tugasnya sebagai pengawas pemilu dengan optimal.
Sebagai petugas panwascam, Eko hanya mendapat honor Rp 1,5 juta setiap bulan. Adapun Ferry sebagai panwaskel, hanya Rp 900 ribu.
Ferry bahkan bangga dengan pekerjaannya. Pasalnya, dia merasa bisa berkontribusi untuk negara, khususnya menjaga pemilu berjalan jujur, sehingga kelak akan lahir pemimpin-pemimpin yang berintegritas dan berkapasitas sesuai harapan publik.
Baca juga : "Mesin" Caleg untuk Caleg (5)
Dengan honor yang rendah, tak jarang pula mereka “digoda” oleh peserta pemilu. Ini seperti diungkapkan oleh Dwi Slamet Raharjo (35), petugas Panwascam Tanah Abang lainnya, yang kerap ditawari uang oleh caleg saat dirinya mengawasi kampanye caleg tersebut. Alasannya, untuk uang transpor.
"Masih banyak caleg yang berusaha memberikan uang transpor kepada panwas, mungkin hampir dilakukan semua caleg saat berkampanye di wilayah ini," kata Dwi yang mengaku selalu menolak pemberian itu.
Militansi yang telah ditunjukkan para pengawas pemilu di tingkat paling bawah itu, sekaligus kemampuan mereka menahan “godaan”, menjadi modal berarti mendekati waktu Pemilu 2019. Sebab, tidak menutup kemungkinan, masih ada peserta pemilu yang mencoba bermain curang demi meraih kekuasaan.
Baca juga : Perang Melawan Politik Uang (6)
Di tangan para pengawas pemilu, kecurangan selama pemilu diharapkan bisa dicegah, sehingga demokrasi kita semakin matang, dan lebih dari itu, bisa lahir pemimpin-pemimpin yang berkualitas dan berintegritas. (DIONISIO DAMARA)