JAKARTA, KOMPAS—Bencana gempa bumi jadi satu dari empat prioritas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam program penanggulangan bencana. Untuk mempercepat perluasan pengurangan risiko bencana gempa, Badan Penanggulangan Bencana Daerah DKI mendorong kolaborasi dengan masyarakat.
Tiga prioritas lainnya adalah banjir, kebakaran, dan cuaca ekstrem. Menurut Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD DKI Jakarta Tri Indrawan, data tahun 2013-2018 menunjukkan jumlah kejadian dan durasi banjir di Jakarta menurun dari tahun ke tahun. Jumlah kejadian kebakaran pun cenderung berkurang. Karena itu, gempa mendapat perhatian khusus.
“Yang paling sulit gempa. Kenapa? Kalau yang sudah dewasa mudah mengerti, tetapi anak sekolah, masih kecil dan apalagi belum pernah tahu gempa, itu jadi tantangan,” ucap Tri dalam diskusi panel “Kesiapan dan Ketahanan Kota Menghadapi Bencana” di Universitas Tarumanagara (Untar), Jakarta, Sabtu (23/2/2019). Diskusi diselenggarakan Magister Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Untar.
Oleh karena itu, edukasi dan latihan siswa sekolah menghadapi situasi gempa amat diperlukan. Masalahnya, jumlah sekolah di Jakarta amat banyak. BPBD DKI harus menjangkau sekitar 5.100 sekolah dan 1.786 madrasah. Total siswa diperkirakan 1,5 juta anak.
“Jika kami mendatangi satu sekolah per hari, dalam 20 tahun baru bisa menjangkau semua sekolah,” ujar Tri. BPBD DKI pun mengajak organisasi masyarakat sipil dan perguruan tinggi terlibat menyediakan tenaga sebagai fasilitator edukasi dan pelatihan bencana bagi sekolah. Salah satu yang sudah terlibat adalah Universitas Indonesia (UI).
Jika kami mendatangi satu sekolah per hari, dalam 20 tahun baru bisa menjangkau semua sekolah
Pengajar pada Departemen Geosains UI Muhammad Rizqy Septyandy mengatakan, Tim Pengabdian Masyarakat Program Studi Geologi dan Geofisika UI sudah membuat survei dengan responden 329 warga Kecamatan Matraman selama Mei-Juni 2018. Hasilnya, lebih dari 50 persen responden kurang mengetahui tentang bencana gempa dan cara evakuasi jika terjadi.
Meski belum se-DKI, hasil itu menunjukkan betapa rentannya warga di Jakarta terhadap gempa. “Karena itu, sosialisasi secara menyeluruh diperlukan agar dapat meningkatkan pengetahuan sehingga bisa mengurangi jumlah korban saat terjadi bencana,” kata Rizqy.
Jakarta berpotensi ikut terguncang oleh gempa yang berasal dari zona megathrust di selatan Jawa Barat dan selatan Selat Sunda. Sesar Cimandiri, Lembang, dan Baribis juga bisa menimbulkan gempa yang menggoncang Ibu Kota.
Dari riwayatnya, Jakarta pernah mengalami gempa kuat hingga menyebabkan kerusakan pada 5 Januari 1699, 22 Januari 1780, dan 10 Oktober 1834. Berdasarkan peta potensi gempa, Jakarta berada di kawasan dengan potensi sedang (Kompas, 3/11/2018).
Menurut Tri, banyak organisasi masyarakat sipil, lembaga, dan perguruan tinggi yang punya potensi untuk menggarap pengurangan risiko bencana gempa di Jakarta. Namun, kolaborasi masih minim. Masing-masing menjalankan agenda sendiri sehingga pengurangan risiko bencana kurang efektif. Ia mengajak semua pihak yang punya potensi untuk mengerjakan prioritas yang sama dengan BPBD DKI, yakni edukasi dan peningkatan refleks masyarakat saat bencana.
Prioritas itu berlandaskan hasil survei situasi penyelamatan saat gempa Kobe, Jepang, tahun 1995. Ternyata, 34,9 persen warga selamat karena mampu menyelamatkan diri sendiri, 31,9 persen karena diselamatkan keluarga, dan 28,1 persen diselamatkan tetangga. Tim penyelamat Jepang yang terkenal profesional hanya berkontribusi menyelamatkan 1,7 persen korban, itu pun sebagian dengan kondisi tangan patah atau kaki harus diamputasi.
Karena itu, lanjut Tri, selain edukasi agar setiap orang punya refleks yang baik, BPBD DKI juga mengembangkan konsep warga terdekat sebagai pemberi respons pertama. Tri mencontohkan, BPBD setiap tahun melatih 2.000 warga Jakarta untuk mampu melakukan pertolongan pertama pada kedaruratan, seperti gagal detak jantung, gagal napas, dan luka dengan perdarahan.
Momentum emas untuk menyelamatkan korban dengan kedaruratan hanya 10 menit, sedangkan menurut Tri belum ada ambulans yang mampu menjangkau korban di bawah 10 menit.
Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Oswar M Mungkasa berpendapat, selain kolaborasi yang belum optimal antara Pemprov DKI dengan masyarakat, kolaborasi di dalam tubuh Pemprov sendiri juga masih perlu ditingkatkan.
Ia mencontohkan, urusan air dan sanitasi menjadi ranah Dinas Kesehatan, Dinas Sumber Daya Air, dan PD Pal Jaya. Ia mendapati, di sejumlah lokasi, Dinas SDA dan Diskes membangun toilet komunal secara bersebelahan. Meski lokasi sama, desain dan kualitas toilet komunal dua dinas itu berbeda.
“Data sama, lokasi sama, tetapi mereka tidak saling bicara,” kata Oswar. Karena itu, kolaborasi didorong di antara satuan kerja dan unit kerja, antara lain lewat pembahasan desain besar untuk mengatasi sejumlah masalah. Saat ini, kolaborasi di dalam Pemprov menurut Oswar semakin baik.