Melawan dan Memeluk Kritik
Suatu pilihan kerap mengundang kritik, termasuk bagi Sasya Tranggono (55) dalam melahirkan karya-karya seni rupanya. Akan tetapi, ia melawan dan sekaligus memeluk kritikan itu.
Melawan dan memeluk adalah pilihan kata Sasya yang cukup menarik. Ia menolak sekaligus menerima sesuatu. Ia melawan penilaian terhadap karyanya yang dianggap sekadar memenuhi aspek keindahan dekoratif. Namun, ia sekaligus memeluk erat kritik itu sambil membisikkan hasrat seninya yang diperkaya tanpa mengaburkan napas perjuangan sekaligus ide kebaruan yang bertitik tolak dari seni tradisi Indonesia.
”Selama ini karya-karya saya dikatakan sebagai karya dekoratif. Saya melawan dan memeluk kritik tersebut dengan terus konsisten berkarya selama 30 tahun,” kata Sasya di tengah pamerannya berjudul, ”30 Tahun Berkarya: Cinta untuk Indonesia”, hari Selasa (19/2/2019) di Galeri Nasional Indonesia.
Di Gedung D Galeri Nasional, puluhan lukisan Sasya terpampang dengan tiga pilihan tema berupa wayang golek dan seni instalasinya, lukisan kupu dengan tempelan batu serta manik-manik, dan lukisan bunga. Pameran ini berlangsung pada 14 Februari 2019 hingga 10 Maret 2019.
Sesudah tradisi
Kurator pameran Jim Supangkat menyebut karya-karya Sasya itu sebagai karya ”post” atau sesudah tradisi. Karya-karya Sasya tidak bisa disebut tradisional, tetapi memperlihatkan pengaruh estetik tradisional, khususnya karya yang bertemakan wayang golek.
”Lukisan-lukisan Sasya adalah lukisan alam benda,” ujar Jim. Menurut Jim, Sasya menata wayang-wayang golek itu seperti menata benda-benda lain, kemudian melukisnya.
Ini mempraktikkan seni lukis ”still life” sebagai kecenderungan sangat lama pada perkembangan seni lukis. Penataan wayang golek itu memunculkan konsep teatrikal. Sasya menempuh penyutradaraan untuk suatu narasi.
Kesan itu ditangkap Jim ketika Sasya turut menampilkan posisi galah untuk setiap lengan tangan wayang golek. Galah kecil ini biasa digunakan sang dalang untuk memainkan wayang golek tadi.
”Kesan dialog ditampilkan dengan menata tangan-tangan wayang golek dan menjadi bahasa untuk menampilkan narasi,” kata Jim.
Tentang wayang golek ini, ada suatu pengalaman Sasya 16 tahun silam atau pada 2003. Ketika itu Sasya memenangi sebuah festival melukis dengan obyek lukisan wayang golek dengan teknik cat air di atas kertas. ”Waktu itu banyak yang kemudian menyarankan supaya lukisan itu diwujudkan dalam bentuk wayang golek yang sesungguhnya. Baru kali ini setelah 16 tahun saya mewujudkan di pameran ini,” ujarnya.
Susunan wayang golek seukuran tubuh manusia berjumlah enam buah dijadikan seni instalasi. Ada sosok yang bersembah kepada sosok laki-laki. Itulah Sasya yang digambarkan sedang memberi hormat kepada ayahnya.
Di sampingnya ada sosok ibu dan tiga perempuan sebagai pengiring. Sasya menyusun dialog yang bertitik tolak pada rasa hormatnya terhadap orangtua yang lebih menghendaki dirinya jadi penerus perusahaan keluarga. Narasi ini seperti melawan dan memeluk.
Di bagian lainnya, karya lukis bertemakan kupu-kupu diberi tempelan batu serta manik-manik. Ada unsur dekoratif yang sangat kuat, tetapi punya makna mendalam, seperti diuraikan kritikus seni Suwarno Wisetrotomo.
”Kupu-kupu memiliki makna filosofis spiritual berupa transformasi kehidupannya,” ujar Suwarno.
Dari telur berubah menjadi larva dan berubah lagi menjadi ulat. Kemudian untuk menjadi kupu-kupu, terlebih dulu menjadi sebuah kepompong. ”Hidup selalu memiliki fase transformatif seperti kupu-kupu,” ujar Sasya.
Untuk lukisan-lukisannya bertemakan bunga, Sasya banyak mengekspos warna keindahan bunga. Kurator dan penulis seni Arif Bagus Prasetyo menguraikan masalah ini.
Pendaran cat air di atas kertas memperkuat efek keindahan warna bunga itu. Hanya ada satu lukisan bunga yang tampak gelap, kelam, dan suram. Sasya memberinya judul ”You and The Night (Kamu dan Malam)”, berukuran 140 kali 140 sentimeter, tahun 2011.
”Itu lukisan bunga tulip. Itu sebetulnya bunga tulip berwarna kuning yang sudah mengering,” kata Sasya.
Sasya mengisahkan makna ”The Night” atau Sang Malam itu tiada lain adalah Sang Khalik, Tuhan. Tetapi, ia terhenti di situ. Sasya tidak melanjutkan dengan kisah siapa yang menjadi ”You” atau Kamu.
Mungkin saja Sasya tidak lagi menolak sekaligus menerima. Tidak lagi melawan sekaligus memeluk. ”Itu yang suram hanyalah kejahilan,” kata Sasya.
Sasya tumbuh di tengah keluarga mapan. Karya-karyanya tak pernah bisa lepas dari lingkungan tersebut.
Pengaruh lingkungan
Ibunya, Retno Iswari Tranggono, dikenal sebagai seorang dokter ahli atau spesialis kulit dan kelamin di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) sekaligus pengusaha terkenal di bidang kosmetika. Ia bahkan menjadi inspirator industri kosmetika di Indonesia dengan mendirikan grup perusahaan Ristra.
Ayahnya, Suharto Tranggono, seorang dokter spesialis kejiwaan atau psikiater. Sasya pun tumbuh dalam sebuah keriangan keluarga. Ini tertuang di buku biografi Sasya berjudul, Faith yang ditulis Jean Couteau dan dibedah dalam rangkaian pameran tersebut.
Lingkungan keluarga itulah yang membentuk karya-karya seni lukis Sasya dipenuhi keriangan. Ini menjadi cukup kuat sebagai karya yang dekoratif dengan menawarkan semata rasa keindahan.
Pilihan Sasya untuk menjadi perupa bukan pula tanpa tantangan. Pada awalnya, kedua orangtuanya tak pernah menghendaki Sasya jadi seniman.
Karena itulah, ia diarahkan menempuh studi Teknik Industri di Smith College, Universitas Syracuse, New York, Amerika Serikat (1987). Tentu harapan kedua orangtuanya agar Sasya mampu meneruskan bidang industri kosmetika yang telah dirintis.
Kemudian Sasya menempuh studi manajemen di Rotterdam School of Management, Universitas Erasmus, Belanda (1991). Di Rotterdam, Sasya belajar tentang seni rupa dan bergabung di Vrije Academie Rotterdam dan The Werve Shell Art Club di Den Haag, Belanda (1995).