Di Indonesia, negeri China lebih banyak dikenal sebagai pusat industri dan perdagangan. Namun, sebenarnya ada sisi lain China yang jarang diketahui, yakni ziarah Islam, yang salah satunya terpusat di makam paman Nabi Muhammad SAW, yakni Saad bin Abi Waqqash RA, di Guangzhou, China.
Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Ahmad Syaifuddin Zuhri, yang bertahun-tahun bersekolah di China dan pergi-pulang ke China, mengatakan sering berziarah ke makam Saad bin Abi Waqqash RA. Tempat sakral dan bersejarah itu masuk sebagai cagar budaya di China dan dikenal sebagai Xian Xian Qing Zhen Si (Masjid Kehormatan Utama) yang dibangun zaman Dinasti Tang pada tahun 629 Masehi.
”Seperti tradisi ziarah Wali Songo di Jawa, peziarah Muslim pun sering berziarah ke makam paman Nabi Muhammad SAW sekaligus beribadah. Saya setiap kali bepergian China-Indonesia dan melewati Guangzhou pasti ziarah ke sana dan shalat di masjid yang ada di kompleks tersebut,” kata Zuhri yang berasal dari Jawa Tengah.
Zuhri sering bertemu rombongan perempuan Indonesia yang dipandu seorang ustaz berziarah ke makam paman Nabi Muhammad SAW. Ternyata rombongan tersebut adalah buruh migran Indonesia yang bekerja di Hong Kong. Di sela-sela kesibukan mereka, tradisi ziarah seperti di Indonesia mereka lakukan juga di perantauan.
Makam seluas 5 hektar tersebut berada di Jalan Lanpu, di seberang kompleks Taman Yue Xiu, di pusat Distrik Yue Xiu. Lokasi tersebut tidak jauh dari Kantor Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Guangzhou di Hotel Dongfang. Sementara dari Bandara Bai Yun di Guangzhou, tempat itu dapat ditempuh menggunakan kereta bawah tanah dengan waktu perjalanan 30 menit.
Saad bin Abi Waqqash RA adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah Islam yang merupakan keluarga sekaligus sahabat Nabi Muhammad SAW. Ia kemudian diutus ke China untuk menyebarkan agama Islam dan berdiplomasi. Paman Nabi Muhammad SAW tersebut adalah pendiri masjid pertama di Tiongkok, yakni Masjid Huaisheng, yang juga dikenal sebagai Masjid Singa atau Masjid Mercusuar.
Paman Nabi Muhammad SAW tersebut adalah pendiri masjid pertama di Tiongkok, yakni Masjid Huaisheng, yang juga dikenal sebagai Masjid Singa atau Masjid Mercusuar.
Mengenai kompleks makam paman Nabi Muhammad SAW, Zuhri menceritakan, ada 40 makam pengikut Saad bin Abi Waqqash RA. Masjid di kompleks tersebut berukuran 1.860 meter persegi. Masjid itu dibangun ulang pada zaman Dinasti Ming dengan gaya arsitektur China, yang terlihat pada ruang sembahyang, paviliun, bangunan sayap, dan fasilitas pendukung. Ruang sembahyang di masjid tersebut dapat menampung 3.000 anggota jemaah. Ruangan itu dihiasi ornamen pepohonan dan bunga yang asri.
Fathan Asadudin Sembiring, alumnus Rumah Kepemimpinan, yang pernah menempuh pendidikan diploma dua bahasa Mandarin di Beijing University dan S-2 di UIBE, China, mengisahkan, kompleks makam Saad bin Abi Waqqash RA tersebut terawat baik sebagai tempat yang dihormati dan dijaga pemerintah setempat, sekaligus terdaftar sebagai cagar budaya nasional.
”Saya pernah ziarah dan sembahyang di masjid kompleks makam. Lokasi tersebut menjadi pusat kegiatan masyarakat Muslim sekaligus menjadi obyek wisata religi dan mengangkat nama kota Guangzhou sebagai daerah wisata ziarah Islam. Suasana ziarah tidak berbeda dengan di Indonesia, tetapi tidak seramai di Indonesia karena jumlah penduduk beragama Islam tidak sebesar kita,” kata Fathan.
Konsul Jenderal Republik Indonesia di Guangzhou Gustanto mengatakan, sudah sejak lama tamu-tamu dari Indonesia diantar berziarah ke makam paman Nabi Muhammad SAW. ”Sudah sering kami mengantar tamu dari Tanah Air berziarah ke sana,” kata Gustanto yang sukses mendatangkan investasi China dari Guangzhou ke Belitung.
Meski demikian, ia mengakui, informasi tentang makam paman Nabi Muhammad SAW di Guangzhou tersebut secara umum belum banyak diketahui masyarakat Indonesia.
Perekat Indonesia-China
Keberadaan budaya dan tradisi Islam memang menjadi salah satu perekat hubungan Indonesia-China. Aktivis Nahdlatul Ulama sekaligus wartawan senior, Mahbub Djunaidi (almarhum), mencatat, ketika meliput Konferensi Asia-Afrika tahun 1955, dia bersama sejumlah wartawan mewawancarai perempuan Uighur anggota delegasi China yang dipimpin Perdana Menteri Zhou En Lai.
Gadis bernama Amankuli Wo Cheng Mu tersebut hadir bersama sejumlah Muslim China. Mahbub mencatat, gadis Uighur yang menjadi potret seorang Muslim China itu tampak cantik dan cerdas. Namun, setelah KAA 1955 dan terjadinya pembekuan hubungan diplomatik Indonesia-China, kenangan baik tentang Islam di China terlupakan di Indonesia.
Menurut Fathan, wisata halal ke pusat-pusat Muslim di China sangat berpotensi merekatkan hubungan Indonesia-China. Daerah Ningxia, Lanzhou, Xi’an, dan warisan budaya Islam di Beijing, Guangzhou dan Quanzhou, dapat menjadi magnet bagi wisatawan Indonesia. Belum lagi kemudahan mencari makanan halal di kota-kota di China.
Di sisi lain, ia menambahkan, Indonesia bisa membantu China dalam hal manajemen rumah ibadah, manajemen hari raya Islam, regulasi produk halal, dan lain-lain. Indonesia juga bisa membantu China dalam membangun perdamaian di Xinjiang dengan pengalaman diplomasi upaya damai di Thailand selatan, Myanmar, dan Filipina selatan.
Ziarah makam paman Nabi Muhammad SAW dan mengenal langsung sejarah serta budaya Islam di China diyakini Fathan dan Zuhri akan membuka wawasan dan memberi kesan mendalam bagi masyarakat Indonesia, juga merekatkan hubungan Indonesia-China.