3.800 Warga Sipil Tewas Sepanjang 2018, Rekor Tertinggi dalam Setahun
Oleh
BENNY DWI KOESTANTO
·3 menit baca
KABUL, SENIN — Sedikitnya 3.804 warga sipil Afghanistan tewas sepanjang 2018. Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa menunjukkan, angka itu merupakan jumlah korban tewas warga sipil tertinggi secara tahunan dalam perang Afghanistan yang hampir menginjak dua dekade. Jumlah kematian warga sipil itu melonjak sebesar 11 persen dari tahun 2017, sementara 7.189 orang lainnya mengalami luka-luka.
Laporan PBB itu dirilis pada Minggu (24/2/2019), sehari sebelum Amerika Serikat dan Taliban mengadakan lanjutan perundingan di Doha, Qatar, pekan ini, yang bertujuan mengakhiri konflik di Afghanistan. Perundingan lanjutan itu meningkatkan harapan tercapainya perdamaian di negeri tersebut. Meski demikian, ada kekhawatiran bahwa penarikan pasukan AS dari negeri itu bisa memicu perang saudara yang bahkan lebih besar dan berdarah-darah.
Perundingan di Doha tersebut digelar seiring peningkatan kekerasan akibat konflik di Afghanistan yang telah terjadi bertahun-tahun. Angka PBB menunjukkan, setidaknya 32.000 warga sipil tewas dan 60.000 orang lainnya terluka dalam beberapa dekade terakhir ketika PBB mulai mengumpulkan data.
Serangan bunuh diri dan pengeboman telah menimbulkan kekacauan di seluruh negara yang dilanda perang itu, termasuk lonjakan korban dari warga sipil. Menurut laporan PBB, meningkatnya kekerasan pada tahun 2018 bertepatan dengan bertambahnya secara signifikan jumlah kematian akibat ”target serangan terhadap warga sipil yang disengaja”.
Sebagian besar korban merupakan korban serangan bunuh diri oleh kelompok yang bersekutu dengan milisi Taliban atau kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). ”Sudah waktunya mengakhiri kesengsaraan dan tragedi manusia ini,” kata Tadamichi Yamamoto, Kepala Misi PBB di Afghanistan.
”Cara terbaik untuk menghentikan pembunuhan dan melukai warga sipil adalah menghentikan pertempuran,” lanjut Yamamoto.
Pada tahun 2018, setidaknya tercatat 65 serangan bunuh diri, sebagian besar menghantam ibu kota Kabul. Peningkatan serangan udara oleh pasukan AS dan Afghanistan juga menambah angka kematian warga sipil pada tahun 2018. Lebih dari 500 warga sipil tewas, demikian laporan PBB, akibat ”operasi udara untuk pertama kalinya yang tercatat”.
Otoritas AS mengintensifkan serangan udara terhadap milisi Taliban dan kelompok NIIS di tengah upaya Washington menekan para militan. AS menjatuhkan dua kali lebih banyak amunisi kepada posisi kelompok militan pada 2018 dibandingkan tahun sebelumnya.
Yamamoto mengatakan, jatuhnya korban sipil sepenuhnya tidak dapat diterima. Ia meminta semua pihak untuk segera mengambil langkah konkret dan langkah tambahan untuk menghentikan bertambahnya jumlah warga sipil yang terluka.
Afghanistan hampir selalu dilanda konflik sejak invasi Uni Soviet tahun 1979, yang diikuti oleh perang saudara, bercokolnya rezim Taliban, dan invasi AS pada akhir 2001. Kekerasan yang meningkat terjadi ketika Presiden AS Donald Trump berusaha untuk mengakhiri keterlibatan AS di Afghanistan. Saat ini, 14.000 tentara AS dikerahkan di Afghanistan.
Perundingan maraton guna menyelesaikan konflik di negeri itu telah digelar di Doha pada Januari lalu. Perundingan tersebut menghadirkan harapan bakal muncul terobosan. Hal itu terutama setelah kedua belah pihak menyetujui ”rancangan kerangka kerja” yang mencakup janji Taliban untuk Afghanistan dijadikan pangkalan kelompok-kelompok teror internasional.
Namun, Utusan Khusus AS untuk Afghanistan Zalmay Khalilzad, yang memimpin pihak AS berunding dengan Taliban, menekankan bahwa penarikan pasukan apa pun akan tergantung pada kondisi di lapangan. Para pengkritik juga skeptis terhadap perundingan tersebut karena sejumlah alasan, terutama karena mereka belum memasukkan Pemerintah Afghanistan—yang oleh Taliban dianggap sebagai boneka AS—dalam perundingan. (AFP)