Antiklimaks terjadi di Stadion Old Trafford, Manchester, Inggris. Dalam laga panas derbi barat laut Inggris yang penuh rivalitas, Manchester United dan Liverpool bermain imbang tanpa satu gol pun. Pada Minggu sore waktu Manchester, petugas medis yang masuk ke lapangan lebih sering tertangkap kamera daripada peluang emas kedua klub tersukses di Inggris itu.
Duel menjanjikan berubah menjadi laga membosankan. Begitulah derbi pada Minggu (24/2/2019) malam WIB di Stadion Old Trafford. Derbi ini hanya menyajikan masing-masing empat tendangan selama 90 menit pertandingan dengan hasil akhir 0-0. Hasil itu adalah pertama kalinya laga tanpa gol di ”Teater Impian” sejak pertemuan pada 28 tahun silam.
Bukan kiper Liverpool, Alisson Becker, ataupun kiper MU, David De Gea, yang sibuk sore itu, melainkan tim medis. Mereka bekerja keras masuk-keluar lapangan akibat cedera pemain kedua klub, mayoritas pemain MU.
Pada babak pertama, empat pemain harus ditandu ke luar lapangan dan tidak bisa melanjutkan pertandingan. Mereka adalah penggawa ”Setan Merah”, Ander Herrera, Juan Mata, dan Jesse Lingard, serta satu penyerang, Roberto Firmino.
Herrera menjadi pemain pertama yang digantikan setelah 20 menit. Dia terlihat memegangi bagian hamstring. Empat menit berselang, giliran Mata mendapat perawatan tim medis setelah berduel dengan James Milner. Mata harus digantikan Lingard.
Mirisnya, 15 menit setelah masuk lapangan, Lingard terpaksa digantikan lagi karena cedera juga. Tiga slot pergantian MU pun habis pada babak pertama. Sementara itu, Liverpool harus mengganti Firmino pada menit ke-31 dengan Daniel Sturridge akibat cedera engkel.
Pelatih interim MU, Ole Gunnar Solskjaer, mengungkapkan, ternyata penyerang Marcus Rashford juga mengalami cedera engkel setelah mendapatkan tekel dari Jordan Henderson pada awal laga. ”Engkelnya terlihat seperti balon, bengkak. Seharusnya dia juga digantikan, tetapi kondisinya masih memungkinkan,” kata pengganti Jose Mourinho itu.
Setelah sejumlah cedera itu, Ole menilai permainan anak asuhnya menurun karena rencana awal berantakan. Pada awal laga, pria asal Norwegia itu menerapkan formasi 4-3-1-2. Akibat cedera, dia terpaksa kembali ke formasi pada laga-laga sebelumnya, 4-3-3. ”Setelah itu, sore kami menjadi sangat berat. Semua di babak pertama menjadi sebuah kesalahan,” lanjutnya.
Bukan hanya Ole, Jurgen Klopp, Pelatih Liverpool, juga berpendapat senada bahwa cedera merusak hari mereka. Digantikannya Firmino dengan Sturridge mengganggu ketajaman lini depan klub kota pelabuhan tersebut. Firmino merupakan bagian penting dari trisula bersama Mohamed Salah dan Sadio Mane.
”Kami mengawali laga dengan baik, tetapi cedera datang dan kami kehilangan Roberto Firmino. Setelah itu, kami kehilangan ritme dan tak bisa kembali. United juga sama. Mungkin hasilnya bisa berbeda jika tidak ada pemain cedera, seperti pekan-pekan sebelumnya,” kata Klopp.
Terbunuh jadwal
Tidak bisa dimungkiri, badai cedera itu berasal dari jadwal padat kedua tim. Hal itu merupakan konsekuensi bermain di Inggris yang harus menjalani empat kompetisi dan tidak ada libur saat paruh musim.
Jadwal ketat itu sempat menuai kecaman dari Josep Guardiola, Pelatih Manchester City, beberapa waktu lalu. ”Jadwal ini membunuh para pemain. Kami harus bermain empat laga dalam 10 hari. Ini adalah sebuah bencana karena mereka adalah seniman dan butuh pemulihan,” ujarnya.
Lihat saja jadwal MU pada Februari ini. Wajar pemain mereka berjatuhan cedera karena harus menjalani tiga kompetisi penting sekaligus, Liga Primer, Liga Champions, dan Piala FA.
Sementara itu, Liverpool baru saja menghadapi pertandingan menguras tenaga melawan raksasa Jerman, Bayern Muenchen, pada tengah pekan lalu. Kurang dari empat hari, mereka sudah harus menghadapi laga besar selanjutnya.
Bulan Februari dan Maret memang biasanya menjadi petaka bagi klub besar di Liga Primer. Sebab, mereka terkadang masih berada di tiga kompetisi. Bahkan, City saat ini masih aktif dalam empat kompetisi, satunya lagi Piala Liga Inggris.
Mengapa Februari? Karena itu merupakan akumulasi dari keletihan pemain saat menjalani jadwal padat pada Natal dan Tahun Baru. Pada waktu klub lain libur paruh musim, Liga Primer justru menjalani boxing day, yang bisa memainkan empat laga dalam 11-12 hari. Dengan catatan, Liga Primer diakui sebagai kompetisi dengan intensitas permainan tertinggi yang sangat menguras fisik.
Jadwal ini membunuh para pemain. Kami harus bermain empat laga dalam 10 hari. Ini adalah sebuah bencana karena mereka adalah seniman dan butuh pemulihan.
”Ini menjadi pertanyaan, mengapa Inggris tidak sukses di turnamen besar? Itu sangat jelas. Negara besar lain sedang merenggangkan kakinya di sofa pada akhir tahun. Mereka menonton Liga Inggris yang tetap bermain,” kata Klopp musim lalu saat harus menghadapi dua laga boxing day dalam waktu kurang dari 48 jam.
Di sisi lain, jumlah kejuaraan lokal juga menjadi faktor keletihan. Di Inggris terdapat Piala FA dan Piala Liga. Sementara itu, di negara lain hanya ada satu kejuaraan lokal, seperti di Spanyol dengan Copa Del Rey dan di Italia dengan Coppa Italia.
Perbedaan jumlah laga dari kejuaraan lokal itu sangat timpang. Klub besar Italia hanya harus bermain lima kali di Coppa Italia untuk menjadi juara. Sementara itu, klub besar Inggris maksimal bermain 16 kali jika masuk final dua kejuaraan lokal.
Dengan asumsi, enam kali pertandingan di Piala Liga dan 10 kali di Piala FA, sudah termasuk perhitungan sistem balas kandang ketika laga seri sebelum semifinal.
Pelatih fisik asal Inggris, Simon Brudish, mengakui jadwal kompetisi Inggris adalah sebuah kegilaan. ”Atlet elite butuh setidaknya empat hari sampai benar-benar pulih,” kata pria yang menjadi pelatih beberapa klub di Liga Primer selama 21 tahun itu.
Namun, kegilaan itu memang sulit dihentikan. Sebab, ada kontrak sangat besar dari hak siar televisi. Liga Primer mendapatkan kontrak hingga 5,14 miliar dollar Amerika Serikat (Rp 72,3 triliun) untuk hak siar 2015-2019. Uang itu pula yang menjadi fondasi finansial klub Inggris. (BBC/THE GUARDIAN)