JAKARTA, KOMPAS — Pemilu serentak 2019 dinilai akan memunculkan sejumlah tantangan yang harus diantisipasi sejak dini agar konsolidasi demokrasi tetap terjaga. Sejumlah tantangan itu berkaitan dengan meningkatkan partisipasi pemilih, memetakan daerah rawan konflik, serta menjaga netralitas aparatur sipil negara dan TNI-Polri.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan, tantangan itu semakin berat mengingat jadwal kampanye pada Pemilu 2019 yang relatif panjang, yakni 23 September 2018 sampai 13 April 2019. Tak hanya itu, penyelenggaraan Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden 2019 yang berlangsung serentak juga menjadi tantangan tersendiri.
”Ada jadwal kampanye yang panjang, tentu ini ada potensi kerawanan. Kunci kerawanan selanjutnya termasuk penghitungan suara karena penghitungan seluruh surat suara pasti sampai larut malam. Kuncinya, konsolidasi demokrasi harus tetap kita jaga bersama,” ujar Tjahjo seusai Rapat Koordinasi Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri dan Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI di Jakarta, Senin (25/2/2019).
Tjahjo menyebutkan, Papua masih menjadi daerah yang sangat rawan dalam penyelenggaraan pemilu nanti. Sebab, Papua masih menggunakan sistem noken di mana kepala suku memilih untuk dan atas nama pemilih di kelompok sukunya. Belum lagi, lanjutnya, kondisi geografis di Papua yang tergolong ekstrem.
”Dengan sistem apa pun, kalaupun di pegunungan pakai sistem noken, ya, sistem noken yang demokratis sehingga siapa pun yang mewakili warganya bisa dihitung dengan detail,” ujar Tjahjo.
Dalam kesempatan itu, Tjahjo juga menyebutkan, ada sejumlah tantangan yang dihadapi dalam penyelenggaraan Pemilu 2019, salah satunya meningkatkan partisipasi pemilih. Oleh karena itu, dia meminta agar KPU, aparatur sipil negara (ASN), dan TNI-Polri dapat bersama-sama menyadarkan masyarakat terhadap pentingnya menggunakan hak pilih.
Dengan begitu, Tjahjo berharap, partisipasi pemilih bisa mencapai 78 persen. Angka 78 persen ini, menurut dia, paling masuk akal mengingat partisipasi pemilih pada pemilihan kepala daerah serentak tahun 2018 mencapai 74 persen.
”Sosialisasi ini penting agar mengeliminasi adanya golongan putih. Itu penting sekali agar masyarakat sadar dan masyarakat dilindungi hak konstitusionalnya untuk menggunakan hak pilihnya dengan baik,” tutur Tjahjo.
Meski ASN dan TNI-Polri diminta ikut menyosialisasikan pentingnya menggunakan hak pilih, Mendagri menjamin bahwa netralitas TNI-Polri dan ASN bisa terjaga. ”Kuncinya jadi netralitas tiga perangkat tadi, kami akan jamin. Kalau ada tidak ada netralitas, silakan laporkan,” ucapnya.
Diberi hukuman
Asisten Operasi Kepala Polri Inspektur Jenderal Rudy Sufahriadi mengatakan, dalam rakornas itu, TNI-Polri sepakat untuk menjaga netralitas dan memelihara sinergi dalam penyelenggaraan Pemilu 2019.
Ihwal komitmen menjaga netralitas, lanjut Rudy, hal itu diatur secara tegas dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, yang pada intinya menyebutkan kedua institusi itu dilarang terlibat dalam politik praktis.
”Sudah jelas, TNI dan Polri punya hukum. Internal masing-masing juga sudah menjaga bahwa TNI-Polri harus netral. Siapa yang tidak netral, akan dihukum sesuai dengan tingkat kesalahannya,” ujar Rudy.
Ditanyai ihwal peta kerawanan pemilu mendatang, Rudy enggan membeberkan lebih jauh. Dia hanya menegaskan, setiap provinsi dan kabupaten memiliki tingkat kerawanan berbeda-beda.