DBD, Monster yang Datang dan Pergi
Widyastuti, Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta, dalam wawancara, Selasa (19/2/2019), mengatakan, sebagai ibu kota negara, Jakarta itu wilayah endemis demam berdarah.
”Kita sudah terus berkoordinasi bahwa Jakarta itu termasuk daerah endemis. Setiap saat pasti ada kasus karena vektornya ada,” kata Widyastuti.
Sudah ada vektor yang berupa nyamuk Aedes aegypti, virus atau indeksinya juga ada. ”Karena vektor ada dan infeksi ada, kasus selalu ada. Tinggal banyak atau tidaknya,” ujarnya.
Dalam catatan Dinas Kesehatan DKI Jakarta 2012-2019, angka kasus yang tertinggi terjadi pada 2016. Jumlah kasus melonjak dari 980 kasus pada Januari menjadi 2.219 pada Februari, lalu mencapai 3.790 kasus pada Maret. Hingga akhir tahun, jumlah kasus per bulan tinggi.
Widyastuti mengatakan, DBD merupakan penyakit lingkungan sehingga kebanyakan manifes kasus tergantung dari berbagai faktor. Pertama adalah virulensi dari virus. ”Kita tahu bahwa demam dengue ini penyebabnya adalah virus dengue. Ada beberapa dengue, ya, dengue 1, dengue 2, 3, 4. Itu satu hal tentang virulensi atau keganasan virus,” ujarnya.
Faktor lain adalah infeksi yang berulang. Biasanya kalau seseorang pertama kena, mungkin tidak manifes. Pas gigitan kedua virusnya masuk, baru manifes. ”Kalau dia sudah infeksi berikutnya, akan lebih nyata dan lebih berat,” katanya.
Faktor ketiga adalah daya tahan tubuh host atau tubuh manusia. ”Pada saat daya tahan tubuh kita sedang tidak bagus, jadi apa pun infeksinya, jadi lebih mudah manifes,” kata Widyastuti.
Faktor berikutnya, lanjutnya, adalah kepadatan penduduk dalam satu kawasan serta populasi nyamuk pembawa bibit penyakit DBD di kawasan tersebut. Karena penyakit ini ditularkan melalui gigitan, kalau semakin padat penduduk, risiko tergigit lebih besar. Risiko tertularnya untuk timbul jadi lebih banyak.
Yang terakhir, ujar Widyastuti, dari BMKG yang disebut faktor kelembaban udara. Semakin tinggi kelembaban udara, semakin nyamuk nyaman berkembang biak. Semakin tinggi kelembaban, nyamuk semakin padat. Jadi, risiko untuk terjadinya gigitan nyamuk pada manusia di lokasi yang sama menjadi lebih tinggi.
Dengan begitu, Widyastuti mengatakan, penanganan demam berdarah di Jakarta bukan hanya peran dinas kesehatan, melainkan juga dari kesadaran masyarakat. Masyarakat tidak bisa hanya menggantungkan pembasmian nyamuk dari seorang kader juru pemantau jentik (jumantik). Dinas berupaya secara paralel dengan semua pihak dalam gerakan penyadaran masyarakat ini.
”Kader untuk membersihkan jentik, ya, salah kaprah. Bukan. Dia, kan, bertugas mengedukasi dan memantau kelompoknya di tingkat RT,” ucapnya.
Kader untuk membersihkan jentik, ya, salah kaprah.
Jumantik akan memantau jentik di RT. Lalu, pemantauan yang merupakan bagian dari gerakan ini sesuai dengan kearifan lokal akan diikuti musyawarah berupa pemberian denda. Apabila di satu rumah ditemukan jentik, penghuni harus menyediakan tanaman pengusir nyamuk atau rumahnya ditempel stiker.
”Setiap rumah harus menjadi self-jumantik, jumantik bagi rumahnya sendiri,” katanya.
Karena kasus terus berulang dan banyak, Widyastuti mengakui, itu menjadi tugas dinas untuk terus-menerus mengingatkan masyarakat melalui berbagai media.
”Kami akan bilang, semua harus berupaya secara paralel. Kami menjaga di semua lini. Pertama tentunya upaya promotif-preventif. Jadi, ini bagian dari upaya promotif melalui media. Tidak boleh menyerah. Artinya, ya, tetap kami gaungkan. Kami tidak boleh berhenti karena masih saja ada pemahaman yang keliru. Jadi, upaya promotif-preventifnya ya itu tadi, promotif dengan melalui berbagai media kami pakai untuk edukasi. Biar nanti yang nyantol bagaimana itu nanti yang jelas sudah berupaya melalui berbagai media, termasuk pada saat pemberantasan sarang nyamuk dan 3M menutup, menguras, dan mengubur,” tutur Widyastuti.
Karena gerakan penyadaran dikerjakan melalui berbagai lini, termasuk petugas di puskesmas dan lurah, maka petugas di puskesmas, lurah, dan jumantik menjadi tim garda terdepan mengingatkan masyarakat apabila memasuki musim hujan dan jumlah kasus bertambah. Dinas juga menyediakan informasi berbasis web (daring) tentang DBD.
Mengingat akurasi juga menjadi dasar dinas bertindak, pada akhir tahun 2018, Dinkes DKI bekerja sama dengan BMKG pusat. Data kasus DBD di DKI dipadupadankan dengan data iklim BMKG, khususnya data kelembaban relatif.
Dari sana, BMKG bisa membuat prediksi kasus dari potensi kelembaban tinggi dan jumlah kasus di satu wilayah kota di Jakarta. Data prediksi diteruskan ke dinas untuk menjadi pertimbangan pembuatan gerakan awal untuk penetapan situasi rawan atau RW rawan.
”Kalau selama ini, kan, begitu ada tiga kali kasus di satu tempat langsung diterapkan merah. Dengan kolaborasi ini jadi lebih mendekati,” ujar Widyastuti.
Selain itu, masyarakat dan sekolah-sekolah juga diingatkan tentang potensi DBD, diikuti dengan gerakan lain, seperti persiapan penanganan kasus. Masyarakat bisa membuka situs BMKG untuk melihat prediksi itu.
Melalui cara itu, kesadaran memerangi DBD dibangun. Kalau tidak, anggaran pembiayaan premi kesehatan bagi masyarakat kurang mampu terus bertambah. Tahun lalu saja, penerima bantuan iuran untuk semua jenis penyakit menghabiskan sebesar Rp 800 miliar.