Demam berdarah dengue sering merebak di beberapa wilayah Indonesia. Korban jiwa pun berjatuhan. Ada yang menduga virus bermutasi, makin ganas dari waktu ke waktu. Ternyata bukan itu yang terjadi.
Tedjo Sasmono, Kepala Unit Dengue Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, menyatakan, mutasi genom bisa meningkatkan virulensi, misalnya yang terjadi di Amerika Latin. Akan tetapi, sejauh ini, dari ratusan genom virus dengue Indonesia yang diteliti, belum ditemukan adanya mutasi yang langsung berhubungan dengan keparahan penyakit.
Semua serotipe virus dengue (DENV-1, DENV-2, DENV-3, DENV-4) bersirkulasi di Indonesia. Serotipe virus dengue yang dominan di tiap daerah berbeda-beda.
Siklus serotipe umum terjadi di Indonesia. Di Jakarta, tahun 2004 DENV-3 dominan, pada 2009 DENV-1 yang mendominasi, tahun 2018 ganti DENV-2 dominan. Tahun 1998, di Palembang, DENV-3 dominan.
Pada 2015 di Jambi, tetangga Palembang, DENV-1 yang dominan. ”Pola pergantian belum diketahui karena pemantauan virus bersifat sporadis, tidak rutin setiap tahun,” ujar Tedjo.
Keparahan penyakit dengue merupakan kombinasi dari faktor virus dan faktor manusia (respons imun). DENV-2 dan DENV-3 lebih sering menyebabkan keparahan penyakit dibandingkan dengan DENV-1 dan DENV-4. Virus yang mampu memperbanyak diri secara cepat cenderung meningkatkan keparahan penyakit. Adapun respons imun bersifat spesifik, tergantung dari tiap individu.
Beberapa faktor yang berpengaruh antara lain usia (anak-anak cenderung mengalami kebocoran plasma dibandingkan dengan dewasa), jenis kelamin (wanita cenderung lebih parah dibandingkan dengan pria), status gizi (anak kegemukan cenderung lebih parah). Selain itu, infeksi sekunder (infeksi kedua dan seterusnya) cenderung lebih parah dari infeksi primer (pertama).
Kematian akibat penyakit dengue bisa dicegah jika kita mengenal gejalanya dan segera mencari pertolongan. Demam dengue selalu ditandai dengan kenaikan suhu tubuh, tetapi tidak selalu ada bintik-bintik merah.
Ketua Divisi Infeksi dan Pediatri Tropik, Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUPN Cipto Mangunkusumo/Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Mulya Rahma Karyanti, Sabtu (23/2/2019), menjelaskan, bintik-bintik merah menunjukkan ada penurunan trombosit atau kerentanan pembuluh darah. Namun, tidak selalu disebabkan infeksi dengue.
Bisa juga akibat idiopathic thrombocytopenic purpura, gangguan otoimun berupa rendahnya jumlah trombosit. Untuk memastikan, perlu pemeriksaan darah berupa antigen nonstruktural 1 untuk deteksi infeksi virus dengue.
”Gejala yang harus diwaspadai adalah sakit perut, muntah, diare, jarang buang air kecil, kejang demam. Jika demam reda, tapi penderita terlihat lemas, bisa jadi ada kebocoran plasma dari pembuluh darah,” kata Mulya.
Keluarnya plasma membuat darah mengental, volume darah berkurang dan sulit bersirkulasi. Kondisi ini dikenal sebagai syok hipovolemik. Akibatnya, organ tubuh kekurangan oksigen, bisa terjadi kegagalan organ tubuh dan kematian.
Penderita harus segera dibawa ke rumah sakit untuk dibantu pemberian cairan. Fase kritis umumnya berlangsung 48 jam. Jika bisa melewati fase ini, penderita akan berangsur-angsur sehat kembali.