JAKARTA, KOMPAS – Produk olahan kerang hijau masih dikonsumsi masyarakat meskipun mereka mengetahui biota laut itu tercemar logam berat. Sejumlah pedagang dan pembeli kerang hijau berkukuh bahwa kerang hijau masih aman dikonsumsi asal tidak dalam jumlah banyak.
Ketua Asosiasi Pedagang Ikan Muara Angke, Dede Arifin di Jakarta, Senin (25/2/2019), mengatakan, omzet satu pedagang kerang hijau di Pasar Grosir Muara Angke mencapai sekitar 50 kilogram (kg) dalam satu hari. Dia mendaku, pemberitaan soal kandungan logam berat di kerang hijau tidak mempengaruhi penjualan.
Padahal, hasil penelitian dosen Institut Pertanian Bogor, Etty Riani, menunjukkan, kandungan logam berat merkuri (Hg) dalam ikan maupun kerang-kerangan di Teluk Jakarta melebihi batas yang dapat ditoleransi. Bahkan, kerang hijau disarankan tidak dikonsumsi karena konsentrasi logam beratnya paling tinggi (Kompas, 25/2/2019).
Dede menjelaskan, tidak semua hasil laut yang dijual di lokasi itu berasal dari Teluk Jakarta. Menurut dia, hasil laut dari Teluk Jakarta yang dijual di pasar hanya berupa kerang hijau. Sedangkan, produk ikan dipasok dari tangkapan nelayan di Lampung dan Jawa Timur.
“Sebenarnya semua pedagang sudah mengetahui soal (pencemaran) ini, tetapi tidak terlalu ditanggapi. Pembeli masih datang seperti biasa dan tidak mempermasalahkan soal itu,” kata Dede.
Menurut dia, kerang hijau paling banyak dibeli secara rutin oleh pedagang makanan, misalnya warung tegal dan rumah makan kecil. Sedangkan warga, biasanya hanya membeli kerang hijau sesekali saja untuk dikonsumsi pribadi, itu pun biasanya jumlahnya tidak melebihi 0,5 kg.
Pedagang warteg di Kebon Jeruk, Nurcahyo (41), mengatakan, olahan kerang hijau merupakan salah satu jenis menu yang pasti tersedia setiap hari. Pelanggan warteg itu banyak yang menggemari olahan hasil laut tersebut.
“Setiap hari 0,5 kg (kerang hijau) pasti habis. Masakan itu salah satu yang paling laris,” kata Nurcahyo. Kerang hijau mentah itu dibeli olehnya dari penjual langganannya di Pasar Palmerah seharga Rp 20.000 per 0,5 kg.
Salah satu pelanggan warteg, Tono (47), tetap mengonsumsi kerang hijau meskipun mengetahui biota laut itu mengandung logam berat. Ia berpendapat, jika diimbangi mengonsumsi makanan sehat lain, misalnya sayuran, efek itu bisa diminimalkan.
Lain lagi dengan Praba (24), yang berpendapat, mengonsumsi kerang hijau tidak berbahaya asalkan tidak terlalu sering. Ia masih mengonsumsi kerang hijau, tetapi frekuensinya hanya sekali atau dua kali dalam sebulan.
“Sudah sering lihat di televisi tentang kandungan logam berat di kerang dan ikan. Saat ini, saya juga mulai berusaha mengurangi konsumsi kerang,” kata Praba.
Ketegasan pemerintah
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jakarta Tubagus Soleh Ahmadi mendorong pemerintah segera mengambil langkah tegas menyelesaikan pencemaran di Teluk Jakarta. Menurut dia, perlu langkah tegas daripada sekadar mengimbau masyarakat tidak mengonsumsi biota laut yang terpapar logam berat.
“Masyarakat pesisir harus dilibatkan dalam merancang kerangka pemulihan Teluk Jakarta. Nelayan dan pedagang yang bergantung pada hasil laut adalah yang paling terdampak dari persoalan ini,” kata Soleh.
Hal senada juga diungkapkan Dede. Ia mengatakan, sejumlah pedagang kerang hijau di Pasar Ikan Muara Angke merasa bingung dengan anjuran pemerintah untuk tidak mengonsumsi kerang hijau.
Ia mengatakan, pedagang kerang hijau hanya mendapat pengetahuan soal kandungan logam berat sebatas dari pemberitaan media. Mereka berharap, pemerintah melakukan proses edukasi dengan turun langsung menemui pedagang di lapangan.
“Kalau pemerintah benar-benar melarang, kami bersedia beralih menjual udang atau ikan. Kami juga tidak mau menjual barang yang membahayakan orang lain,” ujar Dede. (PANDU WIYOGA)