Sejak 2014 hingga sekarang, pemilihan presiden telah membangun segregasi sosial yang mencemaskan. Bukan hanya soal pilihan calonnya, tetapi juga membuat perbedaan ideologi dan keyakinan melebar dan mengeras. Media sosial telah berkontribusi dalam mengeraskan perbedaan itu. Pada masa lalu, butuh waktu dan tenaga untuk menggalang isu. Kini, hanya dengan sekali klik, maka pengerasan perbedaan makin melebar. Bagaimana cara memperbaiki keadaaan ini? Bagaimana perusahaan bisa terlibat dalam menangani masalah seperti ini?
Masyarakat mungkin akan menyalahkan partai politik, calon, pendukung calon, dan lain-lain. Padahal, sebenarnya polarisasi -sekarang lebih dikenal granulasi atau masyarakat yang makin terkumpul dan terikat karena kesamaan pandangan politik, hobi, latar belakang keyakinan dan lain-lain- merupakan perilaku manusia secara umum. Meski demikian, pada era digital, media sosial kian mempertajam perilaku itu dan memperbesar dampak dari perbedaaan di masyarakat. Konflik, bahkan kerusuhan di berbagai negara, makin membesar karena unggahan di media sosial.
Beberapa tahun lalu para penggerak revolusi dan perubahan sosial berterimakasih kepada internet, dan secara khusus media sosial, karena mereka mudah menggerakkan massa untuk mengetahui masalah dan datang ke pertemuan pergerakan. Namun, kini mereka berpikir sebaliknya, yakni jika ingin membebaskan masyarakat, maka bebaskan mereka dari internet.
Penggerak revolusi di Mesir, Wael Ghonim, pada 2011 mengatakan, media sosial memudahkan menggerakkan orang untuk melakukan revolusi. Akan tetapi, setelah revolusi, media sosial tak mampu menyatukan orang-orang yang terlibat.
Aktor-aktor di dalam revolusi malah berebut peran sehingga kekuatan sipil melemah pasca pergerakan. Akibatnya, pihak lain mengambil kesempatan berkuasa. Ketika euforia telah berakhir, mereka sulit membangun konsensus. Bahkan, di antara mereka terpolarisasi dan dikeraskan media sosial.
Saat ini tengah muncul perdebatan tentang bagaimana media sosial dan internet bisa menekan segregasi atau granulasi masyarakat. Fenomena ini tak hanya terjadi di Indonesia, namun juga di banyak negara, bahkan di Amerika Serikat yang mengawali pengembangan media sosial. Ada yang menyarankan puasa internet beberapa pekan.
Analis isu-isu internasional Thomas L Friedman dalam buku Thank You for Being Late mempunyai beberapa saran agar ancaman perpecahan itu tidak makin membesar. Ia mengatakan, tidak ada polisi dan hakim di internet yang bisa mengawasi semua orang setiap waktu. Bahkan, ada pula yang bertanya, adakah Tuhan di dunia siber? Sesuatu yang perlu dimunculkan di dunia siber adalah sikap-sikap yang di dunia nyata bisa merekatkan orang dan membuat respek satu sama lain, seperti kerendahan hati, kejujuran, saling menghormati, dan lain-lain. Pendapat ini terkesan naif. Namun, ketika dunia siber nyaris sebagai dunia yang sangat bebas dan kosong dengan berbagai “aturan”, maka penggunanya harus segera mengisi dan membentuk dunia itu.
Saran Friedman yang lain lebih menarik. Menurutnya, pemerintah dan masyarakat harus membuat ruang-ruang pertemuan fisik sehingga bisa bertemu dan bergembira. Mereka yang berasal dari latar belakang berbeda bisa saling bertemu dan berbicara sehingga mengenal berbagai perbedaan. Dalam konteks di Indonesia, Kota Surabaya bisa menjadi contoh, yakni orang senang berkumpul dan meninggalkan gawai sejenak. Upaya Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil memperbaiki dan membuka alun-alun sebagai ruang publik mungkin bisa menambah pertemuan orang.
Friedman juga menyentil peran perusahaan-perusahaan dalam mengurangi persoalan sosial. Perusahaan yang tinggal di sebuah kota tidak bisa lagi merasa berada di ruang terpisah dengan denyut kota. Mereka harus ikut dalam melakukan inovasi sosial. Kondisi saat ini cukup untuk mengatakan, masyarakat tengah sakit. Luka-luka di masyarakat akibat perpecahan perlu segera disembuhkan sehingga masyarakat menjadi sehat. (ANDREAS MARYOTO)