Nixon Watem, Guru Alam dari Kofiau
Bertahun-tahun Nixon Watem (45) menjadi “musuh” alam di kepulauan Kofiau, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Perjalanan hidup dan momen pencerahan membuatnya berubah 180 derajat menjadi “sahabat” alam. Kini, dengan profesinya sebagai guru, dia menemukan senjata yang ampuh dalam upayanya melindungi lingkungan, terutama laut.
Semilir angin yang sesekali menyapu pesisir Kampung Deer, Distrik Kofiau, Raja Ampat, membuat suasana siang itu menyenangkan. Di sebuah pondok kayu beratap ijuk di tepi pantai, Nixon duduk dikerumuni setidaknya 20 bocah usia SD dan SMP.
Di tangannya, dia memegang selembar foto terumbu karang yang diperlihatkan ke anak-anak. Dia pun menerangkan manfaat terumbu karang untuk lingkungan dan manusia. Sesekali, Nixon menyelipkan lelucon yang membuat suasana menjadi ceria. Setelah agak panjang berbicara, dia pun mengecek pemahaman anak-anak itu.
“Kalau karang mati, ikan ada atau tidak?” ujarnya.
“Tidaaak,” sahut anak-anak serempak.
“Jadi, tong pu (kita punya) tugas apa?” lanjut Nixon.
“Jaga!” jawab anak-anak lagi.
Puas dengan respons itu, Nixon lalu berpesan, “Jadi, bilang bapa, mama, kalau tong dari kebun ke mari atau dari sini ke kebun, jangan buang jangkar di karang ya.”
Kebun pertanian warga Deer berada di pulau terpisah dari pulau yang dimukimi penduduk. Di selat yang memisahkan kedua pulau itu, banyak terumbu karang. Mondar-mandir dengan perahu adalah aktivitas rutin warga di sana, termasuk buang jangkar di tengah selat yang berpotensi merusak karang.
Dengan pesan itu, Nixon berupaya menyasar dua target. Pertama, tentu edukasi kepada anak-anak tentang perlunya menjaga ekosistem terumbu karang. Kedua, sasaran yang tak kalah penting, yakni “menyusupkan” pesan kepada para orangtua untuk mengubah perilaku mereka yang tidak ramah lingkungan.
Pesan yang disampaikan oleh anak sendiri terkadang jauh lebih efektif menyentuh hati ketimbang pesan dari sesama orang dewasa. “Aduh kakak, kita ditegur anak-anak tidak boleh ambil kima (kerang raksasa, hewan dilindungi). Besok-besok tidak ambil lagi,” ujar Nixon sambil tersenyum, menirukan ucapan salah satu orangtua kepadanya.
Nixon adalah guru di SD Negeri 28 Awat, di pulau yang berbeda dengan Deer. Namun, dia sering berkunjung ke empat kampung lain di distrik (setingkat kecamatan) itu untuk memberikan pendidikan lingkungan hidup secara nonformal kepada anak-anak, seperti yang dilakukan di Kampung Deer tadi.
Mantan perusak
Namun, Nixon saat ini sangatlah berbeda dengan Nixon belasan tahun lalu. Kala itu, dia sama sekali tidak mengenal konservasi. Bahkan, dia justru termasuk bagian dari tangan-tangan yang merusak alam, terutama laut Kofiau.
Pada dekade 1980-an hingga awal 2000-an, praktik penangkapan ikan dengan cara-cara merusak marak terjadi di Kofiau, termasuk penggunaan bom dan potasium (bius ikan). Nixon pun mengakui tak luput dari masa kelam itu. Saat itu, dia belum menjadi guru. Pekerjaannya menggarap kebun keluarga dan mencari ikan untuk konsumsi sehari-hari.
Tahun 2004, lembaga swadaya konservasi nonprofit The Nature Conservancy (TNC) masuk ke Kofiau membawa misi mengajak warga menjaga kelestarian laut. Seperti banyak warga kampung lainnya, Nixon awalnya memandang curiga atas kehadiran lembaga itu.
“Waktu TNC sosialisasi, kami sempat protes. Kami curiga mereka mau larang warga mengolah laut dan tangkap ikan,” kata Nixon.
Waktu TNC sosialisasi, kami sempat protes. Kami curiga mereka mau larang warga mengolah laut dan tangkap ikan.
Meski menentang kehadiran TNC, Nixon terus mengikuti kegiatan-kegiatan sosialisasi tersebut. Seiring waktu, dia pun mengerti bahwa program itu bukan bermaksud melarang masyarakat menangkap ikan, melainkan mengubah cara tangkapnya saja sehingga laut tidak rusak.
Pemahaman soal konservasi itu pun kian kuat dalam diri Nixon ketika dia teringat akan ayat dalam Alkitab, pada Kitab Kejadian 1-2. “Ayat (dalam kitab) itu menjelaskan Tuhan menciptakan semua baik dan lengkap. Dari situ, saya sadar bahwa konservasi ini tujuannya baik untuk menjaga alam ciptaan Tuhan,” ujarnya.
Nixon pun kemudian bergabung dengan TNC sebagai fasilitator kampung pada tahun 2006. Saat itu, banyak tantangan yang dihadapinya, termasuk penolakan sejumlah warga untuk meninggalkan praktik-praktik buruk di laut. “Saya pernah dikejar-kejar orang dengan parang waktu sosialisasi,” katanya.
Namun, kondisi tersebut tak membuatnya kapok atau mundur. Malah, dia semakin termotivasi untuk mengajak warga berubah menuju kebaikan, termasuk dari kalangan keluarganya sendiri. Kegigihan itu secara bertahap mampu menekan praktik perikanan merusak di Kofiau.
Modul pengajaran
Pada 2007, Nixon mendapat tawaran menjadi guru honorer di SD YPK Ebenhaezer Kampung Dibalal, masih di Kofiau. Hal itu kian melapangkan jalannya untuk menyebarkan kesadaran konservasi pada masyarakat sejak usia dini.
Setahun kemudian, Nixon terpilih mengikuti pelatihan pembuatan modul pengajaran non-formal bertema lingkungan hidup yang digelar TNC bersama sejumlah mitra lain. Modul itu kemudian dipakai menjadi bahan ajar non-formal bagi anak-anak di Kofiau.
Dinas Pendidikan Kabupaten Raja Ampat lantas tertarik mengembangkan modul itu menjadi bahan ajar pendidikan formal tingkat SD. Pemkab bersama TNC dan unsur-unsur lain mulai menggarap modul bernama Pendidikan Lingkungan Hidup tersebut.
Nixon pun dilibatkan dalam tim penyusunan modul itu hingga akhirnya rampung dan digunakan sebagai materi muatan lokal kelas 4 dan 5 di seluruh kabupaten pada 2016. Setahun kemudian, penyusunan modul berlanjut untuk kelas 6 dengan tema Pariwisata dan Perubahan Iklim, yang diluncurkan pada 2018.
Nixon menceritakan, pada masa awal-awal mengajarkan pendidikan lingkungan hidup, baik formal maupun non-formal, anak-anak mengalami kesulitan karena merupakan pembelajaran baru. Secara bertahap, guru yang mendapat status PNS pada 2015 itu bisa mengatasi kendala tersebut.
Salah satunya dengan memakai bahasa daerah saat mengajar. Istilah-istilah rumit dan asing pun dicarikan padanannya dalam bahasa lokal sehingga lebih akrab dan mudah dicerna anak-anak. “Contohnya, konservasi diganti dengan sasi, karang diganti dengan koru, ikan diganti dengan iyen, bakau menjadi koer,” ucap Nixon.
Contohnya, konservasi diganti dengan sasi, karang diganti dengan koru, ikan diganti dengan iyen, bakau menjadi koer.
Hasilnya, anak-anak Kofiau kini banyak yang telah meresapi nilai dan arti penting konservasi. Bahkan, mereka beberapa kali juga melaporkan jika menemukan aktivitas yang merusak laut.
Nixon berharap anak-anak itu bisa menjalankan sekaligus kelak melanjutkan nilai-nilai konservasi kepada generasi selanjutnya. Dengan begitu, alam Kofiau yang indah dan kaya itu akan selalu terjaga sepanjang masa.
Biodata:
Nama: Nixon Watem
Tempat/tanggal lahir: Dibalal, 27 Oktober 1974
Pendidikan: SMA
Pekerjaan: Guru SD Negeri 28 Awat
Istri: Astuti Elsa Mambrasar
Anak:
1. Alferis Watem (15)
2. Rinelda Watem (13)
3. Zeth Rumbat Watem (10)
4. Fera Watem (7)
5. Noam Watem (5)