JAKARTA, KOMPAS
Pemerintah diminta memastikan agar akses masyarakat berpenghasilan rendah terhadap subsidi perumahan tetap terjaga. Kebijakan menaikkan batasan penghasilan dikhawatirkan membuat masyarakat berpenghasilan rendah tidak mampu mengakses rumah yang disediakan pengembang.
Data Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (PPDPP) yang dikutip Minggu (24/2/2019), menunjukkan, penerima subsidi perumahan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) pada 2010-2018 yang berprofesi pegawai negeri sipil sekitar 12,62 persen atau 72.942 unit. Adapun anggota TNI dan Polri sekitar 3,91 persen atau 22.609 unit.
Distribusi FLPP berdasarkan penghasilan -sejak 2010 hingga 18 Februari 2019- paling banyak untuk yang bergaji pokok Rp 1,5 juta-Rp 2,5 juta per bulan, yakni sekitar 50,05 persen dari total penerima FLPP. Adapun yang bergaji Rp 2,5 juta-Rp 3,5 juta per bulan sekitar 35,32 persen.
Pengajar Laboratorium Perumahan dan Permukiman Institut Teknologi Bandung M Jehansyah Siregar, berpendapat, rencana meningkatkan batasan penerima subsidi perumahan merupakan aspirasi pengembang. Sebab, minat masyarakat berpendapatan Rp 4 juta-Rp 8 juta per bulan untuk membeli rumah sangat besar.
“Permintaan pasarnya memang besar. Namun, pemerintah mesti menyikapinya dengan melihat atau mengevaluasi lebih dulu karena program subsidi perumahan ini semula dibuat untuk masyarakat berpenghasilan rendah,” kata Jehansyah.
Pemerintah berencana menaikkan batasan penghasilan maksimal kelompok sasaran kredit pemilikan rumah (KPR) subsidi dari Rp 4 juta menjadi Rp 8 juta. Dengan demikian, subsidi perumahan dari FLPP bisa diakses aparatur sipil negara (ASN) serta anggota TNI-dan Polri. ASN yang bisa mengakses subsidi perumahan adalah pegawai golongan I sampai dengan golongan III.
Menurut Jehansyah, negara wajib menjamin kesejahteraan ASN serta anggota TNI dan Polri saat mereka bertugas atau berdinas. Namun, hal ini sebenarnya bisa dipenuhi dengan memperbanyak rumah dinas, bukan rumah milik. Selain itu, anggota TNI semasa berdinas tinggal di rumah dinas atau barak. Dengan kata lain, yang diperlukan dalam menjamin kesejahteraan mereka adalah memperbanyak rumah dinas, seperti apartemen, bagi ASN yang bekerja di perkotaan.
Jika pemerintah ingin memastikan ASN dan anggota TNI dan Polri memiliki rumah setelah mereka pensiun, maka yang mesti dibuat adalah program kepemilikan rumah menjelang pensiun. Pemerintah bisa memberikan insentif khusus, seperti kemudahan mendapat lahan dan angsuran yang ringan, agar setelah pensiun mereka dapat menempati rumahnya sendiri.
Masalah berikutnya, lanjut Jehansyah, jika batasan penghasilan Rp 8 juta tersebut juga diterapkan bagi masyarakat umum, dikhawatirkan pengembang akan lebih banyak menyediakan rumah bagi yang berpenghasilan di atas Rp 4 juta daripada yang penghasilannya di bawah Rp 4 juta. Sebab, yang berlaku adalah mekanisme pasar.
“Kalau batasan penghasilan dinaikkan, harga rumah akan lebih tinggi. Dengan demikian, margin atau keuntungan yang didapat pengembang nanti bisa lebih besar,” ujar Jehansyah.
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia (REI) Totok Lusida menyebutkan, batasan penghasilan Rp 8 juta per bulan merupakan usulan dari REI. REI juga mengusulkan harga rumah dinaikkan mengikuti kenaikan batasan penghasilan. Harga maksimal yang diusulkan untuk rumah tapak Rp 250 juta per unit. (NAD)