JAKARTA, KOMPAS – Hampir setiap tahun, kasus demam berdarah Dengue (DBD) selalu muncul di wilayah DKI Jakarta. Kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) yang sesungguhnya dilakukan setiap tahun pun seolah tak berdampak. Aturan tegas yaitu Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Pengendalian Penyakit DBD masih menjadi macan kertas.
Seperti di negara maju, DKI Jakarta sebenarnya sudah memiliki aturan tegas Perda Nomor 6 Tahun 2007 tentang Pengendalian Penyakit DBD. Aturan itu mengatur secara detail kegiatan pencegahan DBD maupun sanksi bagi pengelola urusan kerumahtanggaan atau kebersihan yang melanggar. Pelanggaran yang dimaksud adalah jika selama program pemberantasan jentik berkala (PJB), selama 3 kali berturut-turut ditemukan jentik nyamuk Aedes Aegypti atau Aedes Albopictus. Pengelola urusan rumah tangga itu bisa dikenakan sanksi tegas yaitu denda paling banyak Rp 50 juta atau pidana kurungan paling lama dua bulan.
Para juru pemantau jentik (jumantik) di lapangan pun sudah menguasai aturan tersebut. Namun, dalam praktik di lapangan, aturan tegas itu belum bisa dilaksanakan. Hamzah, koordinator jumantik RW 004 Cilandak Barat, Cilandak, Jakarta Selatan mengatakan selama ini yang baru bisa diterapkan adalah teguran dan penempelan stiker di rumah warga yang kedapatan ada jentik nyamuk. Sanksi uang juga sudah diterapkan tetapi hanya sesuai kesepakatan warga. Di Cilandak Barat, nilai sanksi yang diterapkan baru Rp 50.000-Rp 100.000. Sanksi akan dimasukkan ke dalam kas RW.
“Ya Alhamdulillah selama ini belum ada yang sampai ketahuan ada jentik nyamuk sampai tiga kali berturut-turut saat pemantauan. Ada yang ketahuan pun paling baru ditempelin stiker dan denda Rp 100.000,” ujar Hamzah, Kamis (21/2/2019) lalu.
Hal senada juga diungkapkan oleh Martha Hiroshima, koordinator jumantik RW 005 Kelurahan Lenteng Agung, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Menurut Martha, kader memang sudah mengetahui soal aturan itu. Namun, aturan belum sepenuhnya bisa diterapkan karena dinilai memberatkan warga. Selama ini, pendekatan yang dilakukan oleh kader jumantik masih sebatas sosialisasi secara preventif dan persuasif. Jika memang ditemukan jentik nyamuk hingga 3x berturut-turut, yang akan turun ke lapangan adalah petugas kelurahan. Penegakan sanksi itu sudah tidak menjadi kewenangan dari jumantik.
“Kalau dendanya sampai sebesar itu saya rasa masih terlalu memberatkan ya. Kalau ada warga yang terkena DBD saja, biaya pengobatannya sudah mahal. Ini ditambah lagi denda yang besar kasihan,” ujar Martha.
Dalam Perda Nomor 6/2007 itu disebutkan, DBD merupakan penyakit menular yang pertama kali ditemukan di Jakarta pada tahun 1968 dan ditularkan secara cepat melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti serta Aedes Albopictus. Sebelum perda itu disahkan, kasus DBD cenderung meningkat dari tahun ke tahun bahkan berpotensi menjadi Kejadian Luar Biasa (KLB). DKI Jakarta juga dinyatakan sebagai daerah endemis DBD karena wilayahnya termasuk memiliki kelembaban udara yang tinggi.
Oleh karena itu, salah satu upaya yang dinilai tepat untuk menganggulangi kasus DBD ini adalah melalui pengendalian perkembangbiakan nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus di seluruh tatanan kehidupan masyarakat. Pemerintah daerah dan masyarakat memiliki kewenangan yang sama untuk memberantas nyamuk dan jentik nyamuk. Namun, apakah selama upaya tersebut sudah optimal?
Pada awal tahun 2019 ini, kasus DBD di ibu kota masih cukup tinggi yaitu mencapai 613 kasus atau bertambah 146 kasus dalam empat hari. Jika dirata-rata, 22 orang terjangkit DBD dalam sehari. Pada Februari ini, angka DBD memang sudah menurun dibandingkan Januari lalu. Namun tetap saja, Jakarta merupakan daerah endemis DBD. Pada tahun 2018, tercatat ada 2.947 kasus dengan dua kasus kematian. Periode Januari-Maret atau tuga bulan pada puncak musim hujan itu diprediksi akan menjadi potensi meningkatnya kasus DBD. Oleh karena itu Dinas Kesehatan DKI Jakarta menyatakan Jakarta waspada KLB DBD, (Kompas, 29 Januari 2019).
Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Sudin Kesehatan Jaksel Fatmiaty, Minggu (24/2/2019) mengatakan, penegakan Perda Nomor 6/2007 ada di tangan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol) PP bukan Dinas Kesehatan. Sudin Kesehatan hanya melakukan tugas pokok dan fungsinya seperti pencegahan dan penanganan DBD. Selama ini, Dinkes juga sudah memberikan stiker peringatan yang bisa ditempel di rumah yang kedapatan ada jentik selama 2 kali berturut-turut.
Menurut Fatmiaty, dalam semangat mencegah DBD, aturan tersebut sangat bagus dan bisa memberikan efek jera bagi masyarakat. Jika bisa diterapkan, hal itu dapat mendorong kesadaran masyarakat untuk lebih sadar menjaga kebersihan lingkungannya. Sebab, untuk mencegah DBD tidak bisa sendirian, tetapi harus dilakukan secara kolektif lingkungan.
“Kalau bisa diterapkan bagus sekali karena bisa mendorong masyarakat untuk lebih sadar dan peka menjaga lingkungannya,” ujar Fatmiaty.
Sementara itu, Wakil Wali Kota Jakarta Selatan Arifin menambahkan, saat ini strategi yang diterapkan di lapangan masih bersifat persuasif, dan dialog yang bersifat edukatif. Namun, memang sudah ada beberapa wilayah yang menerapkan denda sesuai kesepakatan dari pengurus wilayah seperti RW. Besaran denda ditetapkan sesuai kesepakatan warga.
“Kalau bisa diterapkan, ya bagus. Karena bisa meningkatkan kesadaran kolektif masyarakat. Itu kan yang selama ini kami sasar sehingga strateginya adalah pendekatan yang persuasif dan edukatif,” kata Arifin.