Pierre Tendean Bisa Jadi Teladan Generasi Milenial
Oleh
Fajar Ramadhan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kapten (Anumerta) Pierre Andries Tendean, sebagai pahlawan nasional, dapat memberi teladan bagi generasi milenial masa kini. Sikap kesetiaan dan rela berkorban yang menonjol dari pribadinya dinilai relevan dengan masa kini.
Buku biografi Pierre Tendean berjudul "Sang Patriot, Kisah Seorang Pahlawan Revolusi" resmi diluncurkan di Perpustakaan Nasional Jakarta, Senin (25/2/2019) siang. Buku setebal 344 halaman ini diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas.
Wakil Presiden ke-6 RI Try Sutrisno mengatakan, sebagai ajudan dari Jenderal AH Nasution, Pierre memiliki kesetiaan, loyalitas, dan tanggung jawab yang tinggi. Teladan ini tidak hanya bisa dicontohi oleh profesi tentara saja, melainkan bagi banyak profesi.
“Apapun profesinya, kita adalah bangsa pejuang. Bangsa pejuang itu gemar bersatu, rela berkorban, pantang menyerah dan kokoh semangatnya. Khususnya bagi milenial,” ujar Try.
Nama Pierre dikenang sebagai salah satu dari tujuh perwira tinggi TNI yang diculik dan dibunuh dalam operasi ‘Gerakan 30 September’ oleh Pasukan Tjakrabirawa pada 1965.
Menurut keterangan sejumlah saksi dalam buku biografi di atas, Pierre diduga sengaja menyerahkan dirinya untuk menyelamatkan Jenderal Abdul Haris Nasution dari penculikan tersebut.
Lima hari berselang, Pierre ditemukan sudah tak bernyawa bersama enam jenderal lainnya di salah satu sumur tua di Lubang Buaya, Cipayung, Jakarta Timur. Pierre gugur dalam usia yang masih terbilang muda, yakni 26 tahun. Namanya kemudian dikenang sebagai pahlawan revolusi.
“Generasi muda perlu dikobarkan semangat kesetiaan dari Tendean ini. Mengingat, ke depan tantangan Indonesia masih besar,” kata Try.
Menurut Try, jika sifat-sifat teladan dari Pierre mampu dibina secara terus menerus, bangsa Indonesia tentu akan hidup dalam kekompakan. Sifat kesetiaan kepada bangsa bisa mengantarkan Indonesia pada kebersamaan dan persatuan.
Salah satu rekan Pierre di akademi militer, Brigadir Jenderal (Purnawirawan) HM Effendi Ritonga mengatakan, Pierre adalah pemuda yang mampu memisahkan sesuatu yang harus dilakukan dan ditinggalkan.
Sebagai seorang keturunan Belanda yang rupawan, Pierre pernah diperebutkan oleh lima gadis SMA sekaligus, namun semuanya diabaikan. “Satupun tidak ada yang saya terima, karena kita sedang belajar untuk menyelesaikan akademi militer,” ungkap Effendi menirukan ucapan Pierre kepadanya.
Dalam buku biografinya juga dikisahkan bahwa kesetiaan Pierre juga diperlihatkan dalam hubungan asmaranya. Saat menjalani tugas selama enam bulan di Medan pada 1963, ia menjalin kasih dengan Nurindah Rukmini Chamim.
Mereka lantas menjalin hubungan jarak jauh lantaran Pierre harus melanjutkan pendidikan ke intelijen Bogor. Sayangnya, kesetiaannya pada Rukmini harus dipisahkan dengan maut, dua bulan sebelum pernikahan mereka.
Penulis Buku "Sang Patriot, Kisah Seorang Pahlawan Revolusi" Abie Besman mengatakan, Pierre bisa dianggap sebagai sebuah perwujudan dari milenial yang ideal pada era-nya. Ia adalah sosok yang pintar, tampan, dan berjiwa nasionalis. Tantangan selanjutnya ialah menyebarkan buku ini sehingga masyarakat, khususnya generasi muda mampu meneladani patriotisme Pierre.
“Seperti ini seharusnya anak muda. Hidup dengan tujuan dan keyakinannya. Selain itu juga berkontribusi bagi negara,” kata Abie.
Sementara itu, Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas, Mohammad Bakir dalam sambutannya mengatakan, pengorbanan Pierre yang besar bisa menjadi jawaban di tengah minimnya contoh baik kini. “Semoga nilai-nilai baik ini bisa ditularkan kepada bangsa,” katanya.(FAJAR RAMADHAN)