Potensi Golput Tinggi di Jawa, Luar Jawa Hanya di Bawah 1 Persen
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
SLEMAN, KOMPAS — Golongan putih atau sikap untuk tidak menggunakan hak suara dalam pemilihan umum banyak diwacanakan terutama di Jawa. Hal itu juga terpantau dalam sejumlah cuitan di media sosial. Ajakan untuk tidak menggunakan hak pilih harus dicegah karena tampak ada upaya mendelegitimasi demokrasi.
Temuan itu diperoleh lewat analisis big data yang dilakukan Departemen Politik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (DPP Fisipol UGM). Penelitian terhadap isu golput di media sosial Twitter dan pemberitaan media daring dilakukan pada rentang waktu 27 Januari-19 Februari 2019.
Dalam kurun waktu itu, terhitung ada sekitar 2.840 percakapan mengenai isu golput melalui media sosial. Secara geografis, percakapan tentang isu tersebut paling banyak dilakukan di Jawa Barat dengan persentase 21,60 persen. Menyusul DKI Jakarta dengan persentase 14,94 persen dan Jawa Timur 14,64 persen.
Sementara itu, Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) persentasenya berkisar 9 persen, sedangkan di pulau lain angkanya masih di bawah 1 persen.
”Berdasarkan sebarannya, memang cenderung bersifat Jawa-sentris. Persebaran percakapan soal golput itu terkonsentrasi di Pulau Jawa,” kata Arya Budi, dosen DPP Fisipol UGM, Senin (25/2/2019).
Arya mengatakan, salah satu alasan golput banyak diperbincangkan adalah bertepatan dengan momen politik, yaitu debat pemilihan presiden. Pada 17 Februari 2019 menuju 18 Februari 2019, terjadi peningkatan signifikan mengenai cuitan yang membahas golput. Jumlah cuitannya naik dari 63 percakapan menjadi 718 percakapan dalam kurun waktu tersebut.
”Ada momentum politik yang pas. Bisa jadi sebagian merasa tidak cocok dengan apa yang disampaikan kedua kandidat sehingga memicu munculnya percakapan tentang golput,” ujar Arya.
Selain itu, ditemukan dari total 2.840 percakapan mengenai golput terdapat 269 percakapan berupa ajakan atau kampanye golput yang disampaikan. Percakapan itu dimulai oleh akun-akun anonim yang terkesan sengaja dibuat untuk mengampanyekan golput.
”Siapa akun-akun ini tidak bisa dipastikan karena sifatnya yang anonim. Tetapi, akun-akun tersebut memang dikelola oleh orang asli. Hasil analisis kami memang menemukan adanya akun yang memang dibuat berkampanye soal golput,” tutur Arya.
Wawan Mas’udi, Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Fisipol UGM, mengungkapkan, ekspresi golput itu muncul akibat ada perasaan tidak puas terhadap kandidat yang bakal bersaing dalam pemilu nanti. Para kandidat dianggap memiliki kelemahan mendasar sehingga tidak bisa memenuhi keinginan pemilih.
”Tidak ada alternatif kandidat yang cukup bisa mewakili kepentingan masyarakat. Kandidat yang ada dianggap sama-sama memiliki kelemahan mendasar. Suasana dilematis ini muncul ketika kedua calon dianggap tidak sesuai dengan kepentingan atau aspirasi utama dari pemilihnya,” tutur Wawan.
Wawan mengkhawatirkan, jika keinginan untuk golput makin tinggi, hal itu membahayakan proses demokratisasi di negara ini yang sedang mengalami pendewasaan. Lembaga publik seolah digerus legitimasinya dengan adanya ajakan oknum untuk tidak memilih dalam pemilu.
”Partisipasi pemilih merupakan tiang pancang dalam demokrasi. Artinya, ketika partisipasi memilih ini kuat, tiang pancang atas demokratisasi ini kian kuat. Jika partisipasi memilih turun, ini jadi ancaman bagi proses demokratisasi yang sedang berlangsung,” ucap Wawan.
Ia menyebutkan, ekspresi ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga publik memang tidak muncul mentereng di permukaan. Namun, itu ada di benak sejumlah kelompok masyarakat. Tersiarnya kabar bohong tentang keberpihakan lembaga pemilu terhadap salah satu kandidat menjadi contoh yang jelas.
”Kita perlu bersama-sama mendudukkan isu ini secara serius. Sadar atau tidak sadar, ada ekspresi yang menunjukkan ketidakpercayaan. Kabar hoaks tentang surat suara, misalnya. Itu menunjukkan upaya untuk mendelegitimasi sistem pemilihan kita,” kata Wawan.