Redup Jantung Kota Tangerang
Kota Tangerang berusia 26 tahun pada 28 Februari 2019. Sayangnya, pusat kota yang seharusnya menjadi jantung Tangerang sekaligus saksi sejarah kemasyhuran Tangerang ini, tengah kehilangan rohnya.
Kota Tangerang berusia 26 tahun pada 28 Februari 2019. Sayangnya, pusat kota yang seharusnya menjadi jantung Tangerang sekaligus saksi sejarah kemasyhuran Tangerang ini, tengah kehilangan rohnya.
Cerita tentang Tangerang pernah ditulis majalah Sin Po tanggal 7 Februari 1840. Selebaran berwarna kuning kecoklatan (menandakan dokumen sudah tua) terpajang di Museum Benteng Heritage, museum peranakan Tionghoa pertama di Indonesia, di Jalan Cilame, Kelurahan Sukasari, Kecamatan Tangerang, Kota Tangerang.
Selebaran itu menjadi mengisahkan Tangerang di masa lampau :
"Tangerang jang ketjapnya sampai diseboet dalam Encyclopaedie Ned. Indie, dan dimana pesta Pee tjoen saban taon dirajaken dengan rame, ada sagoendoekan roemah-roemah toea, dengan passer sama antieknja seperti lood–pasar di Serpong.
Tapi Tangerang kasi liat pemandangan rame dan meresep, dengan banjak sekali sado-sado, dan perhoeboengan opelette dan bus jang rame dengan Betawi dan Serang.
Pasar Penoe dengan djagoeng, tapi kita tidak dapet liat topi pandan boeatan Tangerang, jang kesohor sampe di benoea Amerika. Pengidoepan di Tangerang pasti banjak dipengaroekan oleh Kali Cisadane. Tangerang kirim ke Betawi pasir dan kerikil Tjisadane. Ini doea benda mengambil tempat paling depandalem hal pengangkoetan Tangerang – Betawi. Pasir dan kerikil diangkoet dengan kreta api, djoega dengan praoe."
Cerita ini menggambarkan, sejak dulu pusat kegiatan perekonomian Tangerang bertumpu di sekitar kawasan Pasar Lama, Pendopo Tangerang, Stasiun Kereta Api Tangerang.
Di belakang Pasar Lama dan Pendopo Tangerang terdapat Sungai Cisadane, yang menjadi sarana pengangkutan berbagai produk dan komoditas dari Tangerang ke Batavia atau Betawi. Di samping kiri pendopo, dulunya terdapat gudang yang menampung pasir dan kerikil. Rel kereta sampai ke depo penampungan ini untuk mengangkut pasir, kerikil, serta penumpang.
Gudang itu sempat menjadi gedung DPRD Kabupaten Tangerang. Setelah pusat pemerintahan Kabupaten Tangerang pindah ke Tigaraksa, bangunan itu masih digunakan untuk beragam kegiatan termasuk dari Dharma Wanita Kabupaten Tangerang. Di kawasan itu juga terdapat sebuah pos polisi kecil yang disebut pocis dan benteng yang menjadi tempat tahanan atau penjara. Di samping bangunan ini terdapat bangunan masjid agung.
Pusat kegiatan
Sebagai penanda pusat kota adalah alun-alun. Alun-alun itu terdapat di Jalan Ki Asnawi, yang kini menjadi Gelanggang Olah Raga (GOR).
Wali Kota Tangerang periode 1998–2003, Mochammad Thamrin membenarkan, pada zaman Belanda, di pusat kota itu terdapat pendopo, masjid, penjara, dan alun-alun.
Saat itu, di seberang pendopo dan stasiun kereta api, terdapat tempat pangkalan oplet.
Budayawan dan pemerhati sosial Udaya Halim (65) menambahkan, kawasan segitiga ini juga merupakan pusat kota Tangerang. “Jika mengacu sejarah, pusat Kota Tangerang berada di kawasan Pasar Lama, Pendopo, dan stasiun kereta.”
Udaya menunjukkan titik nol di ujung Jalan Cilame, tepatnya di ujung sisi kanan Pendopo Tangerang. Di titik itu, terdapat apotek Benteng yang lokasinya segaris lurus dengan Museum Benteng Heritage dan Boen Tek Bio, klenteng tertua di Tangerang dan Banten (sekitar 50 sampai 75 meter).
Urat nadi jalanan pusat kota itu, kata Udaya, terletak di Jalan Daan Mogot dari arah Grogol sampai Jalan Kisamaun sepanjang 26 kilometer, dengan titik nol ada di pendopo. Orang dari Grogol (Betawi) yang mau ke Tangerang akan turun hingga ujung di Pendopo.
Selanjutnya, jalan alternatif menghindari pusat kota, yakni dari Jalan Ahmad Yani menuju Soleh Ali (sebelum dibangun ring road di Kota Tangerang). Juga Jalan Ki Asnawi ke Pasar Anyar menuju jalan pangkalan yang merupakan tempat oplet mangkal.
Dalam Majalah Suara Baba “Exploring the roots of Peranakan” cetakan 23-25 November 2018 halaman 47, kawasan Pasar Lama bukan saja pernah menjadi pusat perniagaan di Kota Tangerang, tetapi juga merupakan cikal bakal berdirinya Kota Tangerang.
Hampir setiap orang Tangerang tahu pusat Kota Tangerang disebut Benteng. Sebagai bukti sejarah, pal kota yang berfungsi sebagai titik nol berada di ujung Jalan Cilame, yang merupakan salah satu pintu masuk ke Pasar Lama, di sisi kiri gerbang utama. Jarak titik nol ini hanya sekitar dua meter dari ujung sisi kanan Pendopo Tangerang. Hingga kini, Pendopo Kabupaten Tangerang di Kota Tangerang belum diserahterimakan dari Pemkab Tangerang ke Pemkot Tangerang.
Selama ini, kata Udaya, Tangerang kehilangan pusat atau jantung kotanya. “Pusat Kota Tangerang ini mati. Yang seharusnya, pusat kota jadi kebanggaan, tetapi itu tidak terjadi,” jelas Udaya.
Seperti terlihat di Jalan Ahmad Yani yang mati. Padahal, dulunya kawasan itu adalah sentra perdagangan. “Jantung kota Tangerang tidur terlalu lama. Tidak ada rohnya lagi,” kata Udaya.
Udaya punya kenangan semasa kecil. Ia sering ikutan balapan motor mulai dari jalan depan rumah sakit ke arah Pasar Anyar. Selanjutnya, belok kanan ke Jalan Ki Asnawi, belok kiri ke Jalan Ki Samaun dan putar di jalan depan Pendopo (tugu jam) dan balik lagi ke depan Masjid Agung dan balik lagi ke Pasar Anyar menuju Jalan Ahmad Yani.
Udaya mengatakan, pusat pemerintahan dan pusat kota berbeda.
Baik Thamrin dan Udaya mengatakan, sebaiknya Pendopo Tangerang menjadi Museum Tangerang Raya.
Menurut Udaya, bangunan eks DPRD Kabupaten Tangerang sebaiknya dibangun kawasan terbuka dan kawasan parkir yang terintegrasi dengan stasiun kereta api yang ada di depannya. Di sisi kiri dan kanan stasiun, yang sekarang ini sebagai lahan parkir dibangun tempat parkir dan tempat perekonomial dan terintegrasi dengan bangunan di seberangnya, eks DPRD Kabupaten.
Thamrin berangan-angan, Pemerintah Kota Tangerang menata kembali kawasan Pasar Lama menjadi kawasan pecinan yang mirip dengan Malioboro. Bangunan yang ada dalam kawasan pasar lama ini dibuat seragam dengan mencerminkan bangunan khas pecinan.
“Bangunan yang ada sekarang mundur sekitar dua meter dan dibangun pedestrian untuk pejalan kaki. Serta penataan pedagang makanan skala kaki lima di kawasan itu,” kata Thamrin.
Untuk itu, lanjut Thamrin, Pemerintah Kota harus mengumpulkan, bertemu dan berbicara dengan pemilik bangunan di kawasan itu. Selanjutnya, pemerintah kota memberikan kelonggaran mengurus izin mendirikan bangunan gratis untuk bangunan seragam tersebut.
Titik nol
Pada pertengahan abad XV, masa kolonialisme Belanda, Sultan Banten mengangkat tiga Aria/maulana yang merupakan kerabat jauh Sultan dari Kerajaan Sumedang Larang bernama Yudhanegara, Wangsakara, dan Santika.
Mereka bertiga membantu perekonomian Kesultanan Banten dengan melakukan pelawanan terhadap VOC dengan praktik monopolinya.
Dalam perjuangannya, ketiga maulana ini membangun banteng pertahanan yang disebutdengan istilah Benteng atau Bentengan. Hal ini turut mendasari sebutan Kota Tangerang yang dikenal dengan sebutan kota Benteng.
Mengenai titik nol ini, dalam Profil Kota Tangerang “Kebersamaan dalam Keberagaman 2019 di halaman 3, disebutkan, nama Tangerang berasal dari sebutan masyarakat sekitar terhadap bangunan tugu dengan tinggi kira-kira 2,5 meter yang didirikan Pangeran Soegiri, Pustra Sultan Agung Tirtayasa dari Kesultanan Banten. Bersama warga sekitar, pada tanggal 5 Sapar Tahun Wawu (sekitar tahun 1654 Masehi), yang terletak kira-kira 500 meter di tepi barat bantaran Sungai Cisadane, tepatnya di Gardu Gede yang kini dikenal dengan nama Kampung Gerendeng.
Tugu itu berfungsi sebagai pembatas atau penanda wilayah kekuasaan Kesultanan Banten di sebelah barat Sungai Cisadane dengan wilayah yang dikuasai VOC di sebelah timur. Atas dasar fungsi itu, masyarakat menyebut tugu dan daerah itu dengan sebutan Tetengger atau Tanggeran yang berarti penanda.
“Dari dulu, sejak jaman VOC dan sampai sekarang, warga di Gerendeng tidak pernah menyatu dengan warga seberang kali (sisi timur Sungai Cisadane),” kata Tokoh Masyarakat Gerendeng, Yunus Muchtar (70), Kamis (21/2/2019) malam.
Peristiwa ini terjadi berawal dari pasca penandatanganan perjanjian antara VOC dengan Kesultanan Banten yang diwakili Sultan Haji atau Sultan Abunnashri Abdulkahar putra Sultan Ageng Tirtayasa, pewaris kesultanan Banten, tanggal 17 April 1684. Saat itu, Belanda sepenuhnya menguasai wilayah Tanggeran.
Dalam penguasaannya, tentara Belanda merekrut warga pribumi di antaranya dari Madura dan Makasar (sekarang menjadi Makassar). Mereka ditempatkan antara lain di sekitar wilayah banteng. Tentara VOC yang berasal dari Makasar tidak mengenal huruf mati, dan terbiasa menyebut Tanggeran dengan Tanggerang. Kesalahan ejaan dan dialek inilah yang diwariskan dari generasi ke generasi, bahkan hingga kini.
Saat ini, sisa bentengan itu berada di beberapa titik di bawah permukaan air di sungai Cisadane terkikis oleh permukaan Sungai Cisadane yang semakin melebar.
“Sekitar tahun 1970, saat paceklik, warga menggempur dan mengambil besi dan puing-puing banteng yang berada di daerah seberang kali. Sekarang, sisa bangunan banteng itu sudah berdiri Ramayanan, Robinson,” kata Yunus.
Bekas puing-puing banteng lainnya sebagian berada dalam dasar Sungai Cisdane. Yunus menceritakan, pada tahun 1980, saat revitalisasi Pintu Air Sepuluh, tempat mengontrol debit air Sungai Cisadane, air sungai kering dan terlihat puing-puing benteng.
“Sekarang, puing-puing benteng itu tidak terlihat karena berada dalam sungai,” kata Yunus, yang kesehariannya menjadi pedagang sate manis khas Gerendeng di Taman Jajan Gerendeng, pinggir Sungai Cisadane.