LONDON, SENIN – Kekalahan dari Manchester City di final Piala Liga Inggris, Senin (25/2/2019) dini hari WIB menyingkap masalah laten, yaitu prahara, di internal Chelsea. Prahara itu terlihat dari “pemberontakan” kiper Chelsea, Kepa Arrizabalaga, saat hendak ditarik keluar Manajer Chelsea Maurizio Sarri pada laga di Stadon Wembley, London, itu.
Puja-puji memang menjadi milik City, yang berhasil meraih trofi pertamanya itu di musim ini sekaligus menjaga kans menyapu empat gelar alias quadruple. Namun, perhatian publik Inggris justru tersita pada insiden kekacauan di akhir babak perpanjangan waktu laga itu. Kedua tim bermain imbang 0-0 di waktu normal, sehingga laga itu harus dilanjutkan ke babak tambahan waktu 2x15 menit.
Kekacauan di tepi lapangan itu dipicu penolakan Arrizabalaga saat hendak digantikan kiper kedua Chelsea, Willy Caballero. Padahal, Caballero—mantan kiper City—telah bersiap di pinggir lapangan. Ofisial pertandingan pun telah memasang nomor punggung kedua kiper itu di papan elektronik untuk mengumumkan pergantian. Namun, Arrizabalaga, bergeming di lapangan.
Melihat kejadian itu, Sarri—yang memerintahkan pergantian itu—lantas mengamuk. Wajahnya seketika memerah. Ia lantas turun ke pinggir lapangan seraya merobek kerah jaket untuk menunjukkan amarahnya. Namun, Arrizabalaga tetap menolak keluar. Kiper termahal dunia dengan harga 80 juta euro alias Rp 1,2 triliun itu, memimpin timnya dalam adu penalti yang berakhir 4-3 untuk kemenangan City itu.
Bukan tanpa alasan Sarri hendak menarik kiper mudanya itu. Ia mengira Arrizabalaga mengalami kram parah. Kiper Spanyol itu memang sempat dirawat tim medis selama dua kali di laga itu. Sarri hendak memasukkan Caballero karena ia punya pengalaman dan rekam jejak bagus dalam adu penalti. Ia membantu bekas timnya, City, menjuarai Piala Liga pada 2016. Saat itu, ia menepis tiga penalti dari tim lawan, Liverpool.
Caballero juga menjadi pahlawan Chelsea saat menyingkirkan Norwich City pada adu penalti di babak ketiga Piala FA pada musim lalu. “Saya tahu betul hebatnya Caballero di adu penalti. Saya pribadi tidak ingin dia masuk. Syukurlah, itu akhirnya tidak terjadi,” ujar kapten tim City, Vincent Kompany, seusai laga itu.
Arrizabalaga menolak ditarik karena merasa siap dengan adu penalti itu dan tidak lagi merasakan kram. Ia pun berhasil menggagalkan eksekusi penalti dari seorang pemain City, Leroy Sane. Namun, sayangnya, ia gagal menepis empat penalti lainnya, termasuk tembakan lemah Sergio Aguero. Chelsea pun gagal meraih trofi.
Lebih buruk lagi, Sarri kehilangan trofi untuk kesekian kalinya. Belum sekali pun ia meraih trofi penting di kariernya. Tak ayal, ia kembali disorot media. Express menyebut drama di final Piala FA itu sebagai kehancuran kedua Sarri. Sebelumnya, Sarri dan Chelsea juga dihancurkan “The Citizens” 6-0 di ajang Liga Inggris, pada 10 Februari.
Menurut koran berpengaruh di Inggris, The Times, insiden di Wembley itu jauh lebih serius ketimbang digasak City 6-0. “Kali ini, Sarri dipermalukan pemainnya sendiri, yaitu Kepa Arrizabalaga. Kita sering menyaksikan pemain besar seperti Cristiano Ronaldo, Zlatan Ibrahiovic dan Wayne Rooney, yang marah saat diganti. Namun, tidak satu pun dari mereka menolak diganti seperti Arrizabalaga,” tulis Times.
Menurut Ryan Mason, pengamat yang juga mantan pemain Liga Inggris, penolakan Arrizabalaga mencerminkan masalah serius di The Blues. Ia menilai, Sarri telah kehilangan komandonya di tim tersebut. Kepemimpinan di Chelsea dianggapnya sangat lemah. “Insiden itu sangat memalukan dan tidak seharusnya terjadi di sepak bola. Kapten (Cesar) Azpilicueta bahkan tidak bertindak untuk menuntun Arrizabalaga keluar. Saya yakin, hal itu tidak bakal terjadi ketika John Terry (mantan kapten Chelsea) masih bermain,” ujarnya.
Nyaris mustahil
Di kubu sebaliknya, Manajer City Pep Guardiola tidak terlihat gembira seusai timnya mempertahankan trofi Piala Liga. Sebaliknya, ia khawatir. Trofi itu harus dibayar mahal City menyusul cederanya gelandang Fernandinho dan bek Aymeric Laporte. Padahal, City masih menjalani tiga kompetisi lainnya, yaitu Liga Inggris, Piala FA, dan Liga Champions. Mereka masih punya kans juara di ketiga kompetisi itu.
Menurut Steve Nicol, pengamat sepak bola di ESPN, nyaris mustahil City bisa meraih empat trofi sekaligus musim ini. “Ada alasan mengapa tidak satu pun tim pernah melakukan itu (meraih empat trofi semusim). Satu saja penampilan buruk seperti saat melawan Schalke (di babak 16 besar Liga Champions, pekan lalu) atau di Anfield musim lalu (kontra Liverpool), mimpi itu semua hilang,” ungkapnya.
Diakui Kevin De Bruyne, gelandang City, empat trofi semusim adalah sebuah angan-angan. Timnya tidak ingin terjebak mengejar angan-angan itu. “Yang perlu kami lakukan saat ini adalah fokus menatap laga ke laga, mengejar kemenangan demi kemenangan. Jika terus menang, pada akhirnya kami bisa ke sana (meraih trofi),” ujarnya. (AFP)