Literasi Keuangan Rendah, Jumlah Investor Saham Sedikit
Oleh
HARIS FIRDAUS
·5 menit baca
SLEMAN, KOMPAS — Jumlah investor di pasar modal Indonesia perlu terus ditingkatkan untuk mendorong pemerataan kesejahteraan dan meningkatkan daya tahan terhadap gejolak perekonomian global. Saat ini, jumlah investor pasar modal Tanah Air belum mencapai 1 persen dari total penduduk. Untuk meningkatkan jumlah investor, dibutuhkan sosialisasi mengenai pasar modal sejak dini.
”Jumlah investor kita masih sedikit, masih di bawah 1 persen dari jumlah penduduk,” kata Direktur Utama PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) Friderica Widyasari Dewi dalam diskusi bertema ”Upaya Peningkatan Jumlah Investor Daerah”, Senin (25/2/2019), di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Diskusi yang digelar atas kerja sama harian Kompas dan PT KSEI itu juga menghadirkan dua pembicara lain, yakni Kepala Kantor Perwakilan Bursa Efek Indonesia (BEI) Yogyakarta Irfan Noor Riza dan dosen Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM), Amiluhur Soeroso. Diskusi dimoderatori pengamat bursa saham Yudah Prakoso dan Kepala Perwakilan Kompas DIY Bambang Sigap Sumantri.
Berdasarkan data PT KSEI, jumlah investor di pasar modal Tanah Air pada tahun 2018 sebanyak 1.619.372 orang atau naik 44,24 persen dibandingkan jumlah investor tahun 2017 yang sebanyak 1.122.668 orang. Sementara itu, pada 31 Januari 2019, jumlah investor pasar modal Indonesia telah naik lagi menjadi 1.676.606 orang. Meski begitu, jumlah investor itu tidak sampai 1 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang sekitar 260 juta.
Friderica menilai, ada sejumlah faktor yang menyebabkan rendahnya jumlah investor di pasar modal Tanah Air. Faktor pertama adalah suku bunga di Indonesia yang cukup tinggi sehingga warga akan menikmati bunga tabungan cukup tinggi saat menyimpan uangnya di bank. Kondisi itu membuat banyak warga lebih memilih menyimpan uang di bank daripada melakukan investasi di pasar modal.
Faktor kedua adalah adanya persepsi di sebagian masyarakat bahwa investasi di pasar modal bertentangan dengan ajaran agama tertentu. Adapun faktor ketiga adalah rendahnya pemahaman masyarakat mengenai pasar modal. ”Literasi keuangan kita sangat rendah. Jadi, memang banyak masyarakat yang enggak tahu tentang produk-produk keuangan, apalagi pasar modal,” ujar Friderica.
Di sisi lain, banyak warga yang belum memiliki keinginan investasi karena menganggap penghasilan mereka sangat pas-pasan. Padahal, saat ini, investasi di pasar modal tidak membutuhkan dana besar. ”Dengan kemudahan yang kita berikan sekarang, siapa pun bisa investasi di pasar modal,” paparnya.
Friderica menyatakan, investasi di pasar modal sangat berpotensi mendorong pemerataan kesejahteraan di masyarakat. Hal ini karena masyarakat yang berinvestasi di pasar modal bisa menerima keuntungan saat harga saham yang mereka beli mengalami kenaikan. Di sisi lain, investasi di pasar modal juga akan meningkatkan kinerja perusahaan yang telah menjual sahamnya di bursa sehingga perusahaan tersebut bisa membuka lapangan pekerjaan baru.
Oleh karena itu, masyarakat perlu terus diedukasi agar makin banyak yang berinvestasi di pasar modal. Di sisi lain, peningkatan jumlah investor juga perlu dilakukan untuk meningkatkan kedalaman pasar modal nasional agar lebih kuat menghadapi gejolak perekonomian global.
Bertumbuh
Irfan mengatakan, selama beberapa tahun terakhir, jumlah investor saham di DIY tumbuh cukup baik. Pada tahun 2009, jumlah investor saham di DIY baru sekitar 900 orang. Namun, pada Januari 2019, jumlah investor saham di DIY telah mencapai 39.814 orang. ”Artinya, jumlah investor di DIY cukup bertumbuh,” katanya.
Ia memaparkan, pihaknya terus melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan jumlah investor di DIY, antara lain dengan sosialisasi ke desa dan sekolah. Menurut dia, sosialisasi dan edukasi mengenai pasar modal perlu dilakukan sejak dini, termasuk melalui pengajaran di sekolah. Hal ini agar kesadaran tentang pentingnya investasi sudah dimiliki masyarakat Indonesia sejak kecil.
”Di Jepang, sejak TK (taman kanak-kanak) sudah dikenalkan apa itu investasi. Di Indonesia, baru di kurikulum kelas II SMA ada pelajaran tentang investasi pasar modal. Kami berharap, nantinya pengenalan tentang investasi sudah masuk di tingkat pendidikan paling rendah di Indonesia, seperti PAUD (pendidikan anak usia dini), playgroup (kelompok bermain), dan TK,” kata Irfan.
Jumlah investor saham di DIY tumbuh cukup baik. Pada tahun 2009, jumlah investor saham di DIY baru sekitar 900 orang. Namun, pada Januari 2019, jumlah investor saham di DIY telah mencapai 39.814 orang.
Irfan menambahkan, sosialisasi tentang pasar modal perlu dilakukan sejak dini karena jumlah investor pasar modal di Indonesia masih kalah dibandingkan beberapa negara tetangga. Di Singapura, misalnya, jumlah investor saham mencapai 30 persen dari jumlah penduduk. Sementara itu, di Malaysia, jumlah investor sahamnya mencapai 12,8 persen dari total penduduk.
Sementara itu, Amiluhur menilai, ada sejumlah faktor yang menjadi tantangan peningkatan jumlah investor pasar modal di DIY. Salah satunya, berdasarkan data demografi, jumlah penduduk berusia 60 tahun ke atas ternyata cukup banyak di DIY. Padahal, kebanyakan orang berusia 60 tahun ke atas sudah tak produktif sehingga minat mereka untuk berinvestasi di pasar modal juga relatif rendah.
Selain itu, ia menambahkan, perekonomian di DIY selama ini ditopang oleh sektor informal, terutama dalam bentuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Di sisi lain, perekonomian DIY juga lebih banyak ditopang konsumsi rumah tangga, bukan investasi. Kondisi itulah yang perlu diperhatikan pemerintah saat berupaya menarik minat masyarakat DIY agar mau berinvestasi di pasar modal.
Amiluhur mengatakan, untuk menarik minat masyarakat DIY agar mau berinvestasi di pasar modal, perlu dilakukan sosialisasi dan edukasi dengan memperhatikan budaya setempat. Salah satu kultur yang harus diperhatikan adalah sikap kehati-hatian masyarakat Jawa, termasuk DIY. ”Orang Jawa, terutama orang Yogyakarta, itu prudent (hati-hati). Jadi, perlu literasi kultural,” ujarnya.