JAKARTA, KOMPAS – Sebanyak 492 anggota DPR RI yang kembali mencalonkan diri di Pemilu 2019 belum melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Akhir penyerahan laporan yang kini harus dilakukan secara periodik tersebut dibatasi hingga 31 Maret 2019.
Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), 40 anggota DPR yang sudah melaporkan kembali LHKPN periode 2018 sebelum tenggat waktu. Dari jumlah tersebut, tercatat 35 nama kembali mencalonkan diri untuk memperoleh kursi di DPR. Adapun dari total 560 orang anggota DPR periode 2014-2019, ada 527 anggota yang mencalonkan diri kembali di Pemilihan Umum 2019.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah, di Gedung KPK Jakarta, Senin (25/2) mengingatkan para anggota DPR untuk segera mengumpulkan LHKPN yang berisi jumlah harta kekayaan yang dimiliki hingga 2018 kepada KPK.
“KPK mengajak kembali agar pimpinan instansi atau lembaga negara segera mengintruksikan pada penyelenggara negara di jajarannya untuk melaporkan LHKPN sebelum tenggat waktu. Yang diserahkan tidak hanya penambahan tapi jumlah keseluruhan harta kekayaan hingga 2018,” ujar Febri.
Pasal 37 Ayat 1 Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, mencantumkan kewajiban melaporkan harta kekayaan kepada instansi yang berwenang memeriksa LHKPN wajib dilakukan oleh calon legislatif yang dinyatakan terpilih.
Kendati demikian, Febri menegaskan saat yang bersangkutan masih berstatus sebagai anggota DPR, mereka tetap wajib menyerahkan LHKPN secara periodik. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi anggota tersebut untuk melaporkan apabila terpilih kembali. Untuk itu, KPK berencana untuk kembali turun ke tiap instansi yang tingkat kepatuhan LHKPN masih rendah. Selain DPR, ada DPRD yang tingkat kepatuhannya hanya mencapai 10 persen. Dari 16.310 wajib lapor, tercatat 1.665 yang baru melapor.
Selama Januari dan Februari 2019, KPK sudah mendatangi 75 instansi untuk memberikan bimbingan teknis LHKPN, koordinasi dan rekonsiliasi data pelaporan LHKPN, hingga pelatihan LHKPN. Hal ini dilakukan agar para penyelenggara negara di berbagai lembaga bisa memahami kewajiban pelaporan LHKPN dan membantu jika ada kesulitan
“Jika perlu datang lagi, KPK juga akan lakukan. Misalnya, untuk DPR dan DPRD yang terhitung rendah kepatuhannya sejak tahun lalu sehingga bisa membantu penyelenggara di sana untuk lebih mudah melaporkan LHKPN,” kata Febri.
Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan, tingkat kepatuhan LHKPN anggota DPR untuk periode 2018 masih rendah karena saat ini DPR masih menjalani masa reses dan mayoritas anggota masih berada di daerah pemilihan untuk mengadakan kunjungan kerja. Apalagi, mayoritas anggota DPR juga kembali mencalonkan diri di pileg sehingga masih disibukkan dengan kampanye.
“Dengan begitu banyak agenda di masa reses dan jelang pemilu ini, hampir semua anggota DPR terpusat di daerah, tidak di Jakarta. Jadi, bisa dimaklumi kalau saat ini masih banyak anggota yang belum sempat lapor LHKPN,” katanya.
Bambang termasuk di antara anggota DPR yang belum melaporkan LHKPN periode 2018. Ia terakhir melaporkannya 31 Maret 2018 untuk pelaporan periode 2017. Ia mengaku menunggu laporan pajak dirampungkan awal Maret mendatang.
“Karena laporan LHKPN harus sesuai dengan laporan pajak. Kalau sudah selesai, tinggal input di klinik E-LHKPN di DPR, 10 menit selesai,” kata Bambang.
Ia memprediksi, dalam waktu dua pekan mendatang, anggota DPR akan berbondong-bondong melaporkan harta kekayaannya. Ia mengacu pada pencapaian di periode 2017, yang menunjukkan tingkat kepatuhan anggota DPR mencapai 96 persen. “Saya yakin sekarang juga tidak akan jauh berbeda tingkat kepatuhannya,” katanya.
Pantauan Kompas, akhir Januari 2019, kondisi klinik E-LHKPN di gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, sepi aktivitas. Selain tidak ada petugas yang menjaga, ruangan kecil untuk tempat melapor harta kekayaan wakil rakyat itu hanya berisi meja tanpa kursi dan sebuah papan ketik komputer yang tergeletak di lantai karpet.
Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar mengatakan, klinik itu tidak lagi beroperasi sejak April 2018, atau hanya dua bulan setelah diresmikan. Alasannya karena masa pelaporan LHKPN periode 2017 berakhir pada Maret 2018. (Kompas, 25/1/2019)
Secara terpisah, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Sjafrina menyampaikan, persoalan kepatuhan LHKPN menjadi salah satu topik yang patut disoroti untuk disebarluaskan ke masyarakat. Kepatuhan LHKPN ini juga bisa digunakan sebagai salah satu acuan untuk memilih caleg petahana.