Mematangkan Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah pusat dan daerah terus mematangkan Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan atau RAN-KSB. Hal itu dibutuhkan Indonesia, utamanya untuk meningkatkan kesejahteraan petani, melawan kampanye hitam, dan mencegah deforestasi.
Salah satu fokus pematangan itu adalah sinergitas konkret antara pemerintah pusat dan 19 pemerintah daerah untuk mengerjakan Rencana Aksi Daerah Kelapa Sawit Berkelanjutan atau RAD-KSB.
Menurut rencana, RAD-KSB akan digarap di Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Jambi, Kalimantan Selatan, Aceh, Sumatera Barat, Bengkulu, Bangka Belitung, Lampung, Kalimantan Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Papua dan Papua Barat.
Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Kasdi Subagyono, Senin (25/2/2019), di Jakarta, mengatakan, sinergi tersebut harus konkret sehingga menghasilkan daftar isian pelaksana anggaran (DIPA) yang jelas. Semua mempunyai kewenangan masing-masing, seperti pemerintah pusat akan bertanggungjawab dalam perspektif regulasi, provinsi pada koordinasi, dan kabupaten dalam operasionalisasi.
”Sinergi yang terjalin tidak berhenti pada omongan saja, tetapi sampai pada tindak lanjut, seperti penganggran, perencanaan, sampai pada keputusan untuk bisa membuat kebijakan yang mendukung dalam operasionalisasinya,” kata Kasdi dalam lokakarya bertema ”Menyinergikan Rencana Aksi Kabupaten, Provinsi, dan Nasional untuk Pembangunan Kelapa Sawit Berkelanjutan dan Pencapaian SDGs”.
Lokakarya itu digelar oleh Forum Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (FoKSBI). FoKSBI merupakan pelaksana RAD-KSB yang merupakan turunan dari Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN-KSB). RAN-KSB itu dibuat untuk mendukung penerbitan Peraturan Presiden tentang Sistem Pembangunan Kelapa Sawit Berkelanjutan.
Menurut Kasdi, pemerintah terus mendorong kelapa sawit untuk mengejar target mandatori B100 (perluasan penggunaan biodiesel dari minyak sawit hingga 100 persen) dan meningkatkan kesejahteraan petani. Upaya itu dilakukan untuk meningkatkan profitabilitas melalui penyediaan benih unggul berkualitas guna meningkatkan produktivitas.
Peningkatan produktivitas sangat penting untuk mengurangi ekspansi lahan kelapa sawit. Di sisi lain, untuk memperluas area sawit tidak mudah karena berkaitan dengan status lahan.
”Jangan sampai menanam benih sawit di hutan produksi, kan tidak benar. Produktivitas dan status lahan sawit inilah yang akan terus dibenahi pemerintah,” katanya.
Baca juga: Pendataan Lahan Jadi Rencana Aksi Nasional
Peningkatan produktivitas sangat penting untuk mengurangi ekspansi lahan kelapa sawit. Di sisi lain, untuk memperluas area sawit tidak mudah karena berkaitan dengan status lahan.
Selain itu, lanjut Kasdi, pemerintah juga menggulirkan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang pada tahun ini seluas 200.000 hektar. Peremajaan tersebut nantinya akan dievaluasi setiap tahun untuk melihat perkembangannya.
Sementara Bupati Musi Banyuasin yang juga Ketua Umum Lingkar Temu Kabupaten Lestari Dodi Reza Alex mengatakan, dalam upaya pembangunan kelapa sawit berkelanjutan, kendala tersulit yang dihadapi adalah ketersediaan dan kelengkapan data.
”Data menjadi sangat krusial, tidak hanya dalam proses pemetaan masalah dan penyusunan peta jalan kelapa sawit berkelanjutan, tetapi dalam menentukan langkah-langkah strategis untuk merefleksikan kekhasan permasalahan,” ujarnya.
Data mengenai kepemilikan lahan, jumlah beserta lokasinya, hal tersebut juga nantinya akan memudahkan registrasi surat tanda daftar budidaya (STDB) dan surat pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup (SPPL), juga sertifikasi lahan petani. Selain itu, data mengenai legalitas dan pengelolaan, perbenihan, dan sebagainya yang berkaitan dengan produktivitas.
Hal serupa diutarakan Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Perekonomian Musdhalifah Machmud. Menurut dia, permasalahan kelapa sawit berkelanjutan memang cukup kompleks dan saling tumpang tindih.
Setiap daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten, harus mampu mengidentifikasi dan membuat implementasi program yang paling sesuai dengan kondisi di daerah masing-masing.
”Hal itu penting agar kelapa sawit tidak hanya berkontribusi terhadap ekonomi nasional saja, tetapi utamanya dapat meningkatkan kesejahteraan petani di Indonesia secara nyata,” ujarnya.
Pungutan ekspor CPO
Di sisi lain, sumber pendanaan pelaksanaan RAN-KSB juga terus dibahas. Pendanaan itu bisa bersumber dari anggaran pemerintah pusat dan daerah, serta Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Sumber dana BPDPKS bersumber pada pungutan ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan produk turunannya.
Pada saat harga CPO global yang masih bergejolak, pemerintah membuat kebijakan baru tentang pungutan ekspor CPO dan produk turunannya. Patokan pungutan itu adalah harga referensi CPO dan produk turunannya yang dikeluarkan pemerintah setiap bulan yang mengacu pada harga CPO dunia.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152 Tahun 2018 yang berlaku 4 Desember lalu, jika harga CPO dunia naik pada kisaran 570 hingga 619 dollar AS per ton, pungutan ekspor menjadi 25 dollar AS per ton. Jika harga dunia di atas 619 dollar AS per ton (normal), pungutan ekspor CPO kembali ke tarif 50 dollar AS per ton. Pungutan ekspor 0 dollar AS hanya jika di bawah 570 dollar AS per ton.
Baca juga: Skema Pungutan Ekspor Perlu Dievaluasi
Menurut Kasdi, posisi harga CPO menyentuh angka 595 dollar AS per ton, Senin. Harga tersebut akan menjadi pertimbangan mengenai dicabut atau tidaknya kebijakan pungutan ekspor sebesar 0 dollar AS.
Adapun Musdhalifah Machmud menambahkan, pemerintah akan mengkaji dan menganalisis apakah pungutan sebesar 0 dollar AS itu akan diubah atau tidak. Pemerintah baru akan memutuskannya pada minggu depan.
”Menteri Koordinator Bidang Perekonomian meminta ada pengkajian selama satu minggu,” ujar Kasdi. (FRANSISCA NATALIA ANGGRAENI)