Studi Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Monash University, Australia, menemukan, penetrasi pembangkit listrik dari energi terbarukan tidak akan mengganggu keandalan pasokan listrik di sistem Jawa-Bali. Selama ini, sumber energi terbarukan dari bayu atau surya dikenal tak stabil pasokan listriknya. Dengan alasan itu pula penetrasi energi terbarukan masih lambat dan pembangkit listrik berbahan bakar batubara lebih diandalkan.
Kajian itu menyebutkan, peran energi terbarukan bisa dilipatgandakan menjadi 43 persen dalam bauran energi nasional di 2025 atau hampir dua kali lipat dari rencana yang dipatok pemerintah, yakni 23 persen. Pertimbangannya, potensi tenaga surya, bayu, hidro, panas bumi, atau biomassa yang melimpah di Indonesia. Kombinasi energi terbarukan diperkirakan menghemat biaya sampai 10 miliar dollar AS dalam 10 tahun ke depan.
Kenapa bisa lebih hemat? Alam menyediakan semuanya. Tenaga bayu tak perlu dibeli. Begitu pula surya, hidro, atau panas bumi. Berbagai jenis sumber energi itu bukan komoditas yang bisa diperdagangkan sebagaimana halnya batubara atau minyak dan gas bumi. Listrik dari energi terbarukan juga bebas dari harga batubara dan minyak yang naik-turun.
Bagaimana dengan keandalan pasokan? Di Indonesia, matahari bersinar sepanjang tahun. Hanya saja, puncak penyinaran optimal yang bisa dipakai sebagai sumber tenaga listrik berdasar sejumlah penelitian lebih kurang empat jam. Namun, belum termasuk kendala cuaca yang tengah mendung atau hujan lebat.
Begitu pula angin. Tak semua wilayah di Indonesia punya tiupan angin kencang yang mampu menggerakkan turbin. Seperti halnya pancaran surya, angin juga tak berhembus kencang selama 24 jam sehari dan tujuh hari sepekan. Hal ini menjadi alasan, pasokan tenaga bayu dan surya dinilai kurang andal.
Akan tetapi, seperti yang dilakukan sejumlah negara maju, kombinasi sumber energi terbarukan dengan energi fosil diperlukan. Hal ini menjadi amanat dalam kebijakan energi nasional di Indonesia. Untuk mencapai target 2025, peran energi terbarukan diharapkan 23 persen dalam bauran energi nasional yang saat ini masih kurang dari 8 persen. Selain itu, rencana ini tak semerta-merta menghapus peran batubara (energi fosil) yang pada 2025 masih mendapat porsi minimal 30 persen.
Idealisme mengoptimalkan sumber energi terbarukan bukan berarti membawa ancaman terhadap mata rantai bisnis batubara. Memang, batubara masih dominan dalam bauran energi pembangkit listrik di Indonesia, yaitu 60 persen. Pertanyaannya, apakah selamanya Indonesia akan bergantung pada batubara? Tidak mungkin. Sebab, sesuai sifatnya yang tak bisa diperbarui, suatu saat cadangan batubara di Indonesia akan habis tak bersisa.
Oleh karena itu, pemerintah tak bisa mengabaikan pengembangan energi terbarukan. Apalagi, pemerintah sudah menerbitkan aturan yang menetapkan angka-angka pencapaian berbagai sumber energi dalam bauran energi nasional. Pemerintah juga yang menandatangani kesepakatan Paris untuk menurunkan efek gas rumah kaca di 2015 lalu.
Persoalannya, kenapa pertumbuhan energi terbarukan masih lambat? Mengapa Indonesia belum mampu keluar dari zona nyaman energi fosil?
Yang nyata di depan mata adalah target 23 persen energi terbarukan di 2025 mesti dicapai. Jika tak tercapai, di mana persoalannya? Bagaimana jalan keluarnya? Itulah yang lebih butuh jawaban. Bukan saling beradu argumen jenis ini yang lebih baik atau jenis itu yang lebih andal. (Aris Prasetyo)