JAKARTA, KOMPAS – Tekanan likuiditas masih menghantui industri perbankan sejak akhir tahun lalu akibat laju penyaluran kredit lebih deras dibandingkan laju penghimpunan dana. Jika pengetatan likuiditas itu terus berlanjut, regulator telah menyiapkan ramuan mujarab guna mengantisipasinya.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menuturkan ada banyak cara untuk mengurangi tekanan likuiditas bila terus berlanjut. Namun ramuan untuk melonggarkan tersebut harus diberikan sesuai dosis yang dibutuhkan.
“Ada banyak cara untuk melonggarkan likuiditas, tergantung situasi dan kondisinya seperti apa nanti kita gunakan kadar yang paling tempat untuk mengobati likuiditas,” katanya saat mengunjungi redaksi Kompas, di Jakarta, Selasa (26/2/2019).
Sejumlah “obat” yang disiapkan diantaranya, memanfaatkan derasnya arus masuk modal asing ke instrumen portofolio awal tahun ini, memperbolehkan perbankan menggadaikan surat utang ke BI untuk mendapat likuiditas, hingga mengatur ulang porsi pemenuhan giro wajib minimum (GWM) rupiah.
"Untuk yang terakhir, hanya akan digunakan ketika benar-benar dibutuhkan. Kita pernah melakukannya ketika krisis 2008," kata Wimboh.
Mengacu pada data Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), per Desember 2018, LDR bank umum konvensional yang termasuk dalam kelompok usaha (BUKU) I mencapai 92,36 persen. Sementara, LDR pada BUKU II mencapai 95,58 persen. Adapun LDR BUKU III menembus 104,64 persen.
Sebanyak lima bank umum konvensional bermodal inti di atas Rp 30 triliun yang tergabung dalam BUKU IV memiliki loan to deposit ratio (LDR) sebesar 90,95 persen. Besaran LDR dari kelompok bank konvensional selain kelompok BUKU IV, berada di atas rasio batas aman yang ditetapkan Bank Indonesia (BI) sebesar 92 persen.
Kepala Ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, Anton Hermanto Gunawan mengatakan ada kemungkinan arus masuk modal portofolio membuat likuiditas perbankan sedikit melonggar.
“Secara logika itu bisa terjadi. Dana masuk dari luar dibelanjakan dalam bentuk saham atau bonds sehingga masuk ke dalam sistem perbankan,” ujarnya.
Dana simpanan
Wimboh mengatakan potensi pengetatan likuiditas terutama terjadi pada bank konvensional BUKU I dan BUKU II karena laju rasio penyaluran kredit terhadap dana melesat dalam beberapa bulan terakhir akhir tahun lalu.
Pengetatan likuiditas juga terjadi pada bank konvensional BUKU III akibat perlambatan penghimpunan dana.
“Ada perbaikan penghimpunan dalam beberapa waktu terakhir. Namun masih ada hambatan pada beberapa kelompok bank, khususnya kelompok bank BUKU I dan BUKU II. Tidak semua, hanya beberapa bank saja,” ujarnya.
Secara terpisah, Direktur Keuangan PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk, Iman Nugroho Soeko mengatakan obligasi ritel menimbulkan persaingan tambahan antara perbankan dan pemerintah dalam menghimpun dana simpanan.
Menurut dia, pergerakan bunga dana perbankan tahun ini bergantung pada likuiditas pasar keuangan mengingat Kementerian Keuangan akan menerbitkan lebih banyak surat berharga dengan imbal hasil yang menarik. “Dengan pemerintah masuk ke pasar, likuiditas bisa jadi lebih ketat,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur PT Bank Central Asia Tbk, Jahja Setiaatmadja, beberapa waktu lalu mengatakan karakteristik obligasi pemerintah, serta tawaran imbal hasil yang menggiurkan sedikit mengganggu pertumbuhan pendanaan dari deposito.
"Bagi nasabah ritel obligasi pemerintah punya daya tarik tersendiri karena menawarkan kupon lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata bunga deposito," ujarnya.
Berdasarkan Pusat Informasi Pasar Uang BI per 25 Februari 2019, rata-rata suku bunga deposito BTN sebesar 6,6 persen. Adapun rata-rata suku bunga deposito BCA sebesar 6,1 persen. Keduanya berada di bawah imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun saat ini imencapai 7,9 persen.
Konsolidasi
Wimboh menambahkan, pembicaraan mengenai konsolidasi perbankan sebagai solusi untuk menekan LDR telah dibicarakan dalam rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Namun, otoritas menginginkan konsolidasi itu terjadi karena kepentingan masing-masing bank, bukan karena diatur dalam regulasi.
“Bank kecil mencari mitra sesuai dengan kebutuhan jika merasa sudah tidak bisa bersaing. Dengan begitu, dapat melakukan efisiensi pada sistem teknologi dan jumlah pegawai sementara skala operasi menjadi lebih besar,”ujarnya.