Opsi Uji Materi Menguat
JAKARTA, KOMPAS – Opsi mengajukan uji materi Undang-undang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi untuk melindungi hak pilih pemilih tambahan yang berpotensi hilang kian menguat. Opsi itu dinilai memiliki resiko lebih kecil dan memerlukan upaya politik yang tidak terlalu besar guna memberikan kepastian hukum bagi KPU dalam mengambil langkah-langkah lanjutan guna melindungi hak pilih pemilih tambahan yang terkonsentrasi di sejumlah daerah.
Opsi lainnya, yakni pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) akan memerlukan lebih banyak upaya politik. Selain itu, penerbitan perppu dikhawatirkan menimbulkan berbagai kecurigaan yang terkait dengan kepentingan politik pemerintah maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
KPU ingin memininalisir terjadinya risiko politik, sehingga upaya KPU dalam melindungi hak pilih pemilih tambahan tidak dimaknai keliru oleh publik, apalagi dicurigai sebagai upaya ketidaknetralan. Di sisi lain, upaya hukum terus dilakukan KPU guna melindungi hak pilih warga negara dalam daftar pemilih tambahan (DPTb) yang terancam hilang lantaran potensi kekurangan surat suara di titik-titik tertentu.
Anggota KPU Viryan Aziz, Senin (25/2/2019) di Jakarta, mengatakan, ada tiga pihak yang berpotensi mengajukan uji materi. Pertama ialah KPU selaku penyelenggara pemilu; kedua, pemilih pindahan yang tercantum dalam DPTb dan hak pilihnya berpotensi hilang karena kekurangan surat suara; ketiga, KPU daerah atau panitia pemungutan suara (PPS).
Opsi untuk mengajukan uji materi ke MK dan mendorong pembentukan Perppu itu mengemuka setelah adanya kendala yang ditemui KPU berkaitan dengan menumpuknya jumlah pemilih pindahan yang terdaftar dalam DPTb di titik-titik tertentu. Penumpukan itu antara lain terjadi di institus-institusi pendidikan, pondok pesantren, lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan, serta perusahaan-perusahaan besar, terutama perusahaan tambang di daerah-daerah terpencil dengan akses yang jauh dengan tempat pemungutan suara (TPS) di sekitarnya.
KPU antara lain mendapatkan laporan adanya penumpukan pemilih pindahan di Teluk Bintuni, Papua Barat, di mana sebuah perusahaan tambang memiliki 8.000 pekerja. Dari 8.000 pekerja itu, 6.000 orang di antaranya adalah pemilih pindahan yang terdata dalam DPTb, dan mereka berpotensi kehilangan hak suaranya karena lokasi pabrik cukup jauh dari TPS terdekat. KPU mempertimbangkan untuk membentuk TPS baru di lokasi tersebut, tetapi belum ada payung hukum yang membolehkan KPU membuat TPS berdasarkan DPTb. UU Pemilu menyatakan pembentukan TPS berdasarkan daftar pemilih tetap (DPT), begitu pula untuk pencetakan surat suara.
Penumpukan lain juga ditemui di instiutusi-institusi pendidikan di mana jumlah DPTb melebihi ketersediaan surat suara cadangan yang dicetak 2 persen dari jumlah DPT. KPU menerima laporan dari KPU daerah adanya TPS-TPS yang jumlah DPTb melebihi 2 persen, sehingga bila tidak ada surat suara yang mencukupi, suara pemilih berpotensi hilang. Upaya pencetakan surat suara tambahan dipandang merupakan solusi, karena redistribusi surat suara dari TPS lain secara teknis sulit dilakukan. KPU juga menilai perpindahan surat suara merupakan isu yang sensitif.
“Awalnya, kami memang berupaya melakukan redistribusi. Namun, setelah dilakukan simulasi dan kajian, redistribusi itu tidak mungkin dilakukan secara teknis, karena perpindahan surat suara itu kemungkinan baru terjadi saat hari H, yakni saat pemilih pindahan itu mendatangi TPS. Bila itu terjadi, diperlukan waktu untuk memindahkan surat suara dari TPS satu ke TPS lainnya, dan itu berpotensi menimbulkan persoalan tambahan di lapangan,” kata Viryan.
Dipertimbangkan
KPU saat ini dalam posisi mempertimbangkan untuk mengajukan uji materi ke MK. Keputusan soal itu akan diambil dalam rapat pleno KPU. Di sisi lain, terbuka kemungkinan bagi masyarakat, terutama pemilih yang pindah lokasi memilih dan terdaftar dalam DPTb. Mereka adalah kelompok warga negara yang hak pilihnya potensial hilang dengan adanya pemilih pindahan yang terkonsentrasi.
Setidaknya dua pasal, menurut Viryan, yang bisa diajukan uji materi ke MK, yakni Pasal 334 Ayat (2) yang mengatur pencetakan surat suara berdasarkan DPT ditambah 2 persen DPT; dan Pasal 210 Ayat (2) yang mengatur pindah memilih hanya bisa dilakukan oleh orang yang telah terdaftar dalam DPT.
“Kami belum mengambil keputusan untuk mengajukan uji materi ke MK. Dalam waktu dekat ini kami menunggu perkembangan, dan terbuka kemungkinan masyarakat mengajukan uji materi itu,” katanya.
Berbasis KTP Elektronik
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini dalam kegiatan focussed group discussion (diskusi kelompok terarah), Senin di Jakarta mengatakan, berbeda dengan Pemilu 2014, pendataan pemilih dalam Pemilu 2019 tidak berbasis domisili atau tempat tinggal, melainkan berbasis alamat yang tercantum dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) Elektronik. Dengan basis pendataan yang berbeda, dampak ikutannya pun berbeda termasuk dengan penataan pemilih pindahan. Dengan pendataan berbasis KTP-el, jumlah pemilih pindahan pasti akan lebih besar daripada Pemilu 2014 yang berbasis domisili.
“Waktu Pemilu 2014, orang yang didata ditanyai akan memilih di mana, jadi basisnya tempat dia tinggal, bukan alamat di KTP-el. Dengan demikian, kemungkinan dia harus mengurus pindah lokasi memilih itu kecil. Berbeda dengan ketentuan dalam Pemilu 2019 yang pendataan DPT dilakukan berbasis KTP-el,” katanya.
Upaya KPU untuk mencari payung hukum dalam pencetakan surat suara tambahan bagi pemilih pindahan, menurut Titi, memang diperlukan, sehingga ada kepastian hukum bagi KPU dalam melakukan upaya-upaya lanjutan memfasilitasi suara pemilih.
“Dikabulkan ataukah tidak dikabulkan oleh MK, upaya KPU mengajukan uji materi ke MK itu akan memberikan payung hukum dan kepastian hukum bagi KPU untuk melakukan tindakan selanjutnya. Sebab, tanpa payung hukum itu, tindakan KPU mencetak surat suara bagi DPTb akan dipertanyakan landasannya, dan bisa dipersoalkan,” ujar Titi.
Di sisi lain, sebaiknya KPU sendiri yang mengajukan uji materi ke MK, tidak perlu menunggu publik. Sebab, KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan uji materi UU Pemilu, sebagai upaya atau representasi negara melindungi hak pilih warga dalam pemilu.
Ketua Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Veri Junaidi mengatakan, permohonan uji materi ke MK akan sangat tergantung pada argumentasi pemohon dalam meyakinkan hakim konstitusi. Oleh karena itu, pengajuan uji materi itu harus dipikirkan matang, sehingga apapun putusan MK bisa diantisipasi oleh penyelenggara pemilu dampaknya. Begitu pula mengenai cepat lambatnya putusan MK itu tergantung pada argumentasi pemohon dan pertimbangan hakim.
Sebelumnya, juru bicara MK Fajar Laksono Soeroso mengatakan, MK bisa saja mempercepat putusan MK. Hal itu tergantung kepada pemohon dalam meyakinkan hakim konstitusi saat mengungkapkan argumentasinya.