Ari Kuncoro. Guru Besar dan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
·4 menit baca
Bagi Indonesia, defisit neraca perdagangan adalah gabungan masalah nilai tukar perdagangan (Term of Trade/TOT) dan produktivitas. Sejak November 2018, TOT Indonesia turun, sebagai cermin pelambatan pertumbukan ekonomi dunia karena perang dagang Amerika Serikat-China.
Neraca perdagangan Januari 2019 defisit 1,16 miliar dolar AS. Defisit terjadi karena penurunan ekspor lebih besar dari penurunan impor. Harga ekspor rata-rata turun sejak Juni 2017, sementara volume masih pada rata-ratanya. Penurunan harga pada saat volume tidak berubah menyebabkan nilai ekspor terus turun. Suatu fenomena bagi suatu negara yang mengandalkan komoditas untuk ekspor.
Sementara, impor turun pada semua kelompok, yakni konsumsi, bahan baku/penolong dan barang modal. Penurunan terbesar terjadi pada kelompok barang-barang konsumsi.
Pengendalian impor untuk memperbaiki neraca perdagangan mempunyai keterbatasan. Sebab, untuk mengekspor -terutama manufaktur- membutuhkan impor barang untuk industri, baik bahan baku/penolong maupun barang modal. Pembangunan industri subsitusi input industri tidak dapat dilakukan dalam semalam. Alternatifnya dengan mengenjot ekspor, terutama manufaktur.
Hal ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ekspor manufaktur merupakan agregasi dari ratusan, bahkan ribuan perusahaan yang keluar dari zona nyaman, memproduksi untuk pasar ekspor. Aktivitas ekspor merupakan resultan dari produktivitas internal perusahaan, aktivitas non-produksi seperti pemasaran, pembangunan jaringan pembeli, dan pemasok, serta lingkungan eksternal perusahaan seperti infrastruktur jalan, pelabuhan dan iklim usaha. Keuntungan akan dibandingkan dengan semua risiko dan biaya sebelum memutuskan untuk memasuki pasar ekspor.
Data Survei Industri menengah dan Besar dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, bagi perusahaan manufaktur, mengekspor bukan pekerjaan mudah. Persentase perusahaan manufaktur yang mengekspor naik-turun. Pada 1991, sekitar 15 persen dari perusahaan di sektor manufaktur mengekspor. Pada 1996, angkanya menjadi 19 persen, tertinggi pada periode 1991-2015. Krisis moneter pada akhir 1998 menurunkan angka ini menjadi 16,5 persen sampai dengan tahun 2000. Bonanza komoditas pada 2004-2012 menciptakan ledakan pada sub-sektor industri makanan dan minuman, dengan industri minyak sawit di dalamnya.
Apreasiasi nilai tukar pada periode itu juga menurunkan insiden ekspor di sub-sektor manufaktur yang lain. Akibatnya, pada 2010, perusahaan yang mengekspor hanya 13,2 persen dari jumlah perusahaan yang ada. Fenomena ini dikenal sebagai Penyakit Belanda (Dutch Disease) yang merujuk pada penemuan ladang gas di Laut Utara pada 1959, yang membuat sektor-sektor non-migas Belanda menciut akibat apresiasi gulden. Hal ini mengulangi yang terjadi di Indonesia pada 1970-an dan awal 1980-an, ketika harga minyak di pasar internasional meningkat berkali-kali lipat.
Pemulihan mulai terlihat pada 2013 dan 2014, yakni berturut-turut menjadi 14,1 persen dan 17,3 persen. Akan tetapi, pelambatan perdagangan dunia akibat prospek (sekarang sudah menjadi kenyataan) perang dagang AS dan China, menurunkannya kembali menjadi sekitar 15 persen pada tahun-tahun berikutnya. Pergerakan itu menunjukkan dinamika perusahaan yang masuk dan keluar dari pasar ekspor tergantung situasi eksternal yang memengaruhi tingkat keuntungan dan risiko yang dihadapi perusahaan. Dari Survei Industri Menengah dan Sedang BPS, tingkat keuntungan perusahaan sektor manufaktur tidak terlalu luar biasa, rata-rata di bawah 20 persen, bahkan untuk padat karya di bawah 15 persen. Tingkat keuntungan ini mungkin tidak memberikan marjin yang cukup untuk menyerap biaya dan risiko dalam penetrasi pasar ekspor.
Timbul pertanyaan, apakah insentif fiskal dapat meningkatkan keinginan mengekspor? Simulasi dengan model probabilitas sederhana menunjukkan, jika tarif Pajak Penghasilan (PPh) badan diturunkan dari 25 persen ke 20 persen, proporsi perusahaan yang mengekspor akan meningkat dari 15,6 persen menjadi sekitar 17,7 persen (dapat mendekati 20 persen jika memperhitungkan standar deviasi). Dengan asumsi jumlah total perusahaan manufaktur sebanyak 28.917 unit -seperti pada Survei Industri 2015-, maka penambahan eksportir manufaktur baru yang beralih dari non-eksportir murni cukup signifikan, yakni 1.276 perusahaan.
Tentu saja simulasi ini belum memperhitungkan biaya fiskal yang harus dikalkulasi dengan cermat. Untuk membantu meringankan biaya fiskal dan meningkatkan jumlah eksportir baru lebih banyak diperlukan juga perbaikan lingkungan usaha, seperti penurunan biaya logistik, perampingan prosedur perizinan, dan lain-lain. Peningakatan kualitas infrastruktur yang tercermin pada perbaikan Indeks Kemudahan Berusaha dan Indeks Kinerj Logistik diharapkan menambah jumlah eksportir pada tahun-tahun mendatang seiring prospek perdamaian dagang AS-China.
Ari Kuncoro
Guru Besar dan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia