Semangat Menitis dalam Arabika Sendang Wilis
Harum kopi menyibak kabut tipis dan udara sejuk pagi yang cerah di Bumi Perkemahan Jurang Senggani, Nglurup, Sendang, Tulungagung, Jawa Timur, Senin (25/2/2019). Kalangan anggota Kelompok Sadar Wisata Jurang Senggani Sidorejo sibuk mengarahkan mobil ke area parkir.
Di lokasi yang teduh dalam naungan tegakan pinus itu nyaris dipenuhi tenda-tenda peserta Coffee Camp Generasi Baru Indonesia (GenBI) Kediri 2019. Ada panggung bertuliskan Kopi Rakyat Rajanya Kopi dengan kelompok musik yang melantunkan pop dan jazz. Di dekatnya ada mobil penyedia kopi, teh, dan cokelat. Selain itu, di depannya ditata kursi dan meja sekaligus penganan untuk tamu.
Di bagian yang lain ada peti kemas yang dijadikan sekretariat panitia. Di pelatarannya disediakan meja sekaligus perlengkapan penyajian kopi. Orang-orang hilir mudik sambil membawa gelas kertas yang sesekali diseruput untuk dinikmati cairan hitam di dalamnya. Ya, kopi.
Beberapa saat kemudian, enam perempuan berkebaya datang, menaruh tungku dan wajan. Arang dimasukkan dan dinyalakan dalam tungku. Biji kopi diletakkan dalam wajan dan dipanggang. Asap putih pekat mengepul sekaligus menebarkan aroma kopi yang menyengat harum. Mereka sedang menyangrai Kopi Sendang Wilis khususnya varietas Arabika Komasti Andungsari.
Kemudian, kalangan pejabat pemerintahan dan perbankan datang. Mereka akan mengikuti lelang hasil panen perdana Arabika Komasti Andungsari yang ditanam pada April 2017. Ada juga sedikit hasil panen dari tanaman specialty Arabika Kolombia Brasil (Kobra) yang merupakan peninggalan petani-petani generasi sebelumnya. Kopi yang dilelang dalam kemasan ukuran 500 gram.
Komasti Andungsari green bean laku dilelang di kisaran harga Rp 550.000-Rp 700.000 dengan salah satu pembelinya ialah Pelaksana Tugas Bupati Tulungagung Maryoto Birowo. Kobra green bean dibeli Kepala BI Perwakilan IV Jawa Timur Difi Ahmad Johansyah senilai Rp 800.000. Komasti Andungsari roasted atau biji telah dipanggang laku dilelang di kisaran harga Rp 600.000-Rp 750.000 dengan salah satu pembelinya ialah Wali Kota Kediri Abdullah Abu Bakar.
Sumringah
Selama lelang berlangsung, ada sebaris lelaki berkaos abu-abu yang berdiri agak jauh dari panggung. Mereka tersenyum saat biji kopi yang dilelang mendapat harga tinggi. Itulah jerih payah mereka yang relatif singkat, kurang dari dua tahun menanam dan merawat tanaman Arabika Komasti Andungsari ternyata mendapat apresiasi positif.
“Kami menjadi bersemangat dan percaya diri bahwa kopi akan membantu meningkatkan kesejahteraan petani,” kata Ketua Kelompok Usaha Bersama Omah Kopi Mandiri Kristian Yuono. KUB ini mencakup 60-70 petani dan pengusaha kopi dengan wilayah tanam di dua desa yakni Nglurup dan Geger di Kecamatan Sendang. Mereka merupakan klaster kopi yang dikembangkan dalam program Bantuan Sosial BI Kantor Perwakilan Kediri.
Kami menjadi bersemangat dan percaya diri bahwa kopi akan membantu meningkatkan kesejahteraan petani
Sebenarnya budidaya kopi bukan hal asing bagi warga Sendang di lereng tenggara Gunung Wilis. Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda gencar mendorong budidaya kopi ketika itu di Jawa yang salah satunya kawasan lingkar Gunung Wilis mencakup Kediri, Tulungagung, Trenggalek, Ponorogo, Madiun, dan Nganjuk. Di Sendang misalnya, sudah lazim warga budidaya Robusta dan Arabika Kobra tetapi kurang serius karena mereka juga peternak sapi perah atau sapi pedaging dan peladang.
Secara umum, dalam pengalaman KUB, para petani kopi tidak mengetahui teknik budidaya hingga pemasaran yang cemerlang. Akibatnya, hasil panen kopi Robusta terutama hanya dapat dijual di pasar-pasar tradisional dengan harga rendah yakni Rp 18.000-Rp 22.000 per kilogram green bean. “Kemudian oleh BI kami dibantu dengan pelatihan budidaya kopi hulu hilir,” ujar Kristian.
Sejumlah petani kopi kemudian diikutkan dalam pelatihan teknik budidaya di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia di Jember. Selanjutnya, mereka magang di PT Perkebunan Nusantara XII Sepawon untuk fokus pembibitan, cara tanam, perawatan, penanganan hama, pemetikan, pemrosesan, dan produk akhir. “Kemudian ada juga pelatihan pengolahan, pengemasan, pemasaran reguler hingga pemasaran digital,” ujar Bendahara KUB Omah Kopi Mandiri Kurnia Eka Kusuma menambahkan.
Kemudian ada juga pelatihan pengolahan, pengemasan, pemasaran reguler hingga pemasaran digital
Setelah pelatihan, petani dapat memperbaiki budidaya Robusta dari 2.000 tanaman yang sudah ada. Penjualan hasil panen pun membaik yakni menjadi Rp 30.000 per kg green bean di pasar tradisional. Saat dijual ke pengusaha kopi, harganya lebih tinggi lagi yakni menembus Rp 40.000 per kg. Jika dijual sudah dipanggang dan cukup baik, harganya dua kali lipat.
Selain memperbaiki budidaya tanaman peninggalan generasi sebelumnya, petani KUB juga didorong menanam varietas baru yang unggul. Bantuan bibit ialah Arabika Komasti Andungsari yang ditanam pertama kali pada April 2017 sebanyak 2.000 tanaman.
Selanjutnya, November 2017 sebanyak 2.500 tanaman, April tahun lalu sebanyak 9.500 tanaman, dan Desember tahun lalu sebanyak 23.000 tanaman. Kopi yang ditanam pada April 2017 ternyata telah bisa dipanen pada awal tahun ini dan laku terjual Rp 100.000 per kg green bean atau Rp 300.000 per Kg roasted bean.
“Tanaman kopi Arabika ini ternyata dapat dipanen sepanjang tahun dengan potensi 1 ton green bean per hektar per tahun dengan areal tanam seluas 20 hektar,” kata Kristian.
Integrasi
Saat ini, petani terus meningkatkan diri agar budidaya kopi kian baik dan lestari. Mereka sedang berusaha keras mencapai budidaya seratus persen organik. Pupuk ya organik dan penanganan hama tanpa zat kimia. Inilah tantangan sekaligus peluang besar.
Untuk itu kami juga membantu pengadaan tong fermentasi bagi KUB ini
Untuk pupuk organik, sebenarnya para petani tidak merasa asing. Mereka rata-rata juga memelihara sapi atau kambing. Kotorannya daripada dibuang atau ditebar di ladang akan difermentasi sehingga menjadi pupuk organik cair. “Untuk itu kami juga membantu pengadaan tong fermentasi bagi KUB ini,” kata Kepala BI Perwakilan Kediri Djoko Raharto.
Satu tanaman memerlukan pupuk organik sebanyak 1 kilogram per bulan. Jika ada 40.000 tanaman, kebutuhannya 40 ton per bulan. Padahal, produksi kotoran sapi milik warga tak sampai separuhnya. “Kami akan bikin semacam bank teletong (kotoran ternak) dimana petani kopi menyetor kotoran ternak untuk diolah oleh KUB dan bisa diambil dalam bentuk pupuk sesuai jumlah simpanannya. Saldonya berupa berapa kilogram pupuk cair organik yang bisa diambil,” kata Kurnia.
Tantangan lainnya adalah hama porong. Hama ini membuat lubang-lubang atau merusak buah kopi. Buah yang diserang hama tidak layak dipanen. Jika pun dipanen, kualitasnya akan amat rendah atau harga jualnya tidak membawa dampak ekonomi. Sejauh ini, petani menangani hama porong dengan memasang perangkap dari botol bekas berisi cairan etanol metanol. “Kami terus mencoba membuat cairan etanol metanol dari bahan organik untuk penanganan hama,” ujar Kristian.
Masih ada dan banyak kendala di luar itu. Tanaman kopi di Sendang ditanam pada lereng berketinggian 700-1.400 mdpl. Tanaman di atas ketinggian 800 mdpl rentan rusak dihajar terpaan angin. Jika tidak ada tanaman penaung yang kokoh, tanaman kopi akan rusak. Untungnya, tegakan pinus masih cukup banyak sehingga tanaman kopi terlindungi.
Yang jelas, para petani Kopi Sendang Wilis sedang bergairah untuk budidaya kopi. Semangat mereka seolah menitis kembali di masa kini. Jika di masa lalu kopi turut mendorong kesejahteraan, maka saat ini pun semestinya kemakmuran bisa dicapai yang salah satunya dengan budidaya kopi.