JAKARTA, KOMPAS – Keterlibatan masyarakat untuk berpartisipasi menyumbang dana kampanye untuk peserta pemilihan umum, khususnya partai politik, relatif rendah. Kondisi itu tidak membantu menekan tingginya biaya politik serta membuat partai bergantung pada elite bermodal besar dan pengusaha. Hal ini dikhawatirkan semakin berpotensi melanggengkan praktik oligarki dalam politik.
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas, pada 20-21 Februari 2019 terhadap 577 responden di 16 kota besar di Indonesia menunjukkan, antusiasme publik untuk menyumbangkan dana kampanye selama masa kampanye pemilihan presiden terpantau minim.
Hanya 11,8 persen responden yang berencana menyumbang dana kampanye untuk capres-cawapres. Sementara, hanya 9,0 responden yang memiliki keinginan untuk ikut serta sebagai sukarelawan mencari sumbangan dana kampanye. Alasan terbanyak responden tidak ingin menyumbang adalah karena tidak memiliki uang lebih. Selain itu, ada pula anggapan tim kampanye dan calon sudah punya cukup uang.
Fenomena itu juga ditemukan di sumbangan dana kampanye pemilihan legislatif untuk partai politik. Sekretaris Partai Amanat Nasional Eddy Soeparno saat dihubungi di Jakarta, Senin (25/2/2019) membenarkan, partisipasi publik untuk ikut menyumbang relatif rendah. Ia menduga itu terjadi karena tingkat kepercayaan masyarakat yang semakin menurun pada partai politik serta anggota legislatif yang citranya semakin memburuk.
Dalam laporan ke Komisi Pemilihan Umum, awal Januari 2019, Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK) PAN sebesar Rp 53,541 miliar. Dengan nominal itu, PAN menjadi partai peserta pemilu ketiga yang memiliki dana kampanye terbesar, setelah Partai Persatuan Indonesia dan Nasdem.
Eddy mengatakan, sumber dana kampanye tersebut lebih banyak berasal dari urunan kader dan elite pengurus partai. Selain itu, ada juga sumbangan yang berasal dari pihak ketiga.
“Gaya hidup politisi yang tidak menunjukkan kesederhanaan juga membuat publik apatis untuk menyumbang. Karena masyarakat cenderung apatis terhadap partai, kami berusaha mengedepankan ketokohan sejumlah caleg. Kami tawarkan ke masyarakat, jika ingin ‘berinvestasi’, silakan salurkan langsung ke caleg yang dianggap bisa membawa perubahan,” katanya.
Wakil Bendahara Umum Partai Kebangkitan Bangsa Daniel Johan mengatakan, jumlah sumbangan dana kampanye dari masyarakat terkesan rendah karena nominalnya kecil. Namun, itu bukan berarti partisipasi masyarakat rendah. Ia mengatakan, meskipun sumber dana kampanye partai lebih banyak berasal dari gorong royong kader dan elite pengurus partai, publik tetap menyumbang dana kampanye.
Dana kampanye yang diterima PKB dan dilaporkan ke KPU pada Januari 2019 lalu sebesar Rp 17,7 miliar. “Partisipasi masyarakat itu sulit diukur karena bentuknya bisa menyumbang alat peraga kampanye atau mengadakan kegiatan saat caleg berkunjung ke daerah. Yang seperti itu tidak semuanya bisa dihitung masuk rekening dana kampanye partai,” kata Daniel.
Hal senada diungkapkan Sekretaris Jenderal Partai Nasdem Johnny G Plate. Menurut dia, partisipasi masyarakat tidak bisa dipatok hanya dalam bentuk uang saja. Sebab, ketika kampanye di daerah, masyarakat menunjukkan antusiasmenya lewat cara lain secara tidak langsung dalam bentuk uang.
Transparan
Caleg diharapkan untuk teliti mencatat ekuivalen nominal dari bantuan alat peraga kampanye itu untuk dicantumkan di laporan dana kampanye, tetapi Johnny mengatakan, tidak semua caleg melakukan hal itu.
“Partai diminta untuk transparan terkait sumber dana kampanye, tetapi kalau untuk dana yang bersumber dari masyarakat, realitanya tidak semudah itu karena sangat dinamis dan dalam berbagai bentuk,” katanya.
Partai, ujarnya, tetap menerima sumbangan dana kampanye dari pengusaha atau kelompok perusahaan. Namun, ia mengklaim semua tetap sesuai batas nominal yang diatur di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yakni tidak melampaui Rp 2,5 miliar untuk sumbangan dari perseorangan dan maksimal Rp 25 miliar bagi kalangan kelompok dan korporasi.
Adapun jumlah sumbangan yang diterima Nasdem dalam laporan LPSDK ke KPU, Januari 2019 lalu, sebesar Rp 74,97 miliar. “Tentu untuk dana kampanye itu ada juga bantuan dari perusahaan atau pengusaha, tapi kalau itu sudah diatur dengan jelas di undang-undang, dan jelas kuitansinya, kami sudah laporkan ke KPU,” kata Johnny.
Peneliti Indonesia Corruption Watch Almas Sjafrina mengatakan, fenomena rendahnya partisipasi publik dalam menyumbangkan dana kampanye bukan hal baru. Mengacu pada Pemilu 2014, partisipasi masyarakat juga terhitung rendah untuk menyumbangkan uang bagi kandidat peserta pemilu.
Idealnya, ujar Almas, publik ikut membantu menyumbang agar dana kampanye tidak didominasi pihak ketiga, seperti perusahaan-perusahaan besar atau elite bermodal besar. Pendanaan partai politik dan anggota legislatif yang masih berpatok pada sumber ketiga itu bisa berdampak pada praktik oligarki yang semakin menjadi-jadi.
Apalagi, di sisi lain, partai dinilai belum jujur dan transparan dalam melaporkan secara mendetail sumber dana kampanyenya. Hal ini membuat publik kesulitan untuk mengawasi dan mengantisipasi potensi konflik kepentingan antara partai atau kandidat dengan penyumbangnya.
“Sumbangan dari pihak ketiga itu akan berdampak pada tersanderanya partai atau calon anggota legislatif penerima sumbangan itu. Ketika sumbangan yang diterima luar biasa besar, tidak mungkin tidak ada potensi intervensi tertentu ke akses pengambilan kebijakan atau pembuatan undang-undang setelah kandidat terpilih menjabat,” ujar Almas.