Tangerang Menepis Sejarah Kelam, Menggenggam Masa Depan
Meski kelam, jangan pernah melupakan sejarah. Seperti Tangerang. Dalam sejarahnya tidak dirancang menjadi sebuah kota melainkan sebagai tempat pembuangan. Akan tetapi, dalam perkembangannya setelah 26 tahun menjadi kota, Kota Tangerang telah banyak berubah dan menjadi kota satelit.
Wali Kota Tangerang periode 1998–2003, Mochammad Thamrin, punya kenangan tentang Tangerang sewaktu kecil. Ketika itu, ia tinggal dengan orangtuanya di Kuningan.
“Setiap kali bandel, orangtua saya langsung mengancam, mau dibuang ke Tangerang,” kenang Thamrin, Kamis (21/2/2019).
Waktu kecil, Thamrin takut dibuang ke Tangerang karena melakukan kenakalan anak-anak. Akan tetapi, ia akhirnya ke Tangerang karena pekerjaan, setelah menamatkan sekolah di Bandung, Jawa Barat. Saat itu, Tangerang masuk wilayah pemerintahan Provinsi Jawa Barat.
Thamrin mengatakan, sejak zaman penjajahan Belanda, Tangerang sudah identik dengan tempat pembuangan. Siapapun dia, termasuk serdadu Belanda, kalau melakukan kejahatan bakal dibuang ke Tangerang.
“Dulu, Tangerang itu hutan dan lahan yang dikuasai tuan tanah. Wakil camat dari penjajah waktu itu yang melakukan kejahatan, akan dibuang ke Tangerang,” cerita Thamrin.
Dulu, Tangerang itu hutan dan lahan yang dikuasai tuan tanah. Wakil camat dari penjajah waktu itu yang melakukan kejahatan, akan dibuang ke Tangerang
Sejarah tentang Tangerang sebagai kota “buangan” dengan banyaknya penjara juga diakui Bupati Tangerang Ahmed Zaki Iskandar.
Dalam wawancara dengan Harian Kompas beberapa waktu lalu di Pendopo Kabupaten Tangerang, di Kelurahan Sukasari, Kecamatan Tangerang, Kota Tangerang, Zaki mengatakan, Tangerang harus menerima keputusan dari pemerintah pusat.
Sekitar tahun 1970-an, ketika pemerintah pusat tidak mau ada penjara di Jakarta, maka enam penjara dibangun di wilayah Tangerang (dulu masih wilayah Kabupaten Tangerang dan kini dimekarkan menjadi Kota Tangerang).
Kelima penjara tersebut terdapat di Kecamatan Tangerang dan satu lainnya saat ini masuk wilayah Kabupaten Tangerang, yakni Lapas Jambe.
Penjara-penjara ini menempati bangunan tua, peninggalan dari Belanda. Seperti Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Anak Wanita di Jalan Daan Mogot. Hanya berjarak sekitar 900 meter, terdapat Lapas Anak Pria di Jalan Daan Mogot dan TMP Taruna. Berjarak tidak sampai satu kilometer, di Jalan Lapas terdapat Lapas Pemuda.
Dua penjara lainnya adalah Lapas Pria Dewasa di Jalan Veteran dan Lapas Wanita Dewasa di Jalan Mochammad Yamin. Jarak kedua lapas tersebut lebih satu kilometer dari Lapas Pemuda.
Baca juga https://kompas.id/baca/utama/2019/02/25/redup-jantung-kota-tangerang/
Pabrik menghidupkan
Begitu juga ketika Jakarta tidak mau ada pabrik. Akhirnya, kata Zaki, disebarlah pabrik-pabrik tersebut ke barat yakni ke wilayah Tangerang, dan timur ke Bekasi.
Dengan disebarnya pabrik di Tangerang dan Bekasi, otomatis tumbuh kebutuhan masyarakat akan permukiman. Tangerang dan Bekasi pun tumbuh jadi kota.
Saat penjajahan Belanda, kata Thamrin, Tangerang tidak dipersiapkan menjadi kota untuk tempat tinggal atau servis orang Belanda (penjajah). Kondisi itu berbeda dengan Kota Bandung dan Cirebon yang memang ditata sebagai kota untuk servis penjajah.
Karena tidak dirancang menjadi kota, kata Thamrin, ada kesulitan menata kota. Seperti wilayah Batu Ceper dan Benda yang berantakan.
Bupati Tangerang, Ahmed Zaki Iskandar mengatakan, pertengahan tahun 1980an, di Tangerang dibangun Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Apa yang terjadi? Dalam perkembangannya, pemerintah pusat lupa menata tata ruang kawasan di sekitar bandara. Akibatnya, kepadatan lalu lintas terjadi di sekitar kawasan bandara.
Tangerang kedodoran.
Kota 2.0
Sekarang, kata Thamrin, Kota Tangerang masuk kategori kota dewasa, ditandai dengan mulai berkurangnya manufaktur pabrik dan lebih banyak menangani servis dan jasa.
Kota yang awalnya sebagai persawahan dan perkebunan serta kota penjara, kini tumbuh menjadi kota industri, jasa, dan aerotropolis.
“Sekarangnya Kota Tangerang sudah lebih maju. Lebih bersih dan lebih indah dengan taman-taman tematiknya. Bahkan, tempat penampungan akhir (TPA) sampah saja dijadikan taman dan tempat rekreasi,” kata Fransina (36), warga Cipondoh, Kota Tangerang, kemarin.
Senada dikatakan, Mariani (29), warga Paninggilan. “Kotanya, terutama di pusat perkotaan, terlihat tertata dan bersih. Sementara di wilayah timur, selepas Pinang, yakni Ciledug masih belum terlalu tertata bagus,” ujar Mariani.
Dalam wawancara khusus beberapa waktu lalu, Wali Kota Tangerang Arief R Wismansyah mengatakan, ingin membuktikan sebagai kota yang layak huni dan berkembang dengan basis digital.
Arief yang kembali memimpin Kota Tangerang periode 2018-2023 bersama Wakil Wali Kota Sachrudin merumuskan kerangka kerja pembangunan dalam program Tangerang Live 2.0.
Dengan anggaran pendapatan dan belanja daerah kurang dari Rp 5 triliun, Kota Tangerang berlari menata persoalan kota (Kompas, 2/1/2019).
“Jika periode pertama Tangerang Live 1.0. Fokusnya menjadikan kota ini layak huni, layak investasi, layak dikunjungi dan kota digital. Periode kedua kami melakukan pembangunan dalam kerangka Tangerang Live 2.0.
Program ini menghadapi era industrialisasi 4.0. Isu besarnya masalah sumber daya manusia, layanan publik dan penanganan masalah sosial.
Peninggalan sejarah
Dalam buku City Profile Tangerang, Kebersamaan dalam Keberagaman 2019, disebutkan, di Kota Tangerang terdapat situs sejarah dan religi seperti Bendungan Pintu Air 10, Vihara Boen Tek Bio, Vihara Boen San Bio, Museum Benteng Heritage, Masjid Kali Pasir,Masjid Pintu Seribu, Masjid Raya Al Azhom.
Juga terdapat Museum Juang, Sungai Cisadane, Flying Deck Cisadane, Situ Cipondoh.
Pembangunan juga menyentuh TPA Rawa Kucing, Taman Kunci, Burung, Gajah Tunggal, Jam Gede Jasa, Jembatan Berendeng, Taman Eko Park, dan Cisadane Walk. Kampung tematik seperti Kampung Markisa, Hidroponik Cimone, Greenpul, Berkelir, dan PHBS Cipondoh juga hadir di Kota Tangerang.
Perubahan ke arah maju ini mesti terus dipertahankan dan ditingkatkan. Sejumlah pekerjaan rumah masih menanti seperti pembenahan angkutan umum, mengatasi banjir, dan masalah sosial lainnya. Konsistensi pemerintah serta keterlibatan masyarakat akan menjadi perpaduan menarik untuk menata kota sekaligus menghapuskan kesan suram sejarah masa lampau.