Tatanan Dunia Berkeping-keping
Ketika Uni Soviet jatuh dan China masih lemah, Amerika Serikat berada dalam posisi sangat nyaman. Kompetisi di antara negara-negara kuat sirna sejak kejatuhan Tembok Berlin pada 1991. Lewat poros Trans-Atlantik (AS-Eropa), Barat menguasai tatanan dunia.
Berbagai organisasi multilateral, seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dipimpin secara bergilir oleh poros Trans-Atlantik. Jika ada tokoh dari negara lain sebagai pemimpin, umumnya berasal dari negara sekutu.
Posisi Barat ini diperkuat dengan kehadiran Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) yang solid. Di luar poros ini, ada Jepang yang kuat secara ekonomi, tetapi penurut. Namun, poros ini kerap kali kebablasan. AS mulai dari era Presiden Ronald Reagan hingga George W Bush menyajikan ”kesemena-menaan”, seperti Perang Irak yang dipaksakan.
Dalam banyak hal, kolaborasi AS-Eropa mendikte dunia. Barat tak segan bertindak atas nama demokrasi. Hal ini didukung pemberitaan yang dikuasai Barat. Sempurnalah semua tatanan dengan dominasi Barat tanpa kritik signifikan.
Anjuran agar negara maju mengucurkan bantuan resmi pemerintahan (official development assistance) untuk negara berkembang memudar. Kemiskinan akut global mencuat hingga dekade 2000-an dengan keberadaan 1,2 miliar penduduk miskin dunia.
Di era pasca-Perang Dingin, isu-isu terorisme marak. Demokratisasi versi Barat di negara lain, jika tidak berjalan sebagaimana mestinya, akan menjadi sasaran serangan konstan. Rusia kenyang dengan cecaran ini. Isu hak asasi manusia sangat mudah menjadi cecaran, terutama China. Abainya Barat membangun dunia seperti di Benua Afrika dan Amerika Latin bukan persoalan serius.
Kemiskinan akut global mencuat hingga dekade 2000-an dengan keberadaan 1,2 miliar penduduk miskin dunia.
Kritik Putin disepelekan
Situasi ini tidak luput dari pantauan pihak luar. ”Dunia unipolar, pusat kekuasaan tunggal, pusat pembuatan keputusan tunggal. Ini dunia dengan satu tuan, satu kedaulatan,” demikian kata Presiden Rusia Vladimir Putin saat berbicara di Munich Security Conference Ke-43, seperti diberitakan harian The New York Times, 10 Februari 2007. (Putin Says US is Undermining Global Stability)
Saat Putin mengatakan itu, di antara pendengar adalah Kanselir Jerman Angela Merkel dan Menteri Pertahanan AS saat itu, Robert M Gates. Tujuan ucapan Putin sangat jelas, AS, penguasa tunggal itu. Ketika itu, Presiden AS adalah George W Bush. Putin mengingatkan, penerapan kekuatan tunggal di arena dunia yang seperti itu tidak membuat dunia stabil dan akan hancur sendiri dari dalam.
Putin menambahkan, tentu aksi-aksi global oleh kekuatan tunggal ini tidak ada kaitannya dengan demokrasi.
”Kita menyaksikan penggunaan kekuatan berlebihan dalam relasi internasional, khususnya kekuatan militer. AS khususnya bertindak melampaui batas negara,” lanjutnya.
Putin mengatakan, ironisnya, masalah-masalah dunia tidak teratasi, bahkan muncul ketidakstabilan dan bahaya. ”Dunia menghadapi konflik silih berganti. Solusi politik secara global menjadi sesuatu yang mustahil,” katanya.
Untuk negaranya sendiri, Rusia, Putin menyindir peran asing yang mengomandoi keputusan kontrak-kontrak bisnis migas di Rusia. Kekayaan migas Rusia pun telah ”dirampas”.
Putin diserang balik
Almarhum Senator AS John McCain memukul balik Putin. ”Moskwa harus memahami tidak akan dapat menikmati kemitraan sesungguhnya dengan Barat sepanjang aksinya di dalam negeri dan di luar negeri berseberangan dengan asas demokrasi Euro-Atlantik,” ujar McCain.
Juru Bicara Gedung Putih ketika itu, Gordon D Johndroe, mengatakan kecewa dengan komentar-komentar Putin. ”Namun, kami berharap tetap bisa melanjutkan kerja sama dengan Rusia, termasuk soal kontraterorisme dan program pengurangan penyebaran senjata pemusnah massal,” katanya.
Kritik balik termasuk tawaran kerja sama dari AS sangat artifisial. Esensi pernyataan Putin dan aksi-aksi kekuatan tunggal tidak terkait demokrasi, tetapi hanya upaya mendikte pihak lain. Ini tidak dicermati baik. Kekuatan tunggal ini sensitif pada kritik sehingga tidak sadar akan kekurangan yang ada.
Kritik balik termasuk tawaran kerja sama dari AS sangat artifisial.
Faktor kejatuhan
Maka, seperti prediksi Putin, memang pada akhirnya terjadi juga kejatuhan Trans-Atlantik. Dan, seperti prediksi Putin, kejatuhan itu memang muncul dari dalam. Ada banyak faktor di balik itu.
Secara ekonomi, Eropa dan AS lemah riset. Hal ini ditegaskan ekonom AS peraih Hadiah Nobel Ekonomi 2006, Edmund Strother Phelps. Pada 5 Maret 2018, Phelps menuliskan, ”Selama beberapa dekade pemerintahan Barat sibuk melindungi perusahaan-perusahaan lama dan menghambat para pesaing baru. Ini berakibat pada penurunan produktivitias. Dengan keberadaan China yang sangat menyadari makna persaingan, Barat mutlak mengubah arah, atau berisiko tertinggal.” (Will China Out Innovate The West)
Seperti kata Phelps itu, Barat tertinggal banyak secara ekonomi. Tentu faktor penuaan penduduk turut men jerembapkan ekonomi Barat. Di samping itu, ada penumpukan utang, disertai aksi-aksi tipu muslihat di pasar uang. Seruan pertemuan G-20 agar perusahaan-perusahaan sekuritas liar global dikendalikan tidak pernah menjadi kenyataan.
Terjadilah krisis ekonomi di AS pada 2008. Hal ini diikuti krisis ekonomi Eropa pada 2009. Krisis terbesar sejak malaise 1929 ini menjerembapkan fondasi Trans-Atlantik.
Baca juga:
Perlombaan Senjata Belum Mengkhawatirkan
China Memicu Persenjataan di Asia
Bola peretak
Ada kelimbungan akibat kejatuhan ekonomi itu. Hal ini berentet ke berbagai hal. Memperparah situasi adalah munculnya Presiden AS Donald Trump di panggung politik AS dan dunia. Ada yang mengatakan, Trump bukan penyebab, hanya simtom.
AS di bawah Trump, muncul kebijakan mengagetkan dengan alasan yang sulit dimengerti. Ada putus kontak intensif soal dagang dengan sekutu Asia lewat penarikan diri AS dari Kemitraan Trans-Pasifik (TPP). AS ”keluar” dari NATO.
Rentetan kebijakan buruk lainnya bermunculan. AS memerangi China lewat perdagangan walau China adalah pembeli obligasi Pemerintah AS, terbesar kedua setelah Jepang. China adalah negara di mana korporasi AS meraih manfaat besar.
AS memikirkan America First. Pakar mengatakan ada wrecking ball, bola peretak. Trump telah memunculkan perseteruan dengan Kanada, Meksiko, dan Eropa juga soal dagang.
Diplomasi AS membingungkan
Kelimbungan ekonomi membuat warga AS memilih Trump. Salah satu alasannya, Trump dianggap pahlawan soal perekonomian. Setelah terpilih, Trump mengagetkan lagi. Dia memilih ”mesra” dengan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un dan Presiden Rusia Putin.
”Trump telah mendorong percepatan pada masalah fundamental yang kian pelik,” kata Richard McGregor, analis dari Lowy Institute (Australia) (Battle Stations: Asia’s Arms Race Hots Up).
”Saya pun tidak tahu mengapa pemerintahan ini tampaknya merasa perlu lebih dekat dengan pemerintahan otokratik dan diktator seperti Putin, Kim Jong Un, hingga Rodrigo Duterte (Presiden Filipina). Saya sungguh tidak mengerti itu,” kata mantan Wapres AS Joe Biden. (Biden Says Trump Seems to Have a Love Affair with Autocrafts)
Di Eropa sendiri keretakan terjadi. Ada Brexit, julukan bagi Inggris keluar dari Uni Eropa. Hubungan di antara sesama Eropa sendiri pun tidak solid. Tatanan hancur berkeping-keping, seperti dikatakan Merkel.
”Arsitektur umum global kini sedang dalam teka-teki, bisa dikatakan telah ambruk dan berkeping-keping, jika Anda ingin disebut demikian,” kata Merkel saat berpidato di Munich Security Conference yang ke-55 di Muenchen, 16 Februari 2019. (AP/AFP/REUTERS)