JAKARTA, KOMPAS - Langkah hukum berupa kemungkinan dilakukannya uji materi sebagian pasal Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu untuk menyelesaikan persoalan kekurangan surat suara cadangan dinilai sebagai pilihan yang terlalu dini. Demikian pula kemungkinan menggunakan langkah hukum lain berupa penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau perppu.
Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi August Mellaz, Senin (25/2/2019) mengatakan bahwa opsi-opsi hukum adalah pilihan yang terburu-buru untuk diajukan. Pasalnya, sifat dan dan urgensi produk hukum tersebut terlalu tinggi jika hanya dipergunakan untuk menjawab secara jalan pintas tantangan terkait kurangnya surat suara cadangan.
Lewat uji materi misalnya, bisa dilakukan terhadap Pasal 344 Ayat (2) UU Pemilu. Pasal tersebut menyatakan surat suara yang dicetak berdasarkan daftar pemilih tetap (DPT) ditambah dengan 2 persen surat suara cadangan. Uji materi diharapkan mengubah batasan 2 persen tadi menjadi lebih besar guna mengakomodir relatif banyaknya jumlah pemilih pindahan di sejumlah TPS tertentu.
Padahal, imbuh August, kekurangan surat suara cadangan menyusul bertambahnya jumlah pemilih di TPS tertentu yang menggunakan layanan pindah memilih, merupakan persoalan tata kelola di tingkatan penyelenggara pemilihan umum (pemilu). Ia menambahkan bahwa pada penyelenggaraan Pemilu 2014 dan pilkada, persoalan tersebut juga sempat muncul.
“(Saat itu) Disebut daftar pemilih pindahan dan bisa diatasi tanpa ada Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) ataupun uji materi,” kata August.
Ia menambahkan, hingga sejauh ini justru pilihan-pilihan solusi bersifat manajerial dari KPU yang relatif tidak muncul sebagai upaya mengatasi persoalan tersebut. August menilai, dalam kasus ini, justru penyelesaian bersifat tata kelola dari KPU itulah yang mestinya diutamakan.
“Ditambah lagi, data, baik (berupa) jumlah pemilih tambahan, wilayah sebaran, dan termasuk TPS yang terdampak juga sudah diketahui,” ujar August.
Maka, imbuh August, yang saat ini mesti dilakukan adalah diungkapkannya pilihan-pilihan solusi yang bersifat tata kelola sembari dilakukannya berbagai simulasi terkait oleh KPU alih-alih pendekatan hukum formal.
Salah satu opsi untuk menyelesaikan persoalan tata kelola itu, kata August, adalah diterbitkannya Peraturan KPU terkait. Ia menilai, pilihan serupa juga sempat muncul tatkala pemutakhiran daftar pemilih sekitar lima bulan atau enam bulan silam, sebelum pada akhirnya Daftar Pemilih Tetap (DPT) bisa ditetapkan pada 15 Desember 2018.
Pilihan tepat
Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Charles Simabura, menyebutkan bahwa uji materi di Mahkamah Konstitusi merupakan pilihan yang lebih pas secara ketatanegaraan.
“Ketimbang Perppu yang sangat besar debat politiknya,” kata Charles saat dihubungi pada hari yang sama.
Pasalnya, Perppu mesti dikeluarkan oleh presiden. Sementara pada saat ini, presiden juga menjadi salah seorang kandidat dalam Pilpres 2019, sehingga potensial memunculkan perdebatan mengenai kemungkinan adanya konflik kepentingan terkait peran dan posisi tersebut.
Ia menambahkan, solusi uji materi juga bisa dilakukan dalam waktu relatif cepat. Kuncinya, imbuh Charles, adalah dengan membuat dalil yang mengharuskan perkara tersebut diputus secara cepat karena relatif mendesak.
Terkait dengan persoalan kekurangan surat suara cadangan tersebut, Charles tidak menampik bila hal tersebut merupakan salah satu bentuk relatif lemahnya UU Pemilu. Ia menambahkan, ini menyusul relatif tidak sempatnya pembahasan detail mengenai hal-hal teknis itu dilakukan tatkala undang-undang tersebut tengah disusun dan dibentuk.
“Namun demikian tetap kita apresiasi sebagai hasil kodifikasi yang memang harus disempurnakan terus,” sebut Charles.