Keanekaragaman flora, fauna, budaya, serta keindahan alama di zona Wallacea potensial menjadi modal mengembangkan sektor pariwisata demi kemajuan daerah. Pengelolaan wisata harus mengedepankan prinsip konservasi.
Oleh
Fransiskus Pati Herin
·3 menit baca
GORONTALO, KOMPAS — Keanekaragaman flora, fauna, budaya, serta keindahan alam di zona Wallacea berpotensi menjadi modal untuk mengembangkan sektor pariwisata demi kemajuan daerah. Pengelolaan wisata harus mengedepankan prinsip konservasi.
Kawasan Wallacea terdiri atas Pulau Sulawesi dan sekitarnya, Kepulauan Maluku, serta Nusa Tenggara dan negara Timor Leste. Wallacea merupakan zona dengan keanekaragaman flora, fauna, dan budaya tertinggi di Indonesia. Di situ lahir perpaduan antara keanekaragaman dari Benua Asia dan Benua Australia. Zona itu digariskan Naturalis Inggris Alfred Russel Wallace.
Chairman and Professor of Conservation Biology Universitas Indonesia Jatna Supriatna dalam diskusi terkait rencana penelitian di kawasan Wallacea di Kota Gorontalo, Gorontalo, Selasa (26/2/2019), mengatakan, masa depan pariwisata Indonesia ada di zona Wallacea. Di kawasan itu terdapat banyak keanekaragaman yang dapat dijadikan sebagai obyek wisata.
Menurut rencana, peneliti dari Indonesia dan Inggris akan terjun ke zona Wallacea untuk meneliti bersama hingga tiga tahun ke depan. Untuk itu, mereka menggelar lokakarya selama dua hari, yang berakhir pada Selasa ini. Lokakarya itu mengusung tema ”Kajian Keanekaragaman Hayati, Perubahan Lingkungan dan Kebijakan Tata Guna Lahan di Ekosistem Wallacea”.
Jatna menyebutkan, di Suaka Margasatwa Nantu-Boliyohuto, Gorontalo, terdapat satwa endemik, seperti babi rusa (Babyrousa babyrussa), anoa (Bubalus Depressicornis), tarsius (Tarsius sp), dan burung maleo (Macrocephalon maleo). Sementara di Pulau Halmahera, Maluku Utara, terdapat burung bidadari (Semioptera wallacei) yang juga disebut Standardwing Bird of Paradise. Ada juga burung kakatua jambul merah (Cacatua moluccensis) di Pulau Seram, Maluku. Namun, kekhasan satwa-satwa itu belum dimanfaatkan maksimal sebagai modal pengembangan pariwisata.
”Pemerintah daerah belum serius. Kalau serius, kementerian pasti akan membantu,” ujarnya. Tentu saja pengelolaan obyek wisata dimaksud berpegang pada prinsip konservasi agar tidak merusak alam.
Jika dikelola secara ideal, lanjut Jatna, potensi tersebut dapat memberikan pengaruh besar terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah. Beberapa wilayah yang masuk zona Wallacea adalah provinsi dengan tingkat kemiskinan tinggi di Indonesia, seperti Maluku, Gorontalo, dan Nusa Tenggara Timur.
Minimnya dukungan pemerintah juga disampaikan Munawar dari Burung Indonesia Gorontalo. Pihaknya lalu berinisiatif mewadahi mereka yang ingin melihat satwa-satwa itu. Standar pemantauan satwa dicetak pada kertas biasa dan dibagikan kepada setiap pengunjung yang datang.
”Untuk Gorontalo, pemerintah daerah baru mau bergerak tahun ini,” katanya.
Pihak swasta
Agustinus Kastanya, pakar kehutanan dari Universitas Pattimura, Ambon, mengapresiasi langkah pihak swasta dalam memajukan sektor pariwisata. Di Kepulauan Banda, Maluku, misalnya, ada wisata jalur rempah yang dikelola warga setempat. Banda kaya akan rempah-rempah yang pada masa lalu mengundang kehadiran kolonial. Cerita sejarah masa lalu itu kini menjadi modal mengembangkan pariwisata Banda.
Wisata bawah air juga tengah bergeliat di Banda. Banyak masyarakat setempat ikut terlibat. Sayangnya, akses transportasi ke Banda sering terkendala. Pelayaran sering tertunda karena cuaca buruk. Pesawat yang mendarat di Banda juga berukuran kecil dengan jadwal penerbangan hanya dua kali seminggu.
Pembajakan biologi
Direktur Riset dan Pengabdian kepada Masyarakat di Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Ocky Karna Radjasa mengingatkan, potensi pembajakan biologis terhadap kekayaan keanekaragaman hayati di Indonesia. Para pembajak itu terutama warga negara asing yang datang menggunakan visa liburan. Mereka lalu mengambil spesimen dalam ukuran kecil untuk dibawa dan diteliti di luar negeri.
”Ini yang berbahaya. Kadang mereka simpan di dalam tabung kecil yang tidak diperhatikan petugas karantina di bandara. Ini perlu pengawasan ketat demi menjaga kekayaan yang ada di dalam negeri,” katanya.