JAKARTA, KOMPAS — Hingga saat ini belum ada satu pun provinsi yang sukses menerbitkan obligasi daerah karena berbagai kendala. Regulator pun tengah mengupayakan pelonggaran parameter untuk mempermudah pemerintah daerah menerbitkan surat utang.
Direktur Pengembangan Bursa Efek Indonesia (BEI) Hasan Fawzi mengungkapkan, salah satu tantangan bagi pemerintah daerah untuk menerbitkan surat utang adalah terbatasnya proyek di daerah yang layak investasi.
“Tidak semua daerah memiliki program pembangunan atau pengembangan yang bisa menghasilkan keuntungan yang memadai untuk dibiayai oleh obligasi tersebut,” ujarnya di Jakarta, Rabu (27/2/2019).
Baru ada tiga provinsi yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah yang menunjukkan kemajuan dalam tahap penerbitan surat utang daerah meski belum berhasil. Padahal sejak akhir 2017 lalu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah terbitkan tiga peraturan untuk memayungi legalitas obligasi daerah.
Pertama, POJK Nomor 61/POJK.04/2017 tentang Dokumen Pernyataan Pendaftaran dalam Rangka Penawaran Umum Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah. Kedua, POJK Nomor 62/POJK.04/2017 tentang Bentuk dan Isi Prospektus dan Prospektus Ringkas dalam Rangka Penawaran Umum Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah. Serta POJK Nomor 63/POJK.04/2017 tentang Laporan dan Pengumuman Emiten Penerbit Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah.
Hasan mengatakan, BEI bersama OJK dan Kementerian Keuangan tengah membahas rencana relaksasi ketentuan underlying assets sehingga nantinya pemda tidak harus memiliki proyek yang menghasikan aliran pendapatan berkelanjutan.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Hoesen mengatakan peraturan terkait obligasi daerah terbagi dalam tiga bagian, yakni dokumen pernyataan pendaftaran, bentuk dan sisi prospektus dan prospektus ringkas, serta tentang laporan dan pengumuman emiten.
Untuk melonggarkan skema penerbitan obligasi, nantinya yang diukur bukan lagi prospek dari kegiatan atau proyeknya, melainkan kemampuan daerah. “Proyek mana saja bisa dipilih, asalkan ada jaminan kemampuan pemda untuk memenuhi kewajibannya,” ujarnya.
Kemampuan pemda akan tecermin dari peringkat yang diperoleh pemda dari lembaga pemeringkat independen. Hal ini akan menjadi tolok ukur bagi investor untuk mengambil keputusan investasi terhadap obligasi daerah yang ditawarkan.
Pendisiplinan pemda
Dalam kunjungannya ke kantor redaksi harian Kompas kemarin, Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan pihaknya bersama Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri terus melakukan sosialisasi penerbitan obligasi daerah.
“Sosialisasi perlu dilakukan ke setiap pemda karena setiap daerah kelayakannya berbeda,” ujarnya.
Dengan adanya instrumen ini, Wimboh percaya Pemerintah Daerah dapat mempercepat pembangunan meski minim kucuran dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Selain itu, kewajiban pemda untuk membayarkan deviden mendorong daerah untuk semakin disiplin dalam mengelola keuangan. Hal ini sekaligus mengubah pola pikir pengelolaan keuangan daerah yang selama ini berorientasi pada penyerapan anggaran
“Contoh dalam 10 tahun pemda harus membayar dividen sebesar Rp 5 triliun kepada investor. Maka setiap tahun pemda akan mengalokasikan Rp 500 miliar,” kata Wimboh.
Direktur Riset dan Investasi Pilarmas Investindo Sekuritas, Maximilianus Nico Demus, mengapresiasi upaya relaksasi yang ditawarkan kepada pemerintah daerah untuk menjajaki instrumen obligasi. Namun, dia berharap regulator tetap mendorong upaya sosialisasi.
“Sumber daya manusia di daerah yang paham tentang apa itu obligasi dan seperti apa manfaatnya masih minim. Terlebih ada anggapan pembayaran dividen akan membebani keuangan daerah,” ujarnya.