Tiga penyanyi dan penulis lagu lintas kota, yaitu Sisir Tanah, Jason Ranti, dan Iksan Skuter bersekutu dalam album keroyokan berjudul Proyek Bahaya Laten. Mereka menuturkan banyak bahaya di sekitar kita. Tapi tak perlu disikapi dengan panik, sebab masih ada cara berkelit.
Album berisi 12 lagu itu mulai beredar tepat di hari kasih sayang pada 14 Februari lalu. Perayaan peluncurannya baru dihelat sepekan kemudian, tepatnya pada Kamis (21/02/2019). Tak tanggung-tanggung, mereka memilih arena pertunjukan megah Gedung Kesenian Jakarta sebagai ajang interaksi langsung dengan pendengarnya.
Hanya dua lagu yang benar-benar baru di album itu, yaitu “Diskusi” dan “Kalau di Kantor Aku Tak jadi Apa-apa”. Dua lagu itu mereka garap keroyokan di Studio Lokananta, Solo pada Mei dan Oktober 2018 silam. Sisanya, mereka bertukar lagu dari album masing-masing.
Lagu ciptaan Iksan Skuter, seperti “Tak Perlu Update Status” dinyanyikan Jason Ranti, dan “Nyanyian Pagi” dilagukan Sisir Tanah. Lagu Jason Ranti “Suci Maksimal” digubah dan dinyanyikan Sisir Tanah. Sebaliknya, Iksan menyanyikan “Lagu Bahagia”, dan Jason membawakan “Lagu Romantis” ciptaan Sisir Tanah.
Seluruh lagu di album itu mereka bawakan di konser yang berudasi sekitar tiga jam itu. Tak cuma itu, masing-masing mereka juga membawakan lagu pribadi yang tak masuk album dalam sesi pertama pertunjukan. Tiket pertunjukan seharga Rp 150.000 ludes sejak empat hari sebelum acara. Artinya, ada lebih dari 400 penonton yang menyaksikan ketiganya beraksi di panggung.
Latar panggung adalah layar elektronik berukuran besar. Itu adalah barang langka dalam konser-konser pribadi mereka sebelumnya. Bisa jadi layar tersebut merupakan properti panggung termewah yang mereka gunakan.
Biasanya mereka main di arena kecil dengan, yang kadang tanpa panggung. Tampil di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) yang megah cukup membuat mereka kikuk.
“Tadi di belakang lihat banyak poster-poster pertunjukan (yang pernah berlangsung di GKJ). Ada resital piano, orkestra. Sedangkan kami ini apaan…,” kata Jason. “Kurasa ini pertunjukan terjelek yang pernah ada di GKJ,” timpal Iksan. Tentunya mereka bercanda.
Layar itu bukan dimaksudkan untuk bergeni-genit belaka. Dia adalah layar yang memperkuat lirik yang mereka lantangkan. Ketika Iksan menyanyi lagu “Kisah Kakek dan Cucu”, misalnya, layar menampilkan gambar statis dengan tulisan “Di tanah kami nyawa tak semahal harga tambang” besar-besar.
Lagu itu memang menceritakan secuplik peristiwa konflik agraria di daerah Lumajang, Jatim, pada September 2015. Ketika itu, seorang kakek bernama Salim Kancil diculik dan dibunuh dengan keji. Cerita dalam lagunya gamblang. Iksan pun menyanyikannya dengan lantang.
Layar itu menyuguhkan potongan video unjuk rasa penolakan perambahan hutan ketika Sisir Tanah melagukan “Konservasi Konflik”. Lagu berlarik kalimat panjang-panjang dengan tarikan vokal lirih dan petikan gitar lamat-lamat sangat kontras dengan gambar buldoser tepat di belakang Sisir Tanah.
Urusan lingkungan—seperti pembangunan pabrik semen—adalah salah satu “bahaya” yang mereka sajikan. Lagu “Nyanyian Pagi” yang terkesan tenang dan damai itu, apalagi dibawakan dengan sendu oleh Sisir Tanah, justru menyimpan kesuraman.
Begini liriknya, “Kicau burung nyanyikan lagu sedih/senandungkan duka yang dalam//Hibur diri dalam kesendirian/ditemani embun yang tercemar//” Kesedihannya lagunya tersamarkan dengan humor. Bagus Dwi Danto, nama asli Sisir Tanah, tiba-tiba berhenti di tengah lagu karena kesulitan baca contekan lirik di dekat kakinya. Terdengar tawa dari area penonton.
Romantika
Iksan, yang sebelumnya mengisahkan peristiwa pembunuhan, mengajak penonton untuk rileks. “Kami sudah capek serius terus, pengennya cinta-cintaan. Kami sepakat untuk lagu cinta-cintaan Mas Danto yang bikin,” ujarnya. Maka mengalunlah “Lagu Romantis” yang dinyanyikan Jason.
Romantika versi mereka bukanlah jenis yang menye-menye. Lagu tadi, misalnya, menyiratkan pasang-surut percintaan. Sedangkan kebiasaan mengumbar romantika di media sosial terpampang dalam lagu “Tak Perlu Update Status”. Simpulan lagu itu terasa manis, “Cintaku tak butuh dipamerkan/cintaku hanya butuh untuk dibuktikan//”
Problematika masyarakat perkotaan jadi sorotan dalam lagu “Kalau di kantor Aku Tak Jadi Apa-apa”. Sementara sentilan pada perilaku birokrat bertebaran dalam banyak lagu.
Aneka rupa masalah itu seperti mendapat muara pada lagu “Diskusi”. Mereka bernyanyi bertiga, di panggung dan di rekaman. Suasanya mirip orang yang sedang nongkrong di pos ronda dan membicarakan apa saja: pelebaran jalan, politikus, invasi produk asing, spionase, sampai selebriti. Larik “bagaimana kalau kita stabil sebentar” menyerupai ajakan untuk melupakan sejenak semua masalah-masalah itu.
Danto, yang mengusulkan kolaborasi itu, bilang bahwa persekutuan mereka tidak melulu soal menjual album dan tiket konser. “Ada sejumlah pesan dan isu yang menurut kami penting disampaikan ke pendengar. Kami tidak tahu apakah dampaknya bakal kecil atau besar. Tapi setidaknya mereka bisa meresonansi apa yang didengar dan dilihat dari karya kami,” kata Danto.
Jika media massa memiliki kerumitan redaksional tertentu, maka musiklah yang bisa mengambil peran membangun kesadaran bersama. Mereka bertiga, dengan sokongan manajerial Felix Dass, mengupayakannya.