Bayang Kelam Hambar Asin Garam
Tak dinyana, Selasa (19/2/2019) siang, pertemuan dengan sejumlah petani di tepi jalan beton menuju kawasan tambak garam di Losarang, Indramayu, Jawa Barat, begitu hidup tapi juga kelam. Masa depan asin garam bisa jadi hambar bila tanpa perhatian.
Tak dinyana, Selasa (19/2/2019) siang, pertemuan dengan sejumlah petani di tepi jalan beton menuju kawasan tambak garam di Losarang, Indramayu, Jawa Barat, begitu hidup tapi juga kelam. Masa depan asin garam bisa jadi hambar bila tanpa perhatian.
Di seberang jalan, beberapa pekerja sedang menimbang, mengemas garam, dan membawanya ke truk. Sejauh mata memandang, yang tampak hanya tambak garam. Gudang-gudang berdinding bambu mencuat. Puluhan bahkan ratusan ton tumpukan karung berisi garam bertutup terpal tanpa atap.
Bak air garam yang mengalir, Kasani (42) dan Hendra (43) lantas berkeluh kesah. Mereka menjelaskan nasib petambak garam yang nyaris sendirian mempertahankan usahanya.
Mereka bicara jeratan tengkulak pada para petambak garam, perilaku petambak yang ingin mudah panen tapi kurang peduli pada kualitas garam, hingga kekhawatiran pada impor garam. Keluhan tentang fasilitas bantuan dari negara yang belum merata juga jadi perhatian.
Di antara ketiganya, Hendra tampak paling menguasai dunia garam di Indramayu dan Cirebon. Dia pemilik 12 hektar tambak garam. Hendra juga lama malang melintang sebagai pedagang garam.
Kata Hendra, meski Kabupaten Cirebon lebih banyak menghasilkan garam dibanding Indramayu, tetapi pembeli lebih berminat membeli garam produksi Indramayu. Sebab, kadar asin garam produksi Cirebon lebih rendah daripada kadar asin garam produksi Indramayu.
“Kadar keasinan garam buatan para petambak garam di Indramayu 4-5 persen. Cirebon cuma 2-3 persen karena air laut di pantai banyak bercampur dengan air tawar di muara muara. Kawasan tambak garam di Indramayu jauh dari muara,” ungkapnya.
Di Indramayu, tambak garam tersebar di Kecamatan Losarang, Kandanghaur, Krangkeng, dan Kecamatan Cantigi. Luas lahan produksinya sekitar 1.600 hektar.
Kasani, si pedagang garam sependapat. Garam produksi Indramayu lebih disukai. "Itu sebabnya, saya lebih banyak membeli garam produk Indramayu. Kalau persediaan garam habis, baru saya ambil garam di Cirebon. Juga ketika harga garam di Cirebon lebih murah dibanding di Indramayu,” papar Kasani.
Akan tetapi, Hendra mengatakan, nikmat garam Indramayu belum mampu mengalahkan serangan garam impor. Jika langkah impor garam tidak disesuaikan dengan tingkat produksi para petambak, harga garam lokal jatuh.
“Sebaik apapun kualitas garam lokal, akan kalah dengan harga garam impor,” tegas Hendra.
“Sebaik apapun kualitas garam lokal, akan kalah dengan harga garam impor,”
Menurut Hendra, garam impor sudah dibuat jauh lebih mapan. Pengelolaan sumber daya manusia, pemanfatan teknologi modern, pemilihan lokasi tambak, serta tata kelolanya sudah jauh lebih baik Paling penting, sudah bebas dari jeratan tengkulak. Hal itu membuat harga jual pun bisa ditekan, sekitar Rp 700 per kilogram.
“Berbeda dengan di sini. Petambak dan pedagang garam sudah teriak rugi bila harga garam hanya Rp 900 per kg," kata Hendra.
Bila dibiarkan, kondisi itu rentan memberikan karpet merah bagi produk impor masuk Indonesia. Hendra mengingatkan pemerintah turun ke lapangan dan bisa memetakan kebutuhan garam.
Tahun 2019, pemerintah bakal mengimpor garam industri sebesar 2,7 juta ton, atau turun 37,03 persen dibandingkan tahun 2018 yang 3,7 juta ton. “Untuk kalangan industri, Indonesia masih butuh impor garam. Cuma tidak sebesar tahun lalu karena stok masih ada,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution. (Kompas, 21/12/2018).
Baik Kasani dan Hendra mengaku, penjualan garam lokal merosot sejak awal Januari 2019. “Saya perkirakan tahun ini kami cuma bisa menjual sepertiga garam yang ada dibanding tahun lalu. Lebih lebih dengan adanya rencana impor garam oleh pemerintah. Harga garam saat ini rata-rata Rp 900 per kg. Padahal tahun lalu masih Rp 1.200 per kg,” ucap Kasani.
Hal senada Nano (40), petani Losarang lainnya. Dia terpaksa menjual rugi garam karena butuh biaya merawat bandeng dan udang di empang garamnya. Berdasar harga garam tahun lalu, Nano membeli garam dari petambak garam Rp 900 per kg. Untuk beli karung dan ongkos ojek ke tempat penampungan sementara, ia harus mengeluarkan lagi biaya Rp 100 lagi per kg. Kalau garam ia simpan di gudang, ia harus mengeluarkan ongkos sewa gudang Rp 80 per kg.
“Jadi total Rp 12.000 per kg sampai pembeli. Dengan harga garam Rp 12.000 per kg seperti tahun lalu, saya masih bisa menyisihkan sedikit keuntungan. Tapi dengan harga garam sekarang, Rp 900 per kg, saya rugi. Tapi, apa boleh buat,” papar Nano.
Pemanfaatan Teknologi
Salah satu hal yang bisa merubahnya adalah teknologi. Kata Hendra, sebenarnya hal itu sudah ada. Salah satunya, memanfaatkan karpet geomembrane. Namun, banyak petani ragu. Masih ada yang beranggapan, garam di tanah lebih kering dibanding garam di atas karpet.
“Itu anggapan yang keliru. Saya sudah menerapkan karpet pada seluruh tambak saya. Hasilnya, kejernihan kristal berkadar 97 persen. Sedangkan tanpa karpet di bawah 95 persen,” ungkap Hendra.
“Itu anggapan yang keliru. Saya sudah menerapkan karpet pada seluruh tambak saya. Hasilnya, kejernihan kristal berkadar 97 persen. Sedangkan tanpa karpet di bawah 95 persen,”
Rasudi (50), petani garam di Desa Bungko Lor, Kecamatan Kapetakan, Kabupaten Cirebon mengatakan, sudah mendapat bantuan karpet dari Dinas Kelautan dan Perikanan Jabar. Sistemnya bagi hasil dengan rasio 1 : 2. Satu bagian keuntungan buat dinas. Dua bagian keuntungan lainnya punya petambak.
“Dengan demikian petambak garam tidak terjerat tengkulak untuk membeli karpet,” ujar Ketua Kelompok Petambak Garam Sarem Jaya, tersebut. Namun, ia mengakui masih ada saja petani yang enggan menggunakan karpet karena alasan proses produksi.
“Kalau tanpa karpet, proses produksi hanya lima hari. Dengan menggunakan karpet, proses produksi menjadi 10 hari meski hasilnya lebih banyak,” ungkapnya. Dengan menggunakan karpet pada proses produksi di empang 4 m x 30 m. Volume produksinya akan sama dengan tidak menggunakan karpet di empang 8 m x 30 m, sebanyak satu ton garam.
Kepala Seksi Pengembangan Usaha Laut dan Perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon, Yuliah Harwati mengakui, sosialisasi terkait karpet belum optimal.
"Masalahnya, para petambak garam ini masih menganggap pemerintah mengada-ada dengan sistem karpet,” ucapnya.
Akan tetapi, masalah bukan sekadar minimnya pemahaman petani. Ada petani yang sudah sadar tapi kesulitan mendapatkan karpet itu.
Menurut Sudin (62), petambak garam warga RT 1 RW 1, Kelurahan Cemara, Losarang, Selasa (19/2/2019), sebagian besar petambak garam di Losarang sudah sadar manfaat karpet tapi belum menerima bantuan.
Ayah delapan anak ini memiliki dua empang garam, masing-masing satu hektar dan lima hektar. Di masa panen garam, ia bisa sepekan dua hari sekali, bahkan setiap hari memanen 30 kuintal garam dari kedua empang miliknya.
Menurut Kasani, harga karpet per 50 m saat ini bervariasi dari harga Rp 1,8 juta sampai Rp 2,5 juta. “Buat petambak garam, memang mahal. Mereka memilih tidak membeli karpet karena tidak sebanding dengan pendapatan yang bakal mereka raih dari menjual garam,” ujar Kasani.
Jalan panjang bagi hamparan garam Jabar masih membentang. Asin garam tetap dicari meski sejumlah masalah rentan membuatnya menjadi hambar.