Beradu Melawan DBD lewat Nyamuk Mandul
Apa yang biasanya dilakukan ketika ada nyamuk terbang di sekitar kita? Kebanyakan orang akan mencoba membunuhnya, baik dengan memukul maupun dengan obat semprot antinyamuk. Namun, tidak dengan Beni Ernawan (34). Ia justru mencoba memproduksi nyamuk dalam jumlah besar.
Peneliti muda dari Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi (Pair) Badan Teknologi Nuklir Nasional (Batan) ini sudah lebih dari lima tahun meneliti spesies nyamuk, khususnya nyamuk jenis Aedes aegypti. Nyamuk ini merupakan vektor atau penular penyakit demam berdarah dengue (DBD).
Beni berupaya menghasilkan spesies nyamuk Aedes mandul sebagai “senjata” untuk melawan penyakit DBD dengan teknik serangga mandul. “Ketika nyamuk mandul ini dewasa dan mengawini nyamuk betina, telur yang dihasilkan tidak bisa menetas. Populasi nyamuk penular demam dengue pun diharapkan bisa menurun, bahkan habis,” katanya.
Untuk menghasilkan nyamuk mandul, saat masih berbentuk pupa perlu dilakukan proses iradiasi terlebih dahulu. Pupa yang telah dipilih akan dipanen dengan menggunakan petridish atau cawan pipih berbentuk silinder. Kemudian pupa tersebut dimasukkan ke dalam tabung iradiator (gamma chamber) untuk diradiasi. Proses iradiasi berjalan selama 40 detik dengan dosis 70 gray (Gy).
Kini, penelitian yang dilakukan oleh Beni sudah masuk dalam fase percobaan. Fase ini dilakukan untuk memastikan efektivitas dan keberhasilan teknik nyamuk mandul. Rencananya, pada Mei 2019 nanti, sebanyak 50.000 nyamuk mandul per minggu akan dilepas di kawasan Batan Indah Serpong, Tangerang Selatan. Jumlah nyamuk yang dilepas disesuaikan dengan populasi nyamuk yang ada di kawasan tersebut, yakni 9 kali lebih banyak dari jumlah populasi.
Setelah nyamuk mandul dilepas, analisis populasi awal pun akan dilakukan untuk menghitung kembali populasi nyamuk di kawasan tersebut. Proyek ini dikatakan berhasil ketika populasi nyamuk Aedes berkurang lebih dari 70 persen.
Beni mengatakan, sebelum melakukan pelepasan nyamuk mandul butuh banyak studi serta pengamatan di lapangan. Hal itu seperti dinamika populasi nyamuk di lapangan, pola pemencaran dan jarak terbang nyamuk, kondisi lingkungan, serta partisipasi masyarakat.
“Partisipasi masyarakat ini yang paling menentukan keberhasilan. Sampai sekarang, kami masih kesusahan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai penelitian ini. Mereka pikir, bagaimana bisa memberantas nyamuk dengan melepaskan nyamuk yang jumlahnya sangat banyak,” ujarnya.
Baca juga: Aedes, Si Belang yang Tak Kunjung Menghilang
Menurut dia, integrasi dan kerjasama dengan peneliti di bidang sosial sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan ini. Keterbatasan yang dimiliki peneliti teknis, seperti Beni, bisa diselesaikan dengan bantuan peneliti di bidang sosial yang lebih mudah menyampaikan gagasan serta pendekatan kepada masyarakat. Sayangnya, integrasi itu belum terwujud sampai saat ini.
Namun, jauh sebelum pelepasan nyamuk dilakukan, berbagai perjuangan harus dilalui Beni. Ia bahkan sudah mengenal betul proses pertumbuhan nyamuk, mulai dari proses nyamuk jantan dan betina kawin, bertelur, menetas menjadi larva, kemudian pupa dan akhirnya menjadi nyamuk dewasa. Ia sampai menyebut proses ini sebagai proses kehidupan yang sempurna.
Setiap hari, ia berkutat dengan nyamuk di laboratorium dengan luas sekitar 5 meter x 5 meter. Ia memastikan larva atau jentik-jentik nyamuk yang diteliti memperoleh asupan makanan yang cukup setiap hari agar bisa berkembang jadi nyamuk yang sesuai untuk digunakan dalam penelitian.
Baca juga: Membasmi DBD dengan Nyamuk Mandul
Pernah, beberapa kali di awal penelitiannya, Beni menggunakan tangannya untuk asupan darah nyamuk betina agar bisa bertelur. Nyamuk ini tentunya sudah dipastikan tidak terinfeksi virus dengue sebelumnya.
“Was-was pasti. Saya ini kan meneliti spesies yang berbahaya bahkan dikatakan paling mematikan di dunia. Di lain sisi, justru itu yang menyenangkan dan memotivasi saya. Bagaimana saya harus berhasil menyelesaikan penelitian ini untuk menolong banyak orang dan mewujudkan kemaslahatan masyarakat luas,” katanya.
Pelepasan massal
Beni menilai, tingkat keberhasilan nyamuk mandul untuk menekan populasi nyamuk Aedes pembawa virus dengue cukup besar. Keyakinan ini berlandaskan atas penelitian serupa pada serangga lain, yakni lalat buah. Secara global, lalat buah yang dikembangkan dengan teknik serangga mandul sudah dimanfaatkan untuk mencegah kebusukan buah-buahan yang diproduksi secara massal.
“Kalau spesies lain saja berhasil, kenapa tidak dengan nyamuk. Beberapa negara lain, seperti Thailand bahkan sudah membuat pabrik nyamuk mandul yang bisa menghasilkan nyamuk mandul dalam skala lebih besar,” katanya.
Sementara, satu-satunya laboratorium di Indonesia yang bisa menghasilkan nyamuk mandul, yakni laboratorium milik Batan, baru bisa memproduksi sekitar 200.000 nyamuk mandul dalam seminggu. Jumlah ini tidak cukup untuk mengintervensi populasi nyamuk di satu kabupaten atau pun kota.
Sarana dan prasana diakui Beni masih sangat terbatas. Berbagai tantangan pun masih dihadapi untuk meningkatkan efektivitas penelitian ini. “Dukungan dari pemerintah sendiri masih minim, baik dari pendanaan atau pun pengakuan. Pemerintah masih belum mengakui bahwa teknologi ini bisa diterapkan secara masif di wilayah di Indonesia, terutama yang kasus DBD-nya tinggi,” katanya.
Apabila pemerintah sudah mengakui dan mendukung lewat regulasi, penerapan teknik nyamuk mandul untuk mengendalikan populasi nyamuk Aedes lebih mudah dilakukan. Untuk itu, Beni terus meningkatkan riset yang dilakukan agar menghasilkan bukti yang lebih akurat.
Selain itu, tantangan lain adalah dana riset yang minim. Meski begitu, kondisi itu tidak membuat Beni dan peneliti lainnya menghentikan proses riset. Dana hibah menjadi salah satu solusi yang bisa diupayakan.
“Yang penting kami terus konsisten menjalankan penelitian ini. Indonesia membutuhkan riset dan teknologi untuk menuntaskan masalah penularan DBD yang belum juga usai,” ujarnya.